Jan 10, 2011

‘Pocci Butta’

Oleh : M. Farid W Makkulau


‘Pocci Butta’. Istilah ini saya perkenalkan pertama kali saat menjadi pembicara pada seminar sehari ”Mencari Jejak Sejarah Kerajaan Siang”, Rabu, 28 Oktober 2009 lalu dalam rangkaian kegiatan Revitalisasi dan Reaktualisasi Budaya Lokal. Seminar ini diselenggarakan oleh Yayasan Tomanurung bekerjasama dengan Pemkab Pangkep di Gedung Kesenian Mattampa, Bungoro dan menghadirkan tiga pembicara, Prof Dr Rasyid Asba (Sejarawan UNHAS), HM Taliu, BA (Budayawan Pangkep), dan saya sendiri (bukan Sejarawan dan bukan Budayawan). Oleh Panitia Seminar, saya kebagian membawakan materi “Tradisi Lisan tentang Kerajaan Siang”.
Saat saya menyebut istilah ‘Pocci Butta’ (Makassar : Pusat Tanah atau Pusat Daerah), nampaknya sebagian besar peserta seminar yang umumnya tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerhati sejarah dan budaya, serta tokoh pemuda, ketika itu menganggap istilah ini ‘asing’. Yang umum mereka kenal adalah Possi Bola atau Pocci Balla (titik pusat rumah). Tanpa bermaksud meremehkan peserta seminar yang sebagian besar adalah orang tua dan guru saya, saya mengatakan, ”Punna nia pocci balla, ngapa na tena pocci butta”. (Makassar : kalau ada titik pusat rumah, kenapa tidak ada titik pusat daerah). Istilah ”Pocci Butta” inilah yang kemudian saya pakai menjelaskan kejatuhan Kerajaan Siang, suatu kerajaan tua, yang berpusat di Pangkep, yang diyakini banyak sejarawan, seumur bahkan lebih tua dari Kerajaan Ussu (Luwu).

Kalau Possi Bola (Makassar : Pocci Balla) dimaknai sebagai titik pusat kekuatan sekaligus titik kelemahan suatu bangunan rumah, maka Pocci Butta (Bugis : Possi Wanua) adalah titik pusat kekuatan sekaligus titik kelemahan suatu daerah atau wanua. Yang menentukannya letak possi bola adalah panrita bola, seorang yang dianggap ahli bangunan rumah dan yang menentukan letak possi wanua adalah ”panrita wanua”--- sebut saja begitu---seorang yang tentu saja dipercaya untuk ‘melihat’ letak strategis suatu wanua atau daerah. Dalam konteks kerajaan, saya sepakat, istilah yang memiliki makna sama dengan pocci butta, yang disebut HM Taliu, BA sebagai ”batanna kotayya” (pusat kota).

Kalau dibawa ke masa sekarang, istilah ‘Pocci Butta’ atau ‘Batanna Kotayya’ bolehlah dikatakan sama dengan ibukota kabupaten. Ibukota kabupaten tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tapi juga pusat ekonomi perdagangan masyarakat. Dalam konteks kerajaan di masa lampau, Di Sekitar Pocci Butta atau Batanna Kotayya, ada akses perdagangan yang menghubungkan Kerajaan dengan dunia luar, ada sumber penghidupan rakyat yang menopang ekonomi kerajaan serta ada bungung di sekitar istana kerajaan---termasuk bungung tobarania---sebagai simbolisasi tempat para prajurit ‘menimba’ keberanian sebelum berangkat perang. Saya menduga---berdasarkan banyak narasi tutur dan konfirmasi penelitian---setelah komunitas gaukeng terbentuk dan ‘melahirkan’ Tomanurung, salah satu tugas dari Tomanurung adalah menentukan pocci butta (possi wanua), suatu hal sangat penting yang mewarnai proses awal terbentuknya kerajaan.

* * *

Menurut tradisi yang berlaku di daerah Bugis dan Makassar, proses awal dan faktor penting yang harus ada dari terbentuknya suatu masyarakat dan permukiman adalah keharusan adanya suatu benda yang disebut gaukeng (Bugis) / gaukang (Makassar). Benda ini sangat dihormati sebagai makhluk halus penjaga pada sebuah komunitas tertentu. Gaukeng bisa berupa apa saja yang bentuknya tidak biasa atau mempunyai ciri aneh ; bisa berupa biji buah yang telah kering, tunggul pohon, bajak tua, namun lebih sering berupa batu.

Pada suatu waktu di masa lampau beberapa anggota dari komunitas gaukeng ini menemukan benda keramat itu, mereka kemudian menyediakan tempat, pelayan, kebun dan kolam untuk merawat benda itu dan penemunya. Penemu itu kemudian menjadi pemimpin komunitas baik dalam urusan keagamaan maupun politik, sebagai juru bicara untuk gaukeng itu. Inilah permulaan menurut sumber – sumber lisan ini, adanya pemimpin – pemimpin dari komunitas gaukeng. Meski hampir tidak ada pembahasan mengenai asal usul gaukeng atau arti pentingnya, kita masih dapat memahaminya melalui contoh serupa di tempat lain di Asia Tenggara. Kepercayaan terhadap dewa penjaga yang bersemayam di batu – batu dapat ditemukan di Asia Tenggara, India dan Cina. (Andaya, 1981 dan 2004).

Komunitas gaukeng seperti ini ada di banyak tempat di seluruh Sulawesi selatan, tidak lama, mereka mulai bersinggungan dan perselisihanpun tidak terhindarkan, khususnya dalam memperebutkan hak terhadap tanah dan air. Kekuatan fisik sering digunakan untuk mengatasi perselisihan ini karena tidak ada cara lain untuk menyelesaikan pertengkaran antar komunitas gaukeng ini. Menurut tradisi lisan, pada tahap ini---setelah terjadi ‘sianre balei tauwe’---muncullah Tomanurung (Bugis) / Tu-manurung (Makassar), yaitu orang yang dipersepsi sebagai dewa yang turun atau diturunkan dari langit atau kayangan. (Andaya, 1981 dalam Makkulau, 2005).

Tomanurung, orang yang turun dari langit (kayangan) ke bumi tanpa diketahui dengan pasti asal – usulnya, dipercaya memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan manusia lainnya, seperti cerdas, berani, sakti (termasuk kebal), bijaksana, adil, bicara seperlunya saja, disegani tapi simpatik. Meski sebelumnya dalam suatu daerah ada beberapa penguasa lokal, namun bagi mereka, sumber legitimasi terkuat dan bisa menyatukan diantara mereka dan rakyatnya tersebut haruslah yang benar-benar teruji kepemimpinannya, dan orang yang terpilih itu seharusnyalah “bukanlah manusia biasa”, tapi seseorang yang diyakini berasal (diturunkan) dewa dari langit.

Kelahiran dan masa awal sejarah Siang juga tak lepas dari konsep Tomanurung. Hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan mempunyai dongeng, mitos atau cerita tentang Patturioloang (tentang orang – orang dahulu kala) yang menyatakan bahwa raja pertama kerajaan dalam wilayah Sulawesi Selatan itu adalah Tu-manurung (bahasa Makassar) atau To-manurungE (‘tu’ atau ‘to’ berasal dari kata ‘tau’ = orang ; ‘manurung’ = yang turun dari langit atau dari kayangan). Bahkan, tidak hanya berhenti disitu, ‘perempuan’ yang menjadi istri, yang kemudian menjadi ratu, ibunda dari pangeran yang akan melanjutkan dinasti kerajaan juga biasa disebut Tu-manurungE, orang yang juga turun dari langit/kayangan. Beberapa kerajaan, seperti Siang dan Gowa malahan disebutkan raja pertama atau penggagas/pendiri dinasti adalah seorang tokoh perempuan. (Makkulau, 2005 : 31)

* * *

Bagaimanakah sebenarnya pocci butta itu dipilih dan ditetapkan. Meski masih memerlukan kajian dan penelitian mendalam, saya menduga pemilihan dan penetapan pocci butta (possi wanua) didasarkan pada tempat awal ‘ditemukannya’ Tomanurung atau tempat perjanjian (Ulu Ada) antara Tomanurung dengan rakyat, yang diwakili para pemimpin kaumnya. ‘Tamalate’, bisa menjadi contoh kasus, dimana Daerah itu pernah menjadi ‘batanna kotayya’ Kerajaan Gowa, karena disitulah tempat awal turunnya atau ditemukannya, ‘Tomanurunga ri Tamalate’.

Mari kita lihat apa yang ada di Pocci Buttana Siang, yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi perniagaan Kerajaan Siang. Di sekitar batanna kotayya, terdapat sungai dan pelabuhan Siang, yang saat ditemukan Pelaut Portugis, Antonio de Payva, 1542---Siang sedang menurun pengaruhnya---kemasyhuran dan pamor politik Siang sangat bergantung pada akses Sungai dan pelabuhan ini. Sangat disayangkan, pendangkalan dan pengendapan yang dialami Sungai ini mengakibatkan para pedagang internasional dari sebelah barat kepulauan Nusantara mengalihkan jalur perniagaannya ke sebelah selatannya, Pelabuhan Sombaopu, yang menaikkan kemasyhuran dan pamor kekuasaan ekonomi politik Gowa.

Pelras sempat mencatat benteng keliling Kerajaan Siang merupakan benteng tanah (muraille de terre), yang diperkirakan mencakup luas satu km2. Sekedar gambaran bahwa alur benteng Siang dalam kompleks batanna kotayya diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang. Kepentingan benteng dalam kasus eksistensi Kerajaan Siang kuna adalah untuk membatasi sekaligus melindungi bangunan utama kota, kompleks Barugayya (bangunan audiensi) yang merupakan bagian pelengkap istana yang disebut Balla Lompoa dalam terminologi masyarakat sekarang. Penduduk sekitar hanya menyebut Barugaya untuk keseluruhan kompleks istana raja. (Fadhillah, et.al, 2001 : 27).

Akses ke pusat kota Siang (batanna kotayya) adalah melalui Sungai Siang. Pintu masuk pertama terdapat di bagian timur : akses dari pedalaman, yaitu di bagian ujung benteng sebelah timur. Akses kedua terletak di bagian barat : konon dahulu dapat dicapai dari laut, yaitu di bagian ujung benteng sebelah barat. Penduduk setempat malahan menyebut ujung benteng sebelah barat : Soreang (Makassar = tempat berlabuh) atau Labuang Padaganga (Pelabuhan Niaga). Hal tersebut dapat memberikan estimasi bahwa transportasi air dahulunya dapat mencapai pusat kota sebelum terjadinya pengendapan yang mengakibatkan mundurnya garis pantai dan menjadikan situs kota Siang sekarang berada pada jarak 5 km dari garis pantai. Informasi ini menginterpretasikan bahwa Labuang Padaganga berfungsi sebagai tempat singgah para saudagar dan pedagang yang hendak bertemu raja. (Fadhillah, et.al, 2001)

Dalam kompleks benteng, juga terdapat tempat yang disebut Batara Bori, yang fungsinya sebagai lokasi upacara ritual bagi prajurit Siang yang hendak menghadapi peperangan. Untuk menunjang fungsinya, kompleks ini dilengkapi dengan Bungung Tubarania, yakni sumber air suci yang digunakan untuk intronisasi para prajurit agar memperoleh keberanian di medan perang. Para prajurit itu terdiri dari para elit yang dikenal sebagai Karaeng Pasombala, yaitu pasukan yang mengontrol teritori dan Pallapa Baro-Baro (para pengawal istana). (Fadhillah, et.al, 2001).

Sumber air penting pada masa itu terdapat di sebelah barat kompleks benteng, disebut Bungung Tallua (tiga buah sumber air), letaknya di tepi selatan Sungai Siang. Menurut HM Taliu BA, Bungung Tallua merupakan simbolisasi hubungan antara Kerajaan Luwu, Bone dan Gowa dengan Siang. Bubung Tallua adalah sumur besar yang lubangnya dibagi tiga sanrangan, semacam silinder kecil dari batang pohon lontar. Konon, rasa air ketiga sanrangan kecil berbeda. Dahulu, bila orang Luwu dan Bone ingin ke Gowa atau sebaliknya, biasanya singgah mengambil air di Bungung Tallua. Jadi, simbolisasi Bungung Tallua merefleksikan kedudukan Siang sebagai melting-pot ketiga masyarakat negeri, bukan hanya manusianya, tetapi juga budaya. (Fadhillah, et.al, 2001 dalam Makkulau, 2005)

* * *

Di sebelah selatan bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, terdapat juga kerajaan bernama “Barasa”. Barasa saat ini masuk wilayah Kecamatan Minasate’ne, sesudah pemekaran dari Kecamatan Pangkajene-Pangkep. Menurut Fadhillah, et.al (2001), Kemunculan Kerajaan Barasa ini sebagai konsekuensi dari pengakuan Siang atas kedaulatan Gowa sejak masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapa’risika Kallonna (1510 – 1546), selain sebagai wujud resistensi politik atas teritori kuna Siang.

Menurut Arifuddin Dg Ma’bunga, salah seorang pencipta Lambang Daerah Pangkep kepada penulis, menuturkan bahwa Kerajaan Barasa adalah kerajaan otonom, tidak dibawah pengaruh kerajaan manapun, termasuk Siang. Bahkan Kerajaan Gowa jauh sebelum penurunan pengaruh Kerajaan Siang di sebelah selatan Barasa sudah beberapa kali berusaha menaklukkan Barasa. Namun menurut boto di Gowa (boleh dibilang penasehat atau cendekiawan dalam istana Gowa), Barasa tidak akan pernah bisa ditaklukkan karena letaknya yang berada di pocci tana’ (pusat tanah atau pusat bumi). (Makkulau, 2008).

Tradisi lisan yang berkembang di Pangkajene menyebutkan Gowa sangat terobsesi menaklukkan Kerajaan Barasa. Diaturlah strategi yang disepakati, dimana sang boto ini dengan alasan yang dibuat – buat---diusir oleh Karaeng Gowa keluar istana---pergi menghadap Karaeng Barasa yang waktu itu dipimpin oleh seorang Raja perempuan. Tidak perlu waktu yang lama bagi sang boto ini untuk mendapatkan kepercayaan. Ia kemudian menyarankan bahwa kalau mau terhindar dari serangan Gowa maka harus digali sekeliling kerajaan. Namun penggalian inilah yang menjadi petaka bagi Barasa, karena yang digali tersebut ternyata adalah “poccina buttaya” (pusat tanah atau pusat bumi) yang diyakini oleh Gowa sebagai kharisma pertahanan Kerajaan Barasa.

Segera setelah penggalian itu selesai dilakukan dan telah terbentuk muara sungai memanjang yang mengelilingi pusat kerajaan Barasa, sang boto ini segera mengirim pesan kepada Raja Gowa bahwa tugasnya telah ia tunaikan. Gowa kemudian dengan mudah menaklukkan Barasa. Raja Barasa yang mempertahankan kerajaannya sampai akhir hayatnya itu hanya sempat terselamatkan selendangnya. Selendang (berwarna kuning emas) inilah yang kemudian menjadi salah satu pusaka (arajang) kekaraengan Pangkajene. Konon, bekas galian yang diyakini sebagai poccina buttaya itu adalah muara sungai Kalibone sekarang ini. (Makkulau, 2008)

Kepustakaan :

Ali Fadillah, M, et.al. 2000. Kerajaan Siang Kuna – Sumber Tutur, Teks dan Tapak Arkeologi. Balai Arkeologi Makassar dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin : Makassar.

Andaya, Leonard Y, 1981. The Heritage of Arung Palakka, A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, VKI deel 90, The Hague - Martinus Nijhoff : Leiden. dan (2004) Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII (Terjemahan), Ininnawa : Makassar

Makkulau, M. Farid W. 2005. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep, Pemkab Pangkep : Pangkep.

Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep, Pustaka Refleksi : Makassar.

Mattulada, 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1510 -1700), Bakti Baru Berita Utama : Makassar.

Taliu BA. 1997. “Sekilas Kerajaan Siam (Siang)”, Stensil. Pangkep.
Baca Selanjutnya - ‘Pocci Butta’

* Sekelumit tentang Kerajaan Soppeng

Pada tanggal 07 Desember 2010 pada halaman fanspage Passompe di Facebook kami menerima salah satu saran untuk bisa menyajikan informasi tentang sejarah Soppeng. Saran tersebut kami terima dari silessureng melebbita Zahar Laogix sehingga kami mencoba mencari beberapa tulisan yang mengenai sejarah Soppeng.

Dari beberapa tulisan yang kami peroleh salah satu tulisan yang memiliki uraian dan penggambaran serta pengetahuan tentang Soppen adalah tulisan bapak H.A.Ahmad Saransi

Berikut tulisan beliau tentang Soppeng khususnya Kerajaan Soppeng






MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG
Oleh : H.A. Ahmad Saransi


INTEGRASI SOPPENG RILAU KE SOPPENG RIAJA HINGGA MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG

Awal Keberadaan

Dengan kemunculan Tomanurung dari Sekkanyili" (Soppeng Riaja) dan Manurungnge dari Goarie (Kerajaan Soppeng Rilau, merupakan fase awal dari ketenangan dan ketentraman dari masyarakat Soppeng sejak dilanda kemarau yang panjang. Kehidupan kedua masyarakat tersebut senantiasa tentram dan damai sebagaimana layaknya dua orang bersaudara kembar. Hal ini tidak mangherankan, karena Kerajaan Soppeng Riaja Sebagai pusat aktifitas politik mampu membina secara harmonis hubungan politiknya dan kekeluargaan dengan Kerajaan Soppeng Rilau.

Fase kedamaian ini berlangsung hingga kurang lebih 260 tahun lamanya, yaitu mulai tahun 1300-an sebagai masa awal Pemerintahan Latemmalala sebagai Datu I di Sppeng Riaja dan We Temmabubbu sebagai Datu I di Sppeng Rilau hingga terjadinya konflik perselisihan antara Datu Lamataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Soppeng Riaja dan La Makkarodda Latenribali sebagai Datu Soppeng Rilau.

Konflik

Menurut catatan dalam naskah lontara dikatakan bahwa, terjadinya konflik ini disebabkan keambisian La Makkarodda untuk menguasai wilayah Soppeng Riaja. Pertikaian ini meningkat menjadi perang saudara. Namun keambisian Lamakkarodda ini tidak seluruh Kerajaannnya mendukung tindakan yang dilakukan La Makkarodda sehingga saat pecahnya perang saudara ini menyebabkan Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
Lamakkarodda Sebagai Datu Soppeng Rilau tidak puas atas kekalahannaya itu. Untuk membalas kekalahannya, dengan kekerasan hati ia terpaksa meninggalkan negerinya untuk mencari sekutu atau bala bantuan dari Kerajaan tetangga.

Namun sebelum meninggalkan negerinya, telah datang perutusan dari Soppeng Riaja untuk meminta La Makkarodda untuk sudilah kiranya kembali kenegerinya untuk tetap memegang tampuk Ke-Daatu-an di Kerajaan Soppeng Rilau. Hal ini ditempuh LA Mataesso untuk senantiasa menjaga persatuan dan kekeluargaan antara Kerajaan Soppeng Riaja dengan Kerajaan Soppeng Rilau.

Maksud baik La Mataesso ditolak mentah-mentah oleh La Makkarodda, "Bessing Passuka' Bessing topa Parewekka" (saya keluar kerena tombak ( perang) maka sayapun akan kembali dengan tombak (perang) pula). Itulah jawaban La Makkarodda terhadap putusan itu hingga ia melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Bone untuk mencari persekutuan dan sekaligus meminta bantuan guna melawan kerajaan Soppeng Riaja. Akan tetapi setelah L Makkarodda mendekati kerajaan Bone, nampaknya niatnya itu tidak diterima dedngan pertimbangan dari pihak Kerajaan Bone : "Bila kami mendukung berarti memperpanjang konflik antara Kerajaan Soppeng Riaja dengan Kerajaan Soppeng Rilau, disam[ping itu bila kami memberikan bantuan maka kelak Kerajaan Bone akan menjadi musuh Kerajaan Soppeng Riaja.".
Karena rencananya tidak diterima, maka La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di wilayah kerajaan Bone, hingga suatu ketika La Makkazrodda memperistrikan We Tenripakkua saudari kandung raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge.

Perkawinan La Makkarodda dengan We Tenripakkua berimplikasi terbukanya suatu kesempatan dalam rangka ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dengan kerajaan Soppeng. Hal ini terrcermin dari ungkapan penasehat Kerajaan Bone Kajao Lalidong, " Saya merasa senang atas kebijaksanaannmu (taneng-tanengmu) itu menjodohkan adik kandungmu dengan Datu Mario (La Makkarodda). Apabila nantinya ada anak keturunannya kembali ke negeri Soppeng, maka sedapat mungkin diadakan ikatan persaudaraan antara tanah Soppeng dengan Tanah Bone".

Betapa besar penghargaan Kajao Lallidong selaku penasehat dan diplomat kerajaan Bone ini untuk mempersaudarakan negeri dan rakyat kerajaan Bone dengan Negeri dan rakyat kerajaan Soppeng jika kelak dikemudian hari.

Federasi Soppeng Rilau bergabung dengan Soppeng Riaja

Sementara berlangsungnya perselisihan antara Datu Soppeng Riaja La Mataesso dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda, Arung Umpungeng datan menghadap Datu Soppeng Riaja. Namun sebelum pertemuannya dengan La Mataesso terlebih dahulu diterima oleh La Waniaga Arung Bila. Dalam pertemuan awal dengan Arung Bila itu, Arung Umpungeng menyatakan diri atas nama rakyat Umpungeng beralih ke Soppeng Riaja dan bernaung dibawah payung pemerintahan Soppeng Riaja.

Disampaikan pula maksud kedatangannya, agar diberi perlindungan oleh Soppeng Riaja, karena mereka tidak sudi bersekutu dengan orang yang berbuat kesalahan (maksudnya La Makkarodda) dan beliaupun bersumpah tidak akan menghianati La Mataesso. Maksud kedatangan Arung Umpungeng tersebut kemudian diasampaikan oleh Arung Bila kepada Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan beliau pun bersedia menerimanya pada pertemuan tingkat resmi selanjutnya.

Pada pertemuan tingkat resmi antara Arung Umpungeng dengan Lamataesso, Beliau berjanji dan memohon kepada La Mataesso kiranya beliau diperkenankan bernaung dibawah payung kerajaan Soppeng Riaja dan tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang. Maksud baik itu diterima dengan ketulusan hati oleh Datu Soppeng Riaja La Mataesso, maka diadakanlahjamuan bersama dengan meminum tuak,hal mana kemudian dijadikan dasar pihak Arung Umpungengeng untuk mengucapkan sumpah setianya kepada Lamataesso, "Adapun tuak sudah kuminum, hendaknya janganlah keluar melalui mulut dan tidak pula dengan lubang dubur atau penis, akan tetapi biarkanlah keluar ke samping (usus yang sobek) jika sekiranya aku ingkar janji"' itulah sumpah setia Arung Umpungeng dihadapan La Mataesso sebagaimana tercantum dalam naskah lontara, dan seketika itu daerah Umpungeng sah berada dibawah payung kekuasaan Soppeng Riaja.

Beralihnya Umpungeng kedalam wilayah Soppeng Riaja dengan melalui perjanjian politik sepeti tersebut diatas, dengan sendirinya secara langsung membawa pengaruh yang sangat berarti dalam proses perkembangan politik dalam Kerajaan Soppeng Rilau, sementara kerajaan Soppeng Riaja semakin kuat. Dengan demikian akhirnya kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.

Integrasi

Berkali-kali Datu Soppeng Riaja La Mataesso menempuh upaya perdamaian dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda. Upaya pertama sebagaimana telah dikemukakan diatas, namun up[aya itu selalu ditolaknya dengan kekerasan hati. Penolakan ini dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia mampu mengalahkan Soppeng Riaja setelah mendapatkan bantuan dari kerajaan Bone, mengingat kerajaan Bone waktu itu disamping kerajaan tetangga juga merupakan kerajaan yang sangat berpengaruh dan cukup kuat dari segi pertahanan. Namun bantuan yang diimpikan itu tidak mendapat sambutan dari raja dan para bangsawan kerajaan Bone. Dengan perasaan sangat kecewa Datu La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di Kerajaan Bone atas Izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge.

Kemudian tawaran kedua diajukan kepadanya untuk kembali memimpin kerajaan Soppeng Rilau setelah La Makkarodda berhasil mempersunting adik kandung Raja Bone La Tenrirawe. Niat baik ini ditolaknya dengan alasan demi menjaga terjadinya pertikaian dan perselisihan yang mungkin terulang lagi apabila beliau tetap memegang tampuk pemerintahan dikerajaan Soppeng Rilau.

Perundingan perdamaian pertama dan kedua itu selalu ditawarkan atas inisiatif datu Soppeng Riaja La Mataesso. Kenapa justru La Mataesso selalu menawarkan perdamaian kepada Datu Soppeng Rilau ? Disinilah tercermin bagaimana sikap dan kecintaan datu Soppeng Riaja yang tetap menjaga persatuan dan kedamaian antara dua kerajaan . Disampiung itu ia berusaha menghindari terjadinya peperangan yang meluas dan berkepanjangan itu dengan melibatkan pihak luar yaitu kerajaan Bone.

Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika perundingan ketiga terjadi sangat berbeda sebelumnya, karena ternyata atas inisiatif Datu Soppeng Rilau Lamakkarodda sendiri yang ingin melakukan perdamaian dengan Soppeng Riaja.Kesungguhan hati La Makkarodda untuk berdamai dapat disimak dari makna sumpah dan janjinya ketika bertemu dengan Topaccaleppa Tautongengnge (penasehat kerajaan) dan juga ketika beliau bertemu dengan Datu Lamataesso.Dalam pertemuan itu beliau bersumpah dan berjanji tidak akan memngulangi perbuatannya yang sudah berlalu, yakni berniat tidak baik terhadap kerajaan Soppeng Riaja, bahkan beliau juga mengajukan permohonan untuk kembali bermukim diwilayah kerajaan Soppeng tampa memegang kedudsukan dan jabatan apapun. Mengenai soal tahta Kerajaan di Soppeng, baik Soppeng Riaja maupun Soppeng Rilau beliau juga berpesan kepada seluruh anak keturunannya kelak agar tidak manginginkannya lagi. Akan tetapipada waktu itu tiba-tiba Datu Soppeng Riaja Lamataesso memengang tangan La Makkarodda, sambil berkata"Saya kecualikan apabila terjalin ikatan perkawinan diantara anak cucu kita kelak dikemudian hari".

Selanjutnya,pada waktu yang telah ditentukan,bersidanglah dewan adat yang dihadiri oleh rakyat Soppeng rilau dan Soppeng riaja.Dari pertemuan tersebut mereka melakukan upacara Mallamung Patue sebagai simbol ikatan perjanjian persahabatan antara La Makkarodda dan La Mataesso yang kemudian ditanam secara bersama-sama yang disaksikan kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) dan keduanya berjanji"Barang siapa diantara kita yang ingkar janji, maka akan ditindih oleh batu itu serta tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kepada anak keturunannya kelak"

Dengan selesainya perjanjian perdamaian tahap ketiga antara La Makkarodda dengan La Mataesso maka Soppeng memasuki era baru, yakni ditandai dengan berakhirnya kerajaan kembar Soppeng dan selanjutnya menjadi satu Kesatuan tunggal (mabbulo peppa) dibawah satu perjanjian kebesaran dan satu orang Raja Berdaulat sebagai pemegang tampuyk pemerintahan yaitu, Kerajaan Soppeng."

Sebagai hasil keputusan Dewan Adat maka diangkatlah La Mataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Sop[peng Bersatu (1960) dan La Makkarodda Latenribali diangkat menjadi Pangepa' (Perdana Menteri) Kerajaan Soppeng. Setelah Kerajaan Soppeng Rilau berintegrasi dengan kerajaan Soppeng Riaja, maka kerajaan dipusatkan di Laleng Benteng.

Integrasi kerajaan Soppeng Rilau kedalam Soppeng Riaja merupakan suatu proses penyatuan komponen-komponen sosial kultural yang berbeda-beda kedalam satu hubungan dan jalinan yang terintegrasi serta menjadi kebulatan yang utuh untuk mencapai suatu identitas yang baru sebagai kerajaan yang bersatu.

Refleksi

Dari perang saudara yang pernah terjadi itu telah mengajarkan kita tiga hal :
Antara La Makkarodda dan La Mataesso adalah pemimpin yang visioner, mampu melihat kedepan bagaimana membuat perencanaan strategis jangka panjang agar kedua rumpun rakyatnya kian maju,bukan terperosok mundur kelembah perang saudara.
Keduanya telah berfikir jauh menembus batas kepentingangenerasinya.
Capaian visinya tergambar dari kerelaan meleburkan kedua identitas kerajaannya menjadi kerajaan Soppeng.
Mampu menggerakkan orang-orang terdekatnya sehingga muncul teamwork yang solid dan antusias untuk melaksakan visinya.
Keduanya memiliki insiatif yang bisa dijelaskan kepada orang lain sehingga memperoleh dukungan luas dari rakyatnya
Baca Selanjutnya - * Sekelumit tentang Kerajaan Soppeng

Jan 5, 2011

* Allangkanangnge Ri Tanete Sarepao sebagai Ibukota Kerajaan Cina ( Pammana )

Oleh Nor Sidin


Kerajaan Cina pada epos I la galigo sangat penuh misteri, cerita lisan yang selama ini beredar tentang di mana pusat Kerajaan cina sangat kabur karena ada beberapa daerah juga di luar Wajo pun mengklaim bahwa daerahnya merupakan ibukota kerajaan Cina dahulunya. Walaupun dalam penggambaran topograpgy sekarang wilayah Kerajaan cina saat ini telah terbagi menjadi dua bagian besar wilayah dimana dibagi oleh dua kabupaten yaitu Kabupaten wajo dan Bone.
Sampai saat ini penguatan sastra lisan dan berupa situs serta sastra tulisan berupa naskah-naskah lontaraq memang lebih cenderung tertuju bahwa Kerajaan Cina dahulunya berpusat di salah satu daerah di Kabupaten Wajo yaitu Pammana.

Beberapa daerah di wilayah kecamatan Pammana saat ini banyak memberikan gambaran sangat jelas bahwa Kerajaan Cinna memang dahulunya berpusat disin. Dan sampai saat ini penguatan identitas akan tertuju pada suatu kawasan yanmg bernama Allangkanangnge Ri Tanete yang berada di suatu dusun yaitu Dusun Sarepao.

Sarepao

Dalam berapa buku-buku yang mengupas sejarah Sulawesi Selatan seperti buku yg ditulis Cristian Pelras yang berjudul The Bugis yang diterbitkan di tahun 1996 oleh Penerbit Blackwell di Inggris.
Buku ini sangat kaya dengan detail yang didasarkan pada hasil kajian berbagai ahli, tapi buku ini memiliki plot yang "sederhana." Dalam plot ini diasumsikan adanya satu entitas/ kelompok masyarakat "Bugis" dan entitas ini memiliki sejarah (artinya ada asal-usulnya) dan mengalami proses evolusinya (2)
Dalam buku tersebut pada intinya mengacu pada sosok tokoh dari sekelompok masyarakat yang dikenal dengan nama To Ugi dimana pemimpinya bernama La Santumpugi (4). Dan La Santumpugi juga merupakan ayah dari We Cudai istri dari Sawerigading yang dikisahkan dalam epos I La Galigo. walaupun pada buku Manusia Bugis Ada 3 hal besar yang dianggap bermasalah dari narasi Pelras atas masyarakat Bugis dalam buku ini. Dari ketiga hal tersebut hal besar yang pertama disebabkan oleh terbatasnya kajian tentang Sulawesi Selatan untuk menopang satu buku yang mencoba bersifat komprehensif seperti buku ini. (1) Namun dibalik itu Buku ini menjelaskan kronik besar yang berkisah tentang apa yang diyakini oleh Pelras sebagai masyarakat Bugis yang, dalam bahasanya sendiri "yang bertahan dan yang berubah." Ini bukanlah sebuah buku yang berkeinginan untuk menjelaskan apalagi berdebat tentang masyarakat Bugis di saat ini, atau apakah yang ada adalah berbagai masyarakat Bugis dengan segala keanekaragamannya, atau pun kenapa masyarakat Bugis mendapat bentuknya yang sekarang. Buku ini adalah buku pengantar sekaligus buku referensi (2)

Kita kembali kepada situs-situs yang dapat mendukung di mana letak pastinya pusat kerajaan Cina dahulunya. Menurut pedagang antik di Ujung Pandang dan Palopo, sebagian dari potongan-potongan barang antik berupa keramik dan lain sebagainya ditemukan di Luwu dan Selayar. Walaupun ada juga Keramik berasal dari abad 13 M atau abad 15 M juga dapat ditemukan di daerah pedalaman lembah WalennaƩ , Dari hasil penggalian di lembah sungai Walanae yang di fokuskan dari berupa reruntuhan situs dan makam-makam kuno yang paling banyak ditemukan adalah keramik China yg berasal dari abad ke 16 terutama wilayah Sarepao (3.1992: Ch 5-13.). Dan dalam penelitian The Earthenware from Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 yang dilakukan oleh team The South Sulawesi Historical and Prehistoric Archaeology Project ,Australian National University yakni David Bulbeck dan Budianto Hakim dari Balai Arkeologi Makassar . Berikut kutipan dari tulisan Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 yakni :
Allangkanangnge, terletak di kampung Sarepao, desa We Cudai, kecamatan Pammana, kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan, Indonesia. (1)





Ini adalah salah satu situs tempat memiliki nila sejarah tinggi. Allangkanangnge terkenal menjadi istana dari We Cudai (Epos I La Galigo), dan dikenal sebagai pusat istana kerajaan Cina sampai Cina berubah nama menjadi Pammana. Survei arkeologi situs kembali dilakukan pada pertengahan abad kedua puluh, saat Kaharuddin (1994) menghasilkan sketsa peta situs, tapi tidak ada survei sistematis isi permukaan situs atau penggalian ilmiah sampai ekspedisi Inggris-Indonesia yang dipimpin oleh Ian Caldwell ( University of Leeds). Antara 1- 3 Agustus 1999, tim Inggris-Indonesia, yang termasuk salah satu penulis laporan ini (BH), dikumpulkan 251 keramik (tradeware) pecahan berserakan di permukaan, dan digali pola system meter persegi di dalam wilayah yang diidentifikasi oleh Kaharuddin sebagai daerah pusat utama ( sherdage konsentrasi) (1)

Semua keramik-keramik (tradewares) antara abad 13M – 17M, selain itu ada beberapa jumlah yang berasal dari abad 19-20 M. Pusat permukaan yang mencerminkan penggunaan terbaru dari situs - terutama, yang ditingkatkan menjadi situs monumen oleh masyarakat lokal (Bulbeck 2000; Bulbeck dan Caldwell 2000 ). Sampel lainnya yang berupa cangkang laut, yang merupakan spesies mangrove (Academy of Natural Sciences 2004), adalah tanggal ke 820 + / - 60 BP (ANU-11352). Dilihat ini akan sesuai juga sekitar abad 13M , jika sampel adalah terestrial, tetapi harus dilakukan penyisihan atas isi karbon laut ini berupa sampel intertidal. Usia juga bisa pada abad 14 M atau ke 15 M, jika kita berasumsi bahwa setengah dari kandungan karbon laut, namun perlu dicermati (75% karbon laut) akan menunjukkan 1 / 14 pada awal abad 17M. Rentang usia yang disebutkan sebelumnya sangat cocok dengan 13M sampai dengan abad 17M di indikasikan untuk keramik-keramik Allangkanangnge Sarepao , dan dengan demikian menegaskan status situs sebagai pusat pra-Islam Kedatuan Cina. (1)
Dari kutipan dari tulisan Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999 memberikan penguatan identitas akan letak pastinya pusat kerajaan Cina yakni Sarepao. Namun ada beberapa hal yang mejadi tanda tanya besar akan kajian penelitian arkelogi yang dilakukan oxis apabila dikaitkan dengan epic I La Galigo dimana kurun waktunya yang sangat berjauhan apalagi bila merunut tentang kajian epos I lag Galigo yang diperkirakan pada era abad ke 9M – 10 M, dan yang hanya bisa ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan bahwa peradaban tersebut memang di sekitar abad ke 9 M dan kontak perdagangan yang terjadi dalam skala besar terjadi di abad ke 13M ( mohon lihat postingan Kekuatan Ekomi dalam Perdagangan Pelaut Bugis – Makassar ).

Saran

Kesadaran akan nilai-nila budaya serta sejarah adalah milik bersama bukan segolongan atau sekelompok lapisan tertentu saja.

Hal yang menjadi perhatian serius bagi pemerintah propinsi Sulawesi selatan khususnya pemerintah tingkat II kabupaten Wajo adalah memberikan pemeliharaan dan pelestarian situs ini karena bisa dikatakan 90% situs ini sudah hancur dan tidak ada sama sekali perhatian.

peranan pemerintah serta bersama masyarakat merupakan andil besar dalam kelangsungan perjalanan nilai-nilai sejarah



Semoga kajian-kajian berupa penelitian baik berupa penelitian arkeologi dan antropologi dapat membantu penguatan beberapa sastra lisan yang selama ini beredar di Pammana terutama juga penguatan ke beberapa naskah tua berupa lontarak yang selama ini dijadikan sumber referensi untuk penulisan buku-buku sejarah.



Sumber :
- (1)The Earthenware from Allangkanangnge ri Latanete excavated in 1999, Date of Document: 27 June 2005 , David Bulbeck ,School of Archaeology and Anthropology, The Australian National University, Canberra, Australia and Budianto Hakim, Balai Arkeologi Makassar, Makassar, South Sulawesi, Indonesia,
- (2) Tentang Manusia Bugis Karya Pelras Oleh Dias Pradadimara (Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar)
- (3). Bulbeck, F.D., 1992, 'A tale of two kingdoms; The historical archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia, Australian National University, Canberra.
- (4) Pelras, C, 1971, The Bugis, Oxford: Blackwells
- Caldwell Power, state and society among the pre-islamic Bugis In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
Baca Selanjutnya - * Allangkanangnge Ri Tanete Sarepao sebagai Ibukota Kerajaan Cina ( Pammana )