Dec 9, 2015

* Maradeka To Wajoe Ade’na Napopuang


Oleh Nor Sidin

Mengeksplorasikan logika perbedaan dan logika persamaan melalui wacana secara lebih kultural dalam melihat identitas kepemimpinan politik di Kerajaan Wajo. Konsep yang dihadirkan sebagai imajinasi komunitas Wajo saat itu yang terangkat dalam keterbatasan pola inheren yang memiliki karisma demokrasi yang berdaulat. Ikatan persaudaraan dan persamaan menjadi dasar untuk membangun sebuah dimensi sosial yang memiliki nilai-nilai kultur budaya dalam berpolitiknya memiliki tatanan demokratis yang baik. Maradeka to Wajoe Ade’na napopuang merupakan tindakan diri sebagai kebanggaan yang dapat mampu menata sebuah identitas yang terbangun dari sebuah konsep jati diri. 

Maradeka bukan merupakan myth (mitos) bagi masyarakat Wajo namun maradeka bagi To Wajo penyempurnaan objektivitas baru yang mampu merehabilitasi ulang struktur yang memiliki ketimpangan di masa lalu. Kearifan lokal yang sedemikian kaya dan telah menjadi daya tarik untuk mengetahui nilai-nilai kebudayaan masyarakat Wajo. Pengkajian yang mencakup hal ini, telah sangat luas terkandung pada lembaran-lembaran naskah lontara’ yang tersebar di lapisan masyarakat Wajo. Abad ke 14 merupakan masa keemasan Wajo terutama di era kepemimpinan La Taddampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo ke IV dan masa kepemimpinan beliau juga hadir sosok cendekiawan Wajo yakni La Tinringeng To Taba. Kehadiran mereka berdua memberikan konsep akan Check and Balance

Check and Balance dengan penyelenggaraan kekuasaan yang memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemoni,tirani, dan sentralisasi kekuasaan.(1) Keharmonisan sosial politik Wajo saat itu merupakan stabilitas kekeluargaan (assijingngenge) yang memiliki nilai –nilai efektivais yang tinggi. Sistem ini berfungsi memberikan dampak yang baik akan keseimbangan meskipun konflik sewaktu-waktu bisa muncul akan dapat diatasi secara bersama. Proses pengambilan keputusan yang dihadiri secara bersama-sama tanpa adanya keputusan sepihak merupakan moralitas kepercayaan tinggi terhadap nila budaya siri pesse yang saling menghargai satu sama lain yakni antara pemimpin dan rakyat. Pra terbentuknya masyarakat Wajo sudah terlihat akan dimensi demokrasi akan timbul dii masa datang yang terliaht pada proses pengambilan keputusan. 

Amaradekangeng konsep alamiah yang dimiliki To Wajo saat itu tertuang dalam Lontara Sukunna Wajo yakni : 

nia riasengngi maradeka tellumi pannessai sewuani tenrilawai ri olona, Madduana tenriangkai ri ada-adanna, matelunna tenri atteangngi lao meniang,lao manorang,lao orai,lao alau.lau riase, laoriawa. 

Artinya yang disebut merdeka hanya tiga hal yang menentukan pertama tidak dihalangi kehendaknya, kedua tidak dilarang mengeluarkan pendapat,ketiga tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur ke atas dan ke bawah itulah hak hak-hak kebebasan. (2) 

Konsep yang merupakan filsafat demokrasi yang lahir dari masyarakat Wajo, yang akhirnya ketika membaca akan kehadiran sebuah buku-buku filsafat Yunani seperti aristoteles alangkah bijaknya arah kearifan lokal  lebih terarah demi kata dan lebih banyak memikirkan Puang Ri Maggalatung atau La Tenringeng To Taba yang sedang berdiri di depan kerumunan rakyat Wajo, berpikir siapa orang dalam kerumunan yang mendengarkan dan apa budaya politik pada waktu itu, sehingga mengapa kata-kata ini dapat diterima pada abad ke 14 saat itu? To Wajo memilki hak-hak alamiah untuk maradeka yang merupakan kebebasan dan mencapai kebahagiaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stratifikasi sosial bukan penghambat untuk bersama.

La Tinringeng To taba menjelaskaskan secara lebih spesifik apa yang dimaksud ata’ dalam masyarakat Wajo saat itu. Salah satu penjelasan La Tinringeng To Taba yakni 

"Makkeda Arung Saotanre La Tinringeng To Taba ade’ pura nonrona Wajo, naiyya riasengi maradeka risampengi ri karae’ alekkenna, Iya ripasoro’e maradeka, ata puttaeppa makkulle risampeangngi. Naiyya Jancinna temmuassarangeng ana’ eppona lamappa pammaradeka, Lima gau naripassu riajeanna; sewuani natonangiwi wija-wijanna tomappamaredekae; Madduwanna natettongngiwi balinna lamappamaradeka; mattelunna lejjai cappa jalli; Maeppanan nasitaiwi lakkainan ana epponan lamappamaradeka; Malimanna massakah ripammaradeka; Essaniritu ripasessu ri ajoanna naripoata paimeng. (3) 

Penyampaian La Tinringeng To Taba sebagai Arung Saotanre saat itu merupakan konsep mendasar dari sebuah kepemimpinan yang menunjukkan cendekiawan yang memiliki kejujuran berani dan teguh pendirian (macca na malempu, Waraniwi na magetteng). (4) Demokrasi yang di selenggarakan merupakan ketetapan dasar alamiah bahwa Adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu ( ade temmakeana’ temmakke Eppo). Sistem sosial politik yang diselenggarakan memberikan kemampuan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat Wajo saat itu . La Taddampare Puang Ri Maggalatung dan La Tinringeng To Taba memberikan kesepadanan ( agettengeng) dan kepatutan (assitinajangeng) sebagai seorang pemimpin. 

Jangan serakah akan kedudukan dan jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, dan jangan sampai engkau tidak mampu memperbaiki negeri, Bila engkau dibutuhkan baru engkau maju dan bila ditunjuk baru engkau iyakan ( aja’ muangoai onrong, aja to muacinnai tanre tudangeng, de’ tu mullei padecengi tana. Risappa’po muompo, ri jello’po muompo ri jello muakkengau).(5) 



28 mei 2011
Wassalam
Akkellu peppeko mulao, , a'bulu rompeko murewe' 
Berangkatlah engkau tanpa membawa apa apa, namun pulanglah dengan segala keberhasilanmu (7)

Referensi
(1) A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), hlm. 4
(2),((4),(5),(6) Mashad Said, Kearifan lokal Dalam Sastra Bugis Klasik, Fakultas Sastra,Universitas Gunadarma, 2007
(3) Drs.H.Pallipui, Lontara; Attoriolong Ri Wajo,Sengkang,Wajo 2005

Baca Selanjutnya - * Maradeka To Wajoe Ade’na Napopuang