Oleh Anwar Thosibo 2
A. Pengantar
Warisan budaya rupa (visual Culture) hasil karya seni tradisi berbagai etnis bangsa Indonesia, khususnya gambar-gambar ornamen seni ukir kayu - yang tersebar dari pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi dan Kepulauan-Kepulauan Indonesia Bagian Timur - merupakan kekayaan budaya rupa dan sumber sejarah masa lalu yang luar biasa. Akan tetapi wacana mengenai kekayaan budaya rupa dan sebagai sumber sejarah, seakan-akan tenggelam dan terkalahkan oleh perhatian terhadap budaya dokumenter yang lebih “prestise” yaitu arsip kolonial dan manuskrif. Penggunaan arsip kolonial dan manuskrif sebagai sumber sejarah masa lalu, sebagai inspirasi historiografi, dan sebagai identitas bangsa merupakan hal yang sudah biasa dan tidak lagi menjadi sesuatu yang baru, akan tetapi penggunaan elemen-elemen dari peninggalan budaya rupa gambar seakan-akan tidak mendapat tempat untuk itu.
Kemungkinan besar ada sebuah alasan penting di samping berbagai alasan lainnya yang menyebabkan peninggalan budaya rupa gambar tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam rekonstruksi sejarah nasional dan historiografi Indonesia; yaitu persoalan “jarak” (distance) antara peninggalan budaya rupa gambar dengan warisan dokumen tertulis (baik jarak waktu, kultural maupun metodologis). Sejarawan akademis masa kini dengan inner logic-nya membuat jarak dengan peninggalan budaya rupa tersebut, sehingga ia seakan-akan bukan menjadi bagian penting dari sumber sejarah, fakta sejarah, dan inspirasi historiografi Indonesia yang sangat kaya..3
Tidak hanya terhadap budaya rupa gambar, para sejarawan akademis pernah membuat jarak dengan sejarawan lain yang dianggap amatir. Itu dilakukan, karena sejarawan amatir dianggap tidak profesional merekonstruksi masa lalu melalui metode ilmu baca kaca; dan pada tingkat yang lebih tinggi juga ditujukan kepada mereka yang berusaha merekonstruksi sejarah masa lampau melalui mimpi seseorang atau populer dikenal dengan istilah penulis sejarah mimpi. Di pihak lain, terdapat sejarawan akademis Indonesia yang setia menggunakan dokumen arsip kolonial dan manuskrif, namun tanpa melalui proses kerja metode sejarah yang kritis. Sebagai contoh, statemen dalam historiografi Indonesiasentris, mengatakan bahwa “VOC melakukan monopoli perdagangan di Indonesia”, dengan mudah berubah dalam penulisan sejarah kontemporer menjadi “VOC berdagang sendiri”. Itulah sebabnya maka pemikiran historiografi Indonesiasentris yang pada mulanya hanya “digugat”, kini mulai didekonstruksi dan berpotensi untuk dikategorikan “gagal”.4
Potensi sejarawan untuk mengerti dan memahami arsip maupun gambar melalui pikiran yang kritis seharusnya tidak memisahkan antara pemahaman kognisi dengan persepsi indra visual, karena bila hal ini dipisahkan maka pikiran seorang sejarawan dapat terarah ke masalah spekulatif abstrak. Selama ini indra penglihatan sejarawan telah dikurangi fungsi dan peranannya sebagai instrumen penelitian sejarah, karenanya sejarawan sering kali menderita sesuatu kekurangan gagasan yang dapat dinyatakan melalui gambaran image, serta suatu ketidakmampuan untuk menemukan maksud dan arti dari apa (gambar) yang dapat dilihat.
Secara alamiah terdapat sejarawan yang mengerti, bahwa peninggalan budaya rupa gambar yang ada di hadapan mereka bisa memberikan informasi sejarah masa lampau, namun yang bersangkutan tetap saja mencari pembenaran akademis di dalam medium kata-kata (arsip dan manuskrif). Rupanya, kapasitas pembawaan sejak lahir untuk dapat memahami melalui indra penglihatan telah “terbius”, oleh karena itu perlu disadarkan dan dibangkitkan kembali perannya. Manusia pada dasarnya mempunyai pertimbangan yang sempurna untuk “bertemu” dan saling memahami satu sama lain (lalu dan kini) melalui peninggalan budaya rupa gambar, dan hal itu dapat dibuktikan melalui permainan gerak dari pantomim yang diam tanpa kata. Dalam hubungan ini Rudolf Arnheim 5 lebih mempertegas, bahwa hal yang visual itu tidak bisa disampaikan dengan lisan dan tulisan tetapi hanya dengan cara visual. Begitupun pemahamannya tidak hanya pada kognisi tetapi perlu melibatkan persepsi indra visual.
Jika benar bahwa penulisan sejarah sudah demikian keadaannya, maka dalam upaya menimbulkan kesadaran sejarah nasional mengenai pentingnya peninggalan budaya rupa gambar sebagai sumber sejarah, fakta sejarah dan inspirasi historiografi Indonesia; tampaknya diperlukan semacam “politik wacana” (politics of dircourse) atau tepatnya “politik tekstual” (textual politics), yaitu sebuah usaha untuk memperjuangkan pentingnya wacana dan teks-teks gambar yang telah diwariskan oleh berbagai etnis bangsa Indonesia sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dari perkembangan pemikiran metodologi ilmu sejarah, khususnya dalam perannya sebagai sumber pengetahuan masa lalu dan sumber inspirasi penulisan sejarah Indonesia yang sangat kaya.
Untuk semua itu, maka dalam rangka politik wacana tersebut, tentu diperlukan, pertama-tama pemahaman yang mendalam mengenai (1) fenomena budaya rupa gambar dengan berbagai aspek, bentuk dan konteksnya. Selanjutnya membuka diskusi lebih lanjut mengenai, (2) bagaimana peninggalan budaya rupa gambar tersebut - dengan mengambil contoh ornamen seni ukir karya etnis Toraja - dapat digunakan sebagai sumber sejarah, dan akhirnya (3) mencoba mengungkap atau mendeskripsikan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar ornamen berdasarkan persepsi idera visual.
B. Budaya Rupa Gambar: Suatu Kerangka Pengertian
Dalam pengertian Indonesia, kata rupa berarti keadaan yang tampak di luar atau wujud yang kelihatan, dan umumnya merupakan persamaan dari sesuatu yang mungkin tidak dapat dirupakan. Begitu juga dalam Webster New Collegiate Dictionary, istilah rupa (visual) didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan penglihatan, kesan yang diperoleh lewat penglihatan, sesuatu yang menghasilkan citra mental (mental image), yaitu gambaran yang tampil pada pikiran seseorang ketika melihat sesuatu. Istilah rupa dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari relasi sesuatu yang dapat dilihat (seen) dengan sesuatu yang melihat (seeing). Sesuatu yang dilihat dapat berupa gambar, arsitektur, patung, atau foto. Meskipun istilah rupa sebagai pencitraan mempunyai pengertian beragam dan bahkan bertentangan 6, namun selalu merujuk ke masa lalu.
Dalam kebudayaan, sesuatu yang bersifat rupa biasanya diorganisir lewat apa yang disebut sebagai “bahasa rupa” (visual language), yaitu bahasa khusus yang di dalamnya digunakan unsur-unsur rupa (garis, bentuk, warna, gerak dan ruang), yang dikombinasikan dengan cara tertentu sesuai dengan kesepakatan sosial, sehingga dipahami maksudnya oleh komunitas bahasa. Di dalam bahasa verbal, kode adalah cara kombinasi tanda-tanda menggunakan gramar atau sintak. Di dalam bahasa rupa dikenal juga gramar rupa (visual grammar), dengan menganalogikan unsur rupa sebagai kata-kata dalam bahasa verbal. Hanya, kata-kata dalam bahasa rupa lebih elastis dan mempunyai banyak bentuk.
Bahasa rupa adalah bahasa manusia yang paling tua dibandingkan dengan bahasa verbal, sebab melihat sesuatu yang bersifat rupa telah ada sebelum lahir kata-kata. Ketuaan bahasa rupa diperlihatkan dengan jelas oleh manusia prasejarah sebagaimana pendapat Claire Holt, bahwa garis-garis yang mengayun pada dinding gua, bagaikan kata-kata yang disusun dalam satu hubungan tematik yang jelas 7. Begitu pun pendapat Primadi Tabrani, bahwa gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah, bahwa gambar cadas tersebut merupakan sebuah “media komunikasi” untuk menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika 8.
Budaya rupa (visual culture) berkaitan dengan penciptaan dan penggunaan segala sesuatu yang bersifat rupa lewat bahasa rupa. Istilah bahasa rupa dalam pengertian akademis digunakan untuk menjelaskan gambar atau bentuk 9. Akan tetapi, dalam pengertian luas didefinisikan sebagai “benda budaya yang menampakkan rupanya merupakan sifat penting keberadaan dan tujuannya”10. Alam juga mempunyai unsur rupa (garis, bentuk, warna, tekstur, dan ruang) akan tetapi alam tidak merupakan bagian dari bahasa rupa, karena bahasa rupa merupakan karya khas manusia. Meskipun demikian, alam (flora, fauna, dan benda-benda langit) menjadi sumber utama bahasa rupa tersebut, sebagai cara manusia mengkulturkan alam. Ketika etnis Toraja menggambar sesuatu dari alam (tumbuhan, binatang atau organ tubuh) ke dalam wujud budaya rupa, mereka telah membudayakan alam atau tepatnya menjadikan alam sebagai obyek budaya rupa.
Dalam budaya rupa, dengan demikian tampak sekali campur tangan manusia dalam menciptakan sesuatu yang bersifat visual, menandingi sifat-sifat visual alam. Oleh sebab itu, „teknologi perupaan‟ (visual technology) mempunyai peran penting dalam perkembangan budaya rupa tersebut. Di dalam budaya rupa pra-modern yang mempunyai teknologi perupaan yang masih sederhana dikenal teknik-teknik toreh, pahat, ukir dan bakar. Sementara, dalam apa yang disebut sebagai „budaya rupa modern‟ (modern visual culture), budaya rupa lebih kerap dikaitkan dengan media yang mempunyai teknologi tinggi seperti fotografi, video, komputer dan internet.
Penggunaan elemen-elemen rupa sebagai tanda di dalam masyarakat yang sederhana maupun yang modern, dalam rangka menyampaikan sebuah informasi atau pesan (message) tertentu merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari budaya rupa. Tanda rupa (visual sign) digunakan untuk berkomunikasi dan tanda-tanda itu berkaitan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dipersepsi. Sebuah tanda, sebelum berubah menjadi hal lain dalam satuan bentuk gambar merupakan obyek yang ditangkap oleh indra penglihatan yang menunjukkan sebuah nilai 11. Suara, bau dan rasa juga termasuk tanda yang memiliki nilai dengan sifat-sifat materialnya masing-masing, akan tetapi dalam menganalisis rupa gambar diperlukan sekurangnya lima variable yang ekuivalen dengan seperangkat dimensi yang masing-masing menunjukkan suatu nilai berdasarkan sifat materialnya.
Pertama, warna. Warna merupakan tanda rupa, oleh karena warna itu sendiri sudah mengandung nilai tertentu yang disepakati secara sosial di dalam suatu komunitas bahasa. Merah misalnya menandakan kegairahan, bahaya, dan panas; hijau menandakan kesegaran, sifat alamiah, dan pertumbuhan; kuning menandakan keagungan atau kebangsawanan; putih menandakan kesucian sedang hitam menandakan kedukaan dan kegelapan.
Kedua, garis. Garis memiliki bentuk dan karakter tersendiri yang dapat digunakan sebagai penunjuk sesuatu hal. Garis lurus vertikal merujuk kepada kekuatan yang bergerak ke atas ketika mata kita tergerak untuk melihat dari bawah ke atas. Garis horizontal yang terletak mendatar sejajar dengan cakrawala (horizon) menunjuk kepada ketenangan. Garis diagonal menunjuk kepada peralihan tidak seimbang, oleh karena itu selalu berkaitan dengan pengertian sesuatu yang berbahaya jika dikaitkan dengan manusia.
Ketiga, bentuk. Bentuk mempunyai peran penting dalam menghasilkan nilai, karena ada kode-kode yang mengatur nilai bentuk tertentu di dalam masyarakat. Gambar yang menggunakan bentuk bunga pada sebuah media mempunyai konotasi dengan konsep-konsep seperti cinta, atau sayang; sementara bentuk masjid dan ketupat pada kartu lebaran mempunyai konotasi lain seperti keagungan, kesucian, ketuhanan atau lahir batin.
Keempat, ukuran. Ukuran merupakan elemen visual yang penting dalam menghasilkan arti sebuah tanda. Stupa di puncak candi Borobudur yang berukuran besar bisa menandakan kekuasaan, kebesaran, dan ketinggian. Begitu pun perubahan ukuran pakaian akan menciptakan arti berbeda. Ukuran dalam budaya rupa pra-modern menjadi penting karena sangat menentukan pesan yang disampaikan. Seekor ayam yang digambarkan dengan ukuran lebih besar dari kerbau karena ayam dianggap lebih penting.
Kelima, keruangan. Elemen ruang mempunyai pengaruh yang besar dalam penciptaan nilai. Ruang kosong dan penuh, jauh dan dekat, lapang dan sesak merupakan kualitas-kualitas tanda yang mampu menawarkan nilai berbeda. Ruang dalam memang tidak terlihat, tetapi bisa menjadi nyata dengan keberadaan elemen lain pada permukaannya yang membatasi dan menegaskannya. Ketakutan akan kekosongan (horror vacui) merupakan manifestasi dari nilai yang tercipta dari ruang sebagai tanda 12. Gerak dan gesture merupakan unsur lain tanda visual yang juga dapat menghasilkan makna yang berbeda-beda 13.
Kombinasi tanda yang diorganisir dengan komposisi tertentu membentuk kalimat bermakna, yang pada akhirnya membentuk „teks‟ (text). Teks dalam pengertian linguistik didefininiskan sebagai wacana dalam bentuk tulisan 14, sementara wacana itu sendiri dapat diartikan sebagai realisasi penggunaan bahasa. Sebuah passuraq, iklan, dan arsitektur adalah sebuah wacana yang berwujud teks, yang dalam arti sempit adalah wujud tulisan dan dalam arti luas, teks dapat didefinisikan sebagai kombinasi tanda-tanda. Segala sesuatu yang terdiri dari kombinasi dua atau beberapa tanda adalah sebuah teks. Sebuah kombinasi kata-kata akan membentuk „teks verbal‟ (verbal text), begitu juga kombinasi elemen-elemen dalam fashion akan membentuk „teks fashion‟ (fashion text), sementara kombinasi elemen-elemen dalam gambar akan membentuk „teks gambar‟ (painting text) 15.
C. Gambar Passuraq Sebagai Sumber Sejarah
Etnis Toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tidak mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal, oleh karena itu secara metodologis ada tantangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu Toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk manuskrif. Bagi mereka yang “ekslusivisme” dengan mudah dapat menggunakan prinsip “tidak ada dokumen tertulis tidak ada sejarah”, akibat prinsip itu lenyaplah masa lalu Toraja yang unik bersamaan dengan menjauhnya para sejarawan.
Meskipun tidak meninggalkan dokumen tertulis, tidak berarti bahwa etnis Toraja tidak menyimpan aktualitas masa lalunya. Selain penuturan lisan, gambar-gambar passuraq yang terdapat pada bangunan adat Tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yang terseleksi atau tepatnya aktualitas yang terdokumentasi dengan baik berdasarkan hasil konvensi masyarakatnya. Kesemuanya dimaksudkan sebagai sumber sejarah yang memberi informasi, pesan, dan ungkapan masa lalu. Etnis Toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passuraq, yang bisa disamakan artinya dengan gedung arsip, penuh dengan teks gambar yang berderet panjang dan penuh arti.
Passuraq, berasal dari akar kata suraq sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran. Dalam pengertian tersebut, passuraq memiliki kapasitas pictographic karena tema dan gagasan referensialnya direpresentasikan dalam bentuk gambaran ideografik, dan dengan demikian juga identik dengan historiografi sebagai pelukisan sejarah. Gambaran dalam passuraq dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Toraja masa lalu. Tema dan gagasan referensialnya pun tidak selalu dalam bentuk nyata, namun juga yang abstrak dalam bentuk geometris.
Menarik dan penting untuk ditelaah bahwa artikulasi passuraq ternyata identik dengan tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis 16. Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.
Kebiasaan tradisional etnis Toraja untuk tetap menggambar (passuraq) sama seperti bentuk aslinya (einmalig), telah berlangsung cukup lama. Patut diduga, bahwa tradisi itu muncul bersamaan waktunya dengan berkembangnya kepercayaan leluhur mereka yaitu Aluk Todolo. Dikatakan demikian karena ajaran agama leluhur menetapkan, bahwa setiap langkah upacara kematian selalu diikuti dengan peletakan motif passuraq tertentu pada bidang dinding yang tertentu. Dengan berakhirnya semua langkah upacara kematian maka seluruh bidang luar bangunan adat Tongkonan telah tertutup sejumlah passuraq, membentuk suatu komposisi yang teratur. Itu sebabnya mengapa Tongkonan sering dinamakan rumah kehidupan dan rumah kematian yang maksudnya tempat mayat disemayamkan untuk sementara waktu dan tempat berkumpul keluarga untuk bersama-sama melaksanakan upacara kematian.
Terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan 17 yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. Berdasarkan hasil penelitian terakhir, dari jumlah itu ada yang tidak dapat diketemukan lagi 18. Meskipun demikian, etnis Toraja tetap mengklasifikasi gambar passuraq ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.
Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja.
Kedua dinamakan Passuraq Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga sampai kakek nenek.
Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.
D. Mengungkap masa lampau melalui Gambar Passuraq
Bagaimana sebuah teks gambar passuraq yang berasal dari tradisi masa lalu dapat dibaca dan dipahami maksud yang tersimpan dibaliknya, sangat dipengaruhi oleh cara berpikir orang yang membacanya, khususnya cara berpikir seni rupa 19. Dengan mengikuti cara berpikir seni rupa, akan diungkapkan empat bidang kehidupan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar passuraq, dimulai dari penggambaran mengenai wilayah orang Toraja, sistem kepercayaan dalam agama leluhur, dan larangan-larangan yang bersifat adat.
1. Wilayah Toraja
Etnis Toraja menamakan gambar di samping Pakbarre Allo, artinya menyerupai matahari. Subyek gambar adalah empat garis lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis berdiameter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel. Lingkaran kedua berwarna putih dan lingkaran ketiga berwarna merah tebal dengan garis-garis lengkung berwarna kuning. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dengan bentuk segitiga berwarna merah pada titik fokus. Batas keempat lingkaran itu adalah ruang berwarna hitam juga membentuk lingkaran. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara horizontal, vertikal dan diagonal.
Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan merah sebagai subyek utama bermaksud untuk menonjolkan empat bentuk lingkaran, menyampaikan arti dan sekaligus mengkontraskan dengan latar belakang yang berwarna hitam. Motif gambar memperlihatkan garis yang memutar mengikuti siklus lingkaran yang tidak memiliki batas awal dan akhir. Perputaran itu menyatakan adanya pergerakan yang tanpa henti dan akan menciptakan bentuk ruang yang berisi penuh. Dengan demikian garis lingkaran sebenarnya lebih bersifat membentuk kesan ruang dan kesepakatan.
Berdasarkan kesan ruang, aspek konsep gambar mengacu pada pembagian wilayah.
Lingkaran pertama adalah wilayah adat Lembang, berdaulat dan dipimpin oleh Ambek Lembang. Warna yang digunakan adalah merah darah yaitu warna leluhur mereka di utara.
Lingkaran kedua berwarna putih tulang yaitu warna keturunan dan diinamakan wilayah Buah (kandungan) dipimpin oleh Ambe Bua.
Lingkaran ketiga adalah wilayah federasi atau gabungan yang dinamakan Penanian. Federasi dirupakan dengan garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi dikoordinir oleh seorang anggota adat yang bergelar To Parengngek.
Lingkaran terdalam dinamakan wilayah tiku padang (seperempat bagian) dirupakan dengan bangun segitiga, bertugas membantu To Parengngek dengan gelar Patalo. Empat wilayah tiku padang yang menyatu dapat bergabung ke dalam wilayah penanian.
2. Sistem Kepercayaan
Gambar di samping dinamakan Paktedong Paktikek yang bisa diartikan sebagai kendaraan arwah. Subyek gambar mempresentasikan tema dunia binatang dengan penggabungan tiga badan. Simbol kerbau dapat dikenali melalui tanduknya, babi melalui taringnya, dan kambing melalui daun telinga 20.
Subyek digambar secara stilisasi dengan menggunakan warna hitam. Untuk memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga terwujud sosok hewan yang memiliki raut seperti silhouette berwarna hitam yang keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak mata untuk semakin memperjelas keangkerannya. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris vertikal.
Ditinjau dari aspek rupa, gabungan tiga bentuk badan binatang telah melalui suatu proses distorsi dan deformasi sehingga menghasilkan gambar abstrak berkesan magis religius. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata, memperjelas bahwa binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek menggunakan warna hitam sebagai warna kegelapan dan kematian, sangat kontras dengan warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian.
Berdasarkan kesan magis religius yang ditampilkan melalui bentuk-bentuk yang abstrak serta penggunaan warna hitam yang dominan, maka aspek konsep obyek mengacu pada ide akan hewan persembahan yang berfungsi sebagai kendaraan arwah dan terlihat menyerupai Totem. Totem pada etnis tertentu diartikan sebagai patung atau gambar ukiran menyerupai binatang aneh dan sebagai lambang suku primitif, Totem dapat menurunkan garis keturunan kepada manusia dan dengan demikian Totem dianggap sebagai nenek moyang.
Cita-cita utama bagi penganut agama leluhur adalah bersatu dengan arwah nenek moyang pertama yaitu Puang Matua di negeri puya, dan untuk mencapai negeri itu diperlukan kendaraan arwah. Gambar Pattedong Pattikek mengambil peran sebagai kendaraan arwah untuk bertemu dan bersatu dengan arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Dalam rangka proses mobilisasi arwah, maka segenap keturunannya perlu mengorbankan sebanyak mungkin kerbau, babi dan ayam sebagai kendaraan dan bekal perjalanan agar dapat merubah status arwah dari Tobombo (gentayangan) menjadi Tomebalipuang (menyatu).
3. Larangan Poliandri
Gambar disamping Pakkapuk Baka artinya menyerupai simpul mati sebuah penutup wadah, mengetengahkan tema kemanusiaan. Sebagai simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu yang tabu dan sangat di rahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih, dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan noktah-noktah yang menyebar; warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung, bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim pada bagian tengah di empat tepi panel. Warna hitam digunakan sebagai warna latar. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih (pria) dan merah (wanita) bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dengan warna hitam sebagai warna latar. Dalam lingkaran warna putih terlihat bentuk yang menyerupai vagina, sedang di tengah lingkaran merah terdapat bentuk zakar. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun, fokus pandang terletak pada garis silang yang ada di bagian tengah bidang gambar.
Berdasarkan kesan pornografi yang ditampilkan, maka aspek persepsi konsep gambar mengacu kepada sesuatu larangan dalam kehidupan masyarakat Toraja. Larangan sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Adapun bentuk larangan divisualisasikan dalam bentuk teknik jalinan lingkaran putih. Lingkaran putih yang melingkupi vagina menjalin dua lingkaran merah yang melingkupi zakar, memberi informasi bahwa seorang wanita Toraja tidak dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki atau poliandri.
4. Larangan Berzinah
Bentuk larangan yang terdapat pada gambar pakdaun peria yang artinya sepahit daun peria. Larangan itu sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Kuncup bunga dari daun peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan keluarga, namun kesucian itu akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke dalam lingkaran dunia hitam yang gelap. Tidak hanya terhadap gadis remaja, wanita pada umumnya yang divisualisasikan dengan bentuk vagina akan mengalami hal yang sama bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal yang demikian perlu ditekankan oleh karena simbol vagina pada dasarnya adalah keinginan laki-laki yang setiap saat ingin menikmatinya.
Meskipun membaca teks gambar cukup penting tetapi hal yang lebih utama adalah menulis dan disinilah keahlian sejarawan berimajinasi dan merekonstruksi. Dalam berimajinasi, H. White telah membuka jalan untuk menafsirkan teks masa silam dengan metode “pengalihan sejajar” 21. Sesuatu yang ideografi dialihkan menjadi historiografi, dari teks gambar menjadi teks tertulis. Sikap berpikir ilmiah seperti ini menghadirkan masa lalu bagaikan tanaman merambat (rhizome) yang bergerak membiak ke samping secara horizontal, berdampingan dengan pertumbuhan pohon keluarga yang vertikal mencari kebenaran akhir.
Penutup
Sumber sejarah masa lalu dalam bentuk budaya rupa gambar niscaya mempunyai relasi kesamaan dengan sumber sejarah tertulis oleh karena secara historis keduanya merupakan produk dari realitas obyektif yang selalu dibaca. Banyak realitas sejarah tertulis yang luput, hilang dan bahkan sengaja dihilangkan dalam penulisan sejarah tetapi masih dapat diruntut melalui peninggalan budaya rupa.
Penggunaan budaya rupa dalam penelitian dan penulisan sejarah akan mendekatkan hubungan antara disiplin ilmu sejarah dengan bidang ilmu yang memusatkan perhatian pada obyek budaya material seperti, arkeologi, arsitektur, seni rupa dan desain. Jika lembaga Peradilan memerlukan alat bukti material untuk merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi, maka sejarawan juga memerlukan hal yang sama selain dokumen tertulis.
Bisa terjadi muncul pandangan yang berbeda dalam menghadirkan masa lalu oleh karena perbedaan sumber yang digunakan (lisan, arsip, gambar). Akan tetapi perbedaan tersebut sesungguhnya tidak perlu saling meniadakan. Semuanya perlu hidup secara bersamaan di masa kini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing serta segala kepentingan yang ada dibaliknya. Cara menggungkap masa lampau melalui budaya rupa gambar yang disampaikan dalam makalah ini hanya bertujuan untuk pengkayaan yaitu dalam rangka meningkatkan produktivitas penulisan sejarah Indonesia.
Fote Note :
1 Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah IX, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hotel Sahid, Jakarta: 5-8 Juli 2011.
2 Staf pengajar pada Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra/Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.
3 Inner logic atau logika inheren adalah cara berpikir internal dalam disiplin ilmu sejarah di Indonesia yang membuat babakan waktu. Jaman prasejarah dianggap sebagai masa ketika belum ditemukan tulisan sehingga yang “bukan tulisan” menjadi luput dari perhatian sejarawan kontemporer.
4 Lihat Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2005; Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.
5 Bagaimana cara seorang sejarawan menginterpretasi peninggalan budaya rupa khususnya gambar-gambar seni masa lalu, dapat diketahui melalui karya Rudolf Arnheim, Art and Visual Perception, London : University of California Press,1984.
6 Winfried Noth, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990, hlm.446.
7 Claire Holt, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967, hlm.6
8Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999, hlm.230
9 Lihat Charles Jencks, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy Editions, 1978, hlm. 39-80.
10 Chris Jenks, Visual Cuture, Routledge London : 1995, hlm.16
11 Goran Sonesson, “Pictorial Semiotics,” “The Internet Semiotics Encyclopaedia, http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.
12 Lihat Edward T. Hall, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.
13 Lihat Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, London : Logman, 1984, hlm. 33-37
14 Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University Press, 1981, hlm. 145.
15 Lihat Paul Ricoeur , Interpretation Theory : Discourse and the Surplus of Meaning, Texas : Christian University Press, 1976, hlm 9
16 Dalam rekonstruksi sejarah, sejarawan menggunakan fakta (icon) dan imajinasi (plastis). Bandingkan dengan Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. 18-19
17 Motif gambar yang dimaksud adalah hasil karya, Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1960, hlm. 5-82; Sumber lain yang juga menampilkan 70 gambar motif ornamen adalah karya J.S. Sande, Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.
18 Lihat Anwar Thosibo, Mengungkap Makna Ornamen Pasuraq pada Arsitektur Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual, Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.
19 Lihat Yasraf Amir Piliang, Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa Depan. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.
20 Pada mulanya, kambing adalah hewan persembahan dalam ajaran agama leluhur akan tetapi karena alasan bahwa hewan ini selalu mengeluarkan suara mbek sama seperti salah satu gelar penguasa adat bagian timur Toraja yaitu ambek, ditambah dengan pengaruh
ajaran agama Kristen yang datang kemudian lalu mengidentikkan kambing sebagai hewan kurban dalam agama Islam, maka sebagai penggantinya adalah ayam sebagai hewan persembahan.
21 Lihat Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987, hlm.186-190.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987.
Anwar Thosibo, “Mengungkap Makna Ornamen Gambar Passuraq pada Arsitektur Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual. Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.
Arnheim, Rudolf, Art and Visual Perception, London : University of California Press, 1984.
Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta:Ombak, 2005.
----------------, Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.
Berger, Arthur Asa, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, London : Logman, 1984.
Hall, Edward T, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.
Holt, Claire, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press,1967.
Jencks, Chris, Visual Cuture, Routledge London : 1995.
Jencks, Charles, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy Editions, 1978.
Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Balai Pustaka,1960.
Noth, Winfried, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990.
Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok : Lembaga Penelitian UI, 1999.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University Press, 1981.
----------------, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, Texas : Christian University Press, 1976.
Sande, J.S., Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992.
Sonesson, Goran “Pictorial Semiotics,” The Internet Semiotics Encyclopaedia, http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.
Yasraf Amir Piliang, “Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa Depan”. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.
BIODATA
Nama Lengkap : Dr. Anwar Thosibo, M.Hum.
Tempat /tanggal lahir : Makassar, 26 Nopember 1957.
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unhas.
Alamat : Perumahan Dosen UnHas Tamalanrea Blok O/13. Makassar 90245, Telp. (0411) 585723, 081282701957
Pendidikan : 1. Sarjana Muda : Arkeologi, UNHAS – Makassar, 1981
2. Sarjana : Ilmu Sejarah, UGM – Yogyakarta,1984
3. Magister : Ilmu Humaniora, UGM – Yogyakara, 1993
4. Doktor : Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB-Bandung2005
Sumber Tulisan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata , Konferensi Nasional Sejarah IX , Hotel Bidakara Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.