Dec 8, 2011

* MENGUNGKAP MASA LAMPAU TORAJA MELALUI SENI UKIR ORNAMEN PASSURAK SEBAGAI SUMBER SEJARAH

Oleh Anwar Thosibo 2

A. Pengantar

Warisan budaya rupa (visual Culture) hasil karya seni tradisi berbagai etnis bangsa Indonesia, khususnya gambar-gambar ornamen seni ukir kayu - yang tersebar dari pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi dan Kepulauan-Kepulauan Indonesia Bagian Timur - merupakan kekayaan budaya rupa dan sumber sejarah masa lalu yang luar biasa. Akan tetapi wacana mengenai kekayaan budaya rupa dan sebagai sumber sejarah, seakan-akan tenggelam dan terkalahkan oleh perhatian terhadap budaya dokumenter yang lebih “prestise” yaitu arsip kolonial dan manuskrif. Penggunaan arsip kolonial dan manuskrif sebagai sumber sejarah masa lalu, sebagai inspirasi historiografi, dan sebagai identitas bangsa merupakan hal yang sudah biasa dan tidak lagi menjadi sesuatu yang baru, akan tetapi penggunaan elemen-elemen dari peninggalan budaya rupa gambar seakan-akan tidak mendapat tempat untuk itu.

Kemungkinan besar ada sebuah alasan penting di samping berbagai alasan lainnya yang menyebabkan peninggalan budaya rupa gambar tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam rekonstruksi sejarah nasional dan historiografi Indonesia; yaitu persoalan “jarak” (distance) antara peninggalan budaya rupa gambar dengan warisan dokumen tertulis (baik jarak waktu, kultural maupun metodologis). Sejarawan akademis masa kini dengan inner logic-nya membuat jarak dengan peninggalan budaya rupa tersebut, sehingga ia seakan-akan bukan menjadi bagian penting dari sumber sejarah, fakta sejarah, dan inspirasi historiografi Indonesia yang sangat kaya..3

Tidak hanya terhadap budaya rupa gambar, para sejarawan akademis pernah membuat jarak dengan sejarawan lain yang dianggap amatir. Itu dilakukan, karena sejarawan amatir dianggap tidak profesional merekonstruksi masa lalu melalui metode ilmu baca kaca; dan pada tingkat yang lebih tinggi juga ditujukan kepada mereka yang berusaha merekonstruksi sejarah masa lampau melalui mimpi seseorang atau populer dikenal dengan istilah penulis sejarah mimpi. Di pihak lain, terdapat sejarawan akademis Indonesia yang setia menggunakan dokumen arsip kolonial dan manuskrif, namun tanpa melalui proses kerja metode sejarah yang kritis. Sebagai contoh, statemen dalam historiografi Indonesiasentris, mengatakan bahwa “VOC melakukan monopoli perdagangan di Indonesia”, dengan mudah berubah dalam penulisan sejarah kontemporer menjadi “VOC berdagang sendiri”. Itulah sebabnya maka pemikiran historiografi Indonesiasentris yang pada mulanya hanya “digugat”, kini mulai didekonstruksi dan berpotensi untuk dikategorikan “gagal”.4

Potensi sejarawan untuk mengerti dan memahami arsip maupun gambar melalui pikiran yang kritis seharusnya tidak memisahkan antara pemahaman kognisi dengan persepsi indra visual, karena bila hal ini dipisahkan maka pikiran seorang sejarawan dapat terarah ke masalah spekulatif abstrak. Selama ini indra penglihatan sejarawan telah dikurangi fungsi dan peranannya sebagai instrumen penelitian sejarah, karenanya sejarawan sering kali menderita sesuatu kekurangan gagasan yang dapat dinyatakan melalui gambaran image, serta suatu ketidakmampuan untuk menemukan maksud dan arti dari apa (gambar) yang dapat dilihat.

Secara alamiah terdapat sejarawan yang mengerti, bahwa peninggalan budaya rupa gambar yang ada di hadapan mereka bisa memberikan informasi sejarah masa lampau, namun yang bersangkutan tetap saja mencari pembenaran akademis di dalam medium kata-kata (arsip dan manuskrif). Rupanya, kapasitas pembawaan sejak lahir untuk dapat memahami melalui indra penglihatan telah “terbius”, oleh karena itu perlu disadarkan dan dibangkitkan kembali perannya. Manusia pada dasarnya mempunyai pertimbangan yang sempurna untuk “bertemu” dan saling memahami satu sama lain (lalu dan kini) melalui peninggalan budaya rupa gambar, dan hal itu dapat dibuktikan melalui permainan gerak dari pantomim yang diam tanpa kata. Dalam hubungan ini Rudolf Arnheim 5 lebih mempertegas, bahwa hal yang visual itu tidak bisa disampaikan dengan lisan dan tulisan tetapi hanya dengan cara visual. Begitupun pemahamannya tidak hanya pada kognisi tetapi perlu melibatkan persepsi indra visual.

Jika benar bahwa penulisan sejarah sudah demikian keadaannya, maka dalam upaya menimbulkan kesadaran sejarah nasional mengenai pentingnya peninggalan budaya rupa gambar sebagai sumber sejarah, fakta sejarah dan inspirasi historiografi Indonesia; tampaknya diperlukan semacam “politik wacana” (politics of dircourse) atau tepatnya “politik tekstual” (textual politics), yaitu sebuah usaha untuk memperjuangkan pentingnya wacana dan teks-teks gambar yang telah diwariskan oleh berbagai etnis bangsa Indonesia sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dari perkembangan pemikiran metodologi ilmu sejarah, khususnya dalam perannya sebagai sumber pengetahuan masa lalu dan sumber inspirasi penulisan sejarah Indonesia yang sangat kaya.

Untuk semua itu, maka dalam rangka politik wacana tersebut, tentu diperlukan, pertama-tama pemahaman yang mendalam mengenai (1) fenomena budaya rupa gambar dengan berbagai aspek, bentuk dan konteksnya. Selanjutnya membuka diskusi lebih lanjut mengenai, (2) bagaimana peninggalan budaya rupa gambar tersebut - dengan mengambil contoh ornamen seni ukir karya etnis Toraja - dapat digunakan sebagai sumber sejarah, dan akhirnya (3) mencoba mengungkap atau mendeskripsikan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar ornamen berdasarkan persepsi idera visual.

B. Budaya Rupa Gambar: Suatu Kerangka Pengertian

Dalam pengertian Indonesia, kata rupa berarti keadaan yang tampak di luar atau wujud yang kelihatan, dan umumnya merupakan persamaan dari sesuatu yang mungkin tidak dapat dirupakan. Begitu juga dalam Webster New Collegiate Dictionary, istilah rupa (visual) didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan penglihatan, kesan yang diperoleh lewat penglihatan, sesuatu yang menghasilkan citra mental (mental image), yaitu gambaran yang tampil pada pikiran seseorang ketika melihat sesuatu. Istilah rupa dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari relasi sesuatu yang dapat dilihat (seen) dengan sesuatu yang melihat (seeing). Sesuatu yang dilihat dapat berupa gambar, arsitektur, patung, atau foto. Meskipun istilah rupa sebagai pencitraan mempunyai pengertian beragam dan bahkan bertentangan 6, namun selalu merujuk ke masa lalu.

Dalam kebudayaan, sesuatu yang bersifat rupa biasanya diorganisir lewat apa yang disebut sebagai “bahasa rupa” (visual language), yaitu bahasa khusus yang di dalamnya digunakan unsur-unsur rupa (garis, bentuk, warna, gerak dan ruang), yang dikombinasikan dengan cara tertentu sesuai dengan kesepakatan sosial, sehingga dipahami maksudnya oleh komunitas bahasa. Di dalam bahasa verbal, kode adalah cara kombinasi tanda-tanda menggunakan gramar atau sintak. Di dalam bahasa rupa dikenal juga gramar rupa (visual grammar), dengan menganalogikan unsur rupa sebagai kata-kata dalam bahasa verbal. Hanya, kata-kata dalam bahasa rupa lebih elastis dan mempunyai banyak bentuk.

Bahasa rupa adalah bahasa manusia yang paling tua dibandingkan dengan bahasa verbal, sebab melihat sesuatu yang bersifat rupa telah ada sebelum lahir kata-kata. Ketuaan bahasa rupa diperlihatkan dengan jelas oleh manusia prasejarah sebagaimana pendapat Claire Holt, bahwa garis-garis yang mengayun pada dinding gua, bagaikan kata-kata yang disusun dalam satu hubungan tematik yang jelas 7. Begitu pun pendapat Primadi Tabrani, bahwa gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah, bahwa gambar cadas tersebut merupakan sebuah “media komunikasi” untuk menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika 8.

Budaya rupa (visual culture) berkaitan dengan penciptaan dan penggunaan segala sesuatu yang bersifat rupa lewat bahasa rupa. Istilah bahasa rupa dalam pengertian akademis digunakan untuk menjelaskan gambar atau bentuk 9. Akan tetapi, dalam pengertian luas didefinisikan sebagai “benda budaya yang menampakkan rupanya merupakan sifat penting keberadaan dan tujuannya”10. Alam juga mempunyai unsur rupa (garis, bentuk, warna, tekstur, dan ruang) akan tetapi alam tidak merupakan bagian dari bahasa rupa, karena bahasa rupa merupakan karya khas manusia. Meskipun demikian, alam (flora, fauna, dan benda-benda langit) menjadi sumber utama bahasa rupa tersebut, sebagai cara manusia mengkulturkan alam. Ketika etnis Toraja menggambar sesuatu dari alam (tumbuhan, binatang atau organ tubuh) ke dalam wujud budaya rupa, mereka telah membudayakan alam atau tepatnya menjadikan alam sebagai obyek budaya rupa.

Dalam budaya rupa, dengan demikian tampak sekali campur tangan manusia dalam menciptakan sesuatu yang bersifat visual, menandingi sifat-sifat visual alam. Oleh sebab itu, „teknologi perupaan‟ (visual technology) mempunyai peran penting dalam perkembangan budaya rupa tersebut. Di dalam budaya rupa pra-modern yang mempunyai teknologi perupaan yang masih sederhana dikenal teknik-teknik toreh, pahat, ukir dan bakar. Sementara, dalam apa yang disebut sebagai „budaya rupa modern‟ (modern visual culture), budaya rupa lebih kerap dikaitkan dengan media yang mempunyai teknologi tinggi seperti fotografi, video, komputer dan internet.

Penggunaan elemen-elemen rupa sebagai tanda di dalam masyarakat yang sederhana maupun yang modern, dalam rangka menyampaikan sebuah informasi atau pesan (message) tertentu merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari budaya rupa. Tanda rupa (visual sign) digunakan untuk berkomunikasi dan tanda-tanda itu berkaitan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dipersepsi. Sebuah tanda, sebelum berubah menjadi hal lain dalam satuan bentuk gambar merupakan obyek yang ditangkap oleh indra penglihatan yang menunjukkan sebuah nilai 11. Suara, bau dan rasa juga termasuk tanda yang memiliki nilai dengan sifat-sifat materialnya masing-masing, akan tetapi dalam menganalisis rupa gambar diperlukan sekurangnya lima variable yang ekuivalen dengan seperangkat dimensi yang masing-masing menunjukkan suatu nilai berdasarkan sifat materialnya.

Pertama, warna. Warna merupakan tanda rupa, oleh karena warna itu sendiri sudah mengandung nilai tertentu yang disepakati secara sosial di dalam suatu komunitas bahasa. Merah misalnya menandakan kegairahan, bahaya, dan panas; hijau menandakan kesegaran, sifat alamiah, dan pertumbuhan; kuning menandakan keagungan atau kebangsawanan; putih menandakan kesucian sedang hitam menandakan kedukaan dan kegelapan.

Kedua, garis. Garis memiliki bentuk dan karakter tersendiri yang dapat digunakan sebagai penunjuk sesuatu hal. Garis lurus vertikal merujuk kepada kekuatan yang bergerak ke atas ketika mata kita tergerak untuk melihat dari bawah ke atas. Garis horizontal yang terletak mendatar sejajar dengan cakrawala (horizon) menunjuk kepada ketenangan. Garis diagonal menunjuk kepada peralihan tidak seimbang, oleh karena itu selalu berkaitan dengan pengertian sesuatu yang berbahaya jika dikaitkan dengan manusia.

Ketiga, bentuk. Bentuk mempunyai peran penting dalam menghasilkan nilai, karena ada kode-kode yang mengatur nilai bentuk tertentu di dalam masyarakat. Gambar yang menggunakan bentuk bunga pada sebuah media mempunyai konotasi dengan konsep-konsep seperti cinta, atau sayang; sementara bentuk masjid dan ketupat pada kartu lebaran mempunyai konotasi lain seperti keagungan, kesucian, ketuhanan atau lahir batin.

Keempat, ukuran. Ukuran merupakan elemen visual yang penting dalam menghasilkan arti sebuah tanda. Stupa di puncak candi Borobudur yang berukuran besar bisa menandakan kekuasaan, kebesaran, dan ketinggian. Begitu pun perubahan ukuran pakaian akan menciptakan arti berbeda. Ukuran dalam budaya rupa pra-modern menjadi penting karena sangat menentukan pesan yang disampaikan. Seekor ayam yang digambarkan dengan ukuran lebih besar dari kerbau karena ayam dianggap lebih penting.

Kelima, keruangan. Elemen ruang mempunyai pengaruh yang besar dalam penciptaan nilai. Ruang kosong dan penuh, jauh dan dekat, lapang dan sesak merupakan kualitas-kualitas tanda yang mampu menawarkan nilai berbeda. Ruang dalam memang tidak terlihat, tetapi bisa menjadi nyata dengan keberadaan elemen lain pada permukaannya yang membatasi dan menegaskannya. Ketakutan akan kekosongan (horror vacui) merupakan manifestasi dari nilai yang tercipta dari ruang sebagai tanda 12. Gerak dan gesture merupakan unsur lain tanda visual yang juga dapat menghasilkan makna yang berbeda-beda 13.

Kombinasi tanda yang diorganisir dengan komposisi tertentu membentuk kalimat bermakna, yang pada akhirnya membentuk „teks‟ (text). Teks dalam pengertian linguistik didefininiskan sebagai wacana dalam bentuk tulisan 14, sementara wacana itu sendiri dapat diartikan sebagai realisasi penggunaan bahasa. Sebuah passuraq, iklan, dan arsitektur adalah sebuah wacana yang berwujud teks, yang dalam arti sempit adalah wujud tulisan dan dalam arti luas, teks dapat didefinisikan sebagai kombinasi tanda-tanda. Segala sesuatu yang terdiri dari kombinasi dua atau beberapa tanda adalah sebuah teks. Sebuah kombinasi kata-kata akan membentuk „teks verbal‟ (verbal text), begitu juga kombinasi elemen-elemen dalam fashion akan membentuk „teks fashion‟ (fashion text), sementara kombinasi elemen-elemen dalam gambar akan membentuk „teks gambar‟ (painting text) 15.

C. Gambar Passuraq Sebagai Sumber Sejarah

Etnis Toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tidak mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal, oleh karena itu secara metodologis ada tantangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu Toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk manuskrif. Bagi mereka yang “ekslusivisme” dengan mudah dapat menggunakan prinsip “tidak ada dokumen tertulis tidak ada sejarah”, akibat prinsip itu lenyaplah masa lalu Toraja yang unik bersamaan dengan menjauhnya para sejarawan.

Meskipun tidak meninggalkan dokumen tertulis, tidak berarti bahwa etnis Toraja tidak menyimpan aktualitas masa lalunya. Selain penuturan lisan, gambar-gambar passuraq yang terdapat pada bangunan adat Tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yang terseleksi atau tepatnya aktualitas yang terdokumentasi dengan baik berdasarkan hasil konvensi masyarakatnya. Kesemuanya dimaksudkan sebagai sumber sejarah yang memberi informasi, pesan, dan ungkapan masa lalu. Etnis Toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passuraq, yang bisa disamakan artinya dengan gedung arsip, penuh dengan teks gambar yang berderet panjang dan penuh arti.

Passuraq, berasal dari akar kata suraq sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran. Dalam pengertian tersebut, passuraq memiliki kapasitas pictographic karena tema dan gagasan referensialnya direpresentasikan dalam bentuk gambaran ideografik, dan dengan demikian juga identik dengan historiografi sebagai pelukisan sejarah. Gambaran dalam passuraq dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Toraja masa lalu. Tema dan gagasan referensialnya pun tidak selalu dalam bentuk nyata, namun juga yang abstrak dalam bentuk geometris.

Menarik dan penting untuk ditelaah bahwa artikulasi passuraq ternyata identik dengan tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis 16. Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.

Kebiasaan tradisional etnis Toraja untuk tetap menggambar (passuraq) sama seperti bentuk aslinya (einmalig), telah berlangsung cukup lama. Patut diduga, bahwa tradisi itu muncul bersamaan waktunya dengan berkembangnya kepercayaan leluhur mereka yaitu Aluk Todolo. Dikatakan demikian karena ajaran agama leluhur menetapkan, bahwa setiap langkah upacara kematian selalu diikuti dengan peletakan motif passuraq tertentu pada bidang dinding yang tertentu. Dengan berakhirnya semua langkah upacara kematian maka seluruh bidang luar bangunan adat Tongkonan telah tertutup sejumlah passuraq, membentuk suatu komposisi yang teratur. Itu sebabnya mengapa Tongkonan sering dinamakan rumah kehidupan dan rumah kematian yang maksudnya tempat mayat disemayamkan untuk sementara waktu dan tempat berkumpul keluarga untuk bersama-sama melaksanakan upacara kematian.

Terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan 17 yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. Berdasarkan hasil penelitian terakhir, dari jumlah itu ada yang tidak dapat diketemukan lagi 18. Meskipun demikian, etnis Toraja tetap mengklasifikasi gambar passuraq ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.

Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja.
Kedua dinamakan Passuraq Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga sampai kakek nenek.
Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.

D. Mengungkap masa lampau melalui Gambar Passuraq

Bagaimana sebuah teks gambar passuraq yang berasal dari tradisi masa lalu dapat dibaca dan dipahami maksud yang tersimpan dibaliknya, sangat dipengaruhi oleh cara berpikir orang yang membacanya, khususnya cara berpikir seni rupa 19. Dengan mengikuti cara berpikir seni rupa, akan diungkapkan empat bidang kehidupan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar passuraq, dimulai dari penggambaran mengenai wilayah orang Toraja, sistem kepercayaan dalam agama leluhur, dan larangan-larangan yang bersifat adat.

1. Wilayah Toraja

Etnis Toraja menamakan gambar di samping Pakbarre Allo, artinya menyerupai matahari. Subyek gambar adalah empat garis lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis berdiameter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel. Lingkaran kedua berwarna putih dan lingkaran ketiga berwarna merah tebal dengan garis-garis lengkung berwarna kuning. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dengan bentuk segitiga berwarna merah pada titik fokus. Batas keempat lingkaran itu adalah ruang berwarna hitam juga membentuk lingkaran. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara horizontal, vertikal dan diagonal.

Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan merah sebagai subyek utama bermaksud untuk menonjolkan empat bentuk lingkaran, menyampaikan arti dan sekaligus mengkontraskan dengan latar belakang yang berwarna hitam. Motif gambar memperlihatkan garis yang memutar mengikuti siklus lingkaran yang tidak memiliki batas awal dan akhir. Perputaran itu menyatakan adanya pergerakan yang tanpa henti dan akan menciptakan bentuk ruang yang berisi penuh. Dengan demikian garis lingkaran sebenarnya lebih bersifat membentuk kesan ruang dan kesepakatan.

Berdasarkan kesan ruang, aspek konsep gambar mengacu pada pembagian wilayah.

Lingkaran pertama adalah wilayah adat Lembang, berdaulat dan dipimpin oleh
Ambek Lembang. Warna yang digunakan adalah merah darah yaitu warna leluhur mereka di utara.
Lingkaran kedua berwarna putih tulang yaitu warna keturunan dan diinamakan wilayah Buah (kandungan) dipimpin oleh Ambe Bua.
Lingkaran ketiga adalah wilayah federasi atau gabungan yang dinamakan Penanian. Federasi dirupakan dengan garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi dikoordinir oleh seorang anggota adat yang bergelar To Parengngek.
Lingkaran terdalam dinamakan wilayah tiku padang (seperempat bagian) dirupakan dengan bangun segitiga, bertugas membantu To Parengngek dengan gelar Patalo. Empat wilayah tiku padang yang menyatu dapat bergabung ke dalam wilayah penanian.

2. Sistem Kepercayaan

Gambar di samping dinamakan Paktedong Paktikek yang bisa diartikan sebagai kendaraan arwah. Subyek gambar mempresentasikan tema dunia binatang dengan penggabungan tiga badan. Simbol kerbau dapat dikenali melalui tanduknya, babi melalui taringnya, dan kambing melalui daun telinga 20.

Subyek digambar secara stilisasi dengan menggunakan warna hitam. Untuk memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga terwujud sosok hewan yang memiliki raut seperti silhouette berwarna hitam yang keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak mata untuk semakin memperjelas keangkerannya. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris vertikal.

Ditinjau dari aspek rupa, gabungan tiga bentuk badan binatang telah melalui suatu proses distorsi dan deformasi sehingga menghasilkan gambar abstrak berkesan magis religius. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata, memperjelas bahwa binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek menggunakan warna hitam sebagai warna kegelapan dan kematian, sangat kontras dengan warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian.

Berdasarkan kesan magis religius yang ditampilkan melalui bentuk-bentuk yang abstrak serta penggunaan warna hitam yang dominan, maka aspek konsep obyek mengacu pada ide akan hewan persembahan yang berfungsi sebagai kendaraan arwah dan terlihat menyerupai Totem. Totem pada etnis tertentu diartikan sebagai patung atau gambar ukiran menyerupai binatang aneh dan sebagai lambang suku primitif, Totem dapat menurunkan garis keturunan kepada manusia dan dengan demikian Totem dianggap sebagai nenek moyang.


Cita-cita utama bagi penganut agama leluhur adalah bersatu dengan arwah nenek moyang pertama yaitu Puang Matua di negeri puya, dan untuk mencapai negeri itu diperlukan kendaraan arwah. Gambar Pattedong Pattikek mengambil peran sebagai kendaraan arwah untuk bertemu dan bersatu dengan arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Dalam rangka proses mobilisasi arwah, maka segenap keturunannya perlu mengorbankan sebanyak mungkin kerbau, babi dan ayam sebagai kendaraan dan bekal perjalanan agar dapat merubah status arwah dari Tobombo (gentayangan) menjadi Tomebalipuang (menyatu).


3. Larangan Poliandri

Gambar disamping Pakkapuk Baka artinya menyerupai simpul mati sebuah penutup wadah, mengetengahkan tema kemanusiaan. Sebagai simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu yang tabu dan sangat di rahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih, dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan noktah-noktah yang menyebar; warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung, bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim pada bagian tengah di empat tepi panel. Warna hitam digunakan sebagai warna latar. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.

Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih (pria) dan merah (wanita) bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dengan warna hitam sebagai warna latar. Dalam lingkaran warna putih terlihat bentuk yang menyerupai vagina, sedang di tengah lingkaran merah terdapat bentuk zakar. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun, fokus pandang terletak pada garis silang yang ada di bagian tengah bidang gambar.

Berdasarkan kesan pornografi yang ditampilkan, maka aspek persepsi konsep gambar mengacu kepada sesuatu larangan dalam kehidupan masyarakat Toraja. Larangan sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Adapun bentuk larangan divisualisasikan dalam bentuk teknik jalinan lingkaran putih. Lingkaran putih yang melingkupi vagina menjalin dua lingkaran merah yang melingkupi zakar, memberi informasi bahwa seorang wanita Toraja tidak dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki atau poliandri.


4. Larangan Berzinah

Bentuk larangan yang terdapat pada gambar pakdaun peria yang artinya sepahit daun peria. Larangan itu sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Kuncup bunga dari daun peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan keluarga, namun kesucian itu akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke dalam lingkaran dunia hitam yang gelap. Tidak hanya terhadap gadis remaja, wanita pada umumnya yang divisualisasikan dengan bentuk vagina akan mengalami hal yang sama bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal yang demikian perlu ditekankan oleh karena simbol vagina pada dasarnya adalah keinginan laki-laki yang setiap saat ingin menikmatinya.

Meskipun membaca teks gambar cukup penting tetapi hal yang lebih utama adalah menulis dan disinilah keahlian sejarawan berimajinasi dan merekonstruksi. Dalam berimajinasi, H. White telah membuka jalan untuk menafsirkan teks masa silam dengan metode “pengalihan sejajar” 21. Sesuatu yang ideografi dialihkan menjadi historiografi, dari teks gambar menjadi teks tertulis. Sikap berpikir ilmiah seperti ini menghadirkan masa lalu bagaikan tanaman merambat (rhizome) yang bergerak membiak ke samping secara horizontal, berdampingan dengan pertumbuhan pohon keluarga yang vertikal mencari kebenaran akhir.

Penutup

Sumber sejarah masa lalu dalam bentuk budaya rupa gambar niscaya mempunyai relasi kesamaan dengan sumber sejarah tertulis oleh karena secara historis keduanya merupakan produk dari realitas obyektif yang selalu dibaca. Banyak realitas sejarah tertulis yang luput, hilang dan bahkan sengaja dihilangkan dalam penulisan sejarah tetapi masih dapat diruntut melalui peninggalan budaya rupa.

Penggunaan budaya rupa dalam penelitian dan penulisan sejarah akan mendekatkan hubungan antara disiplin ilmu sejarah dengan bidang ilmu yang memusatkan perhatian pada obyek budaya material seperti, arkeologi, arsitektur, seni rupa dan desain. Jika lembaga Peradilan memerlukan alat bukti material untuk merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi, maka sejarawan juga memerlukan hal yang sama selain dokumen tertulis.

Bisa terjadi muncul pandangan yang berbeda dalam menghadirkan masa lalu oleh karena perbedaan sumber yang digunakan (lisan, arsip, gambar). Akan tetapi perbedaan tersebut sesungguhnya tidak perlu saling meniadakan. Semuanya perlu hidup secara bersamaan di masa kini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing serta segala kepentingan yang ada dibaliknya. Cara menggungkap masa lampau melalui budaya rupa gambar yang disampaikan dalam makalah ini hanya bertujuan untuk pengkayaan yaitu dalam rangka meningkatkan produktivitas penulisan sejarah Indonesia.

Fote Note :

1 Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah IX, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hotel Sahid, Jakarta: 5-8 Juli 2011.
2
Staf pengajar pada Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra/Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.

3
Inner logic atau logika inheren adalah cara berpikir internal dalam disiplin ilmu sejarah di Indonesia yang membuat babakan waktu. Jaman prasejarah dianggap sebagai masa ketika belum ditemukan tulisan sehingga yang “bukan tulisan” menjadi luput dari perhatian sejarawan kontemporer.

4
Lihat Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2005; Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.

5
Bagaimana cara seorang sejarawan menginterpretasi peninggalan budaya rupa khususnya gambar-gambar seni masa lalu, dapat diketahui melalui karya Rudolf Arnheim, Art and Visual Perception, London : University of California Press,1984.

6
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990, hlm.446.

7
Claire Holt, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967, hlm.6

8
Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999, hlm.230

9
Lihat Charles Jencks, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy Editions, 1978, hlm. 39-80.

10
Chris Jenks, Visual Cuture, Routledge London : 1995, hlm.16

11
Goran Sonesson, “Pictorial Semiotics,” “The Internet Semiotics Encyclopaedia, http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.

12
Lihat Edward T. Hall, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.

13
Lihat Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, London : Logman, 1984, hlm. 33-37

14
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University Press, 1981, hlm. 145.

15
Lihat Paul Ricoeur , Interpretation Theory : Discourse and the Surplus of Meaning, Texas : Christian University Press, 1976, hlm 9

16
Dalam rekonstruksi sejarah, sejarawan menggunakan fakta (icon) dan imajinasi (plastis). Bandingkan dengan Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. 18-19

17
Motif gambar yang dimaksud adalah hasil karya, Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1960, hlm. 5-82; Sumber lain yang juga menampilkan 70 gambar motif ornamen adalah karya J.S. Sande, Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.

18
Lihat Anwar Thosibo, Mengungkap Makna Ornamen Pasuraq pada Arsitektur Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual, Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.

19
Lihat Yasraf Amir Piliang, Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa Depan. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.

20
Pada mulanya, kambing adalah hewan persembahan dalam ajaran agama leluhur akan tetapi karena alasan bahwa hewan ini selalu mengeluarkan suara mbek sama seperti salah satu gelar penguasa adat bagian timur Toraja yaitu ambek, ditambah dengan pengaruh

ajaran agama Kristen yang datang kemudian lalu mengidentikkan kambing sebagai hewan kurban dalam agama Islam, maka sebagai penggantinya adalah ayam sebagai hewan persembahan.
21
Lihat Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987, hlm.186-190.


DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987.
Anwar Thosibo, “Mengungkap Makna Ornamen Gambar Passuraq pada Arsitektur
Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual. Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.
Arnheim, Rudolf, Art and Visual Perception, London : University of California
Press, 1984.
Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta:Ombak, 2005.

----------------, Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.

Berger, Arthur Asa, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics,
London : Logman, 1984.
Hall, Edward T, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.

Holt, Claire, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press,1967.

Jencks, Chris, Visual Cuture, Routledge London : 1995.

Jencks, Charles, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy
Editions, 1978.
Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Balai Pustaka,1960.

Noth, Winfried, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990.

Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat
(ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok : Lembaga Penelitian UI, 1999.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University
Press, 1981.
----------------, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, Texas :
Christian University Press, 1976.
Sande, J.S., Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1992.
Sonesson, Goran “Pictorial Semiotics,” The Internet Semiotics Encyclopaedia,
http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.
Yasraf Amir Piliang, “Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa
Depan”. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.

BIODATA

Nama Lengkap : Dr. Anwar Thosibo, M.Hum.
Tempat /tanggal lahir : Makassar, 26 Nopember 1957.
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unhas.
Alamat : Perumahan Dosen UnHas Tamalanrea Blok O/13. Makassar 90245, Telp. (0411) 585723, 081282701957
Pendidikan : 1. Sarjana Muda : Arkeologi, UNHAS – Makassar, 1981
2. Sarjana : Ilmu Sejarah, UGM – Yogyakarta,1984
3. Magister : Ilmu Humaniora, UGM – Yogyakara, 1993
4. Doktor : Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB-Bandung2005



Sumber Tulisan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata , Konferensi Nasional Sejarah IX , Hotel Bidakara Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.
Baca Selanjutnya - * MENGUNGKAP MASA LAMPAU TORAJA MELALUI SENI UKIR ORNAMEN PASSURAK SEBAGAI SUMBER SEJARAH

Dec 7, 2011

* MELIHAT SEJARAH SOSIAL DI MAKASSAR MELALUI ROMAN DAN CERPEN KARYA H.J. FRIEDERICY

Oleh: Amrullah Amir(1)

Sastra dan sejarah memiliki hubungan timbal balik. Karya sastra dapat menjadikan peristiwa sejarah sebagai obyeknya dan demikian pula sebaliknya, sastra dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah. Fakta-fakta sejarah hubungan antar masyarakat dan pergulatannya dapat ditemukan dalam karya sastra yang dapat digunakan sebagai pelajaran dan warisan intelektual untuk memahami kekinian dan merancang masa depan yang lebih baik.
Tulisan ini melihat Sulawesi Selatan, khususnya wilayah Makassar dari gambaran Herman Jan Friedericy, seorang penulis, ilmuan, dan pernah bertugas sebagai Binnenland-Bestuur di beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Karyanya yang diangkat yaitu sebuah roman berjudul De Raadsman atau “Sang Penasihat” dan sebuah cerita pendek bertitel Bloed (Darah). Kedua karya H.J. Friedericy ini merupakan sebuah gambaran sejarah dari keadaan sosial masyarakat Sulawesi Selatan pada masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1906-1942. Periode ini adalah masa pemerintahan penuh secara administrasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda setelah penaklukan kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar hingga kedatangan Jepang di nusantara.

1. H.J. Friedericy dan Dunia Kolonial di Makassar

Herman Jan (Han) Friedericy, lahir pada tanggal 8 Juni 1900 di Stadskanaal, Onstwedde dekat Geldorp bagian selatan Noord-Brabant, Belanda. Ayahnya Jan Friedericy, pegawai pada Kantor Pos dan ibu bernama Harmanna Hillinga. Setahun kemudian, pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Friedericy berkembang dalam suasana Politik Etis mempengaruhi pandangan orang-orang di Belanda.

Setelah tamat HBS, ia masuk ke Universitas Leiden tahun 1918 dan masuk jurusan Indologi. Di sini para calon ambtenar akan dilatih dan diberi pendidikan agar siap menjalankan tugas langsung dan administrasi di Hindia Belanda. Friedericy menamatkan pendidikannya di Universitas Leiden tanggal 16 Desember 1921. Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur Hindia Belanda tertanggal 18 Maret 1922, Friedericy resmi bergabung dalam jajaran BB untuk Hindia Belanda dan ditempatkan di Sulawesi Selatan.

Sebagai pencinta sastra, Friedericy mendapatkan banyak pengaruh dari karya-karya sastra yang dihasilkan para pendukung politik etis. Diantaranya karya-karya Pieter Brooshooft, Kartini, Augusta de Wit dan Marie van Zeggelen 2 memenuhi jiwa Friedericy selain karya Multatuli dan Couperus yang dikenalnya lebih awal. Karya-karya penulis era Etis inilah yang kelak mempengaruhi karya-karya sastra Friedericy kelak seperti yang ditulis oleh R. Nieuwenhuys.3

2. Gambaran Umum Makassar 1906-1942

Setelah penaklukan sebagian besar kerajaan Sulawesi Selatan, utamanya atas kerajaan Gowa dan Bone dengan berbagai dalih yang digunakan oleh Gubernur Jenderal van Heutz seperti melepaskan rakyat dari penindasan kaum bangsawan maka mereka melakukan penertiban atas kerajaan-kerajaan. Dengan dalih pasifikasi, tindakan militer dilaksanakan di Sulawesi Selatan dan berakhir sekitar 1906, dengan ditawannya raja Bone, La Pawawoi dan tewasnya penguasa Makassar, Karaeng Lembang Parang.
Pemerintah kolonial Belanda memaksa para raja-raja di Sulawesi Selatan untuk menandatangani Korte Verklaring atau Perjanjian Pendek yang berisi pengakuan takluk dan pernyataan kesetiaan kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Serta akan melaksanakan segala peraturan yang di buat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan para wakilnya.
Setelah para raja-raja di Sulawesi Selatan menandatangani Perjanjian Pendek tersebut, pemerintah kolonial merombak wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut. Pemerintah kolonial membuat gubernemen Celebes yang berkedudukan di Makassar dan membagi daerah-daerah kerajaan ke dalam afdeling dan onderafdeling. Sulawesi Selatan yang Friedericy datangi di awal abad 20 adalah suatu masyarakat yang yang sedang mengalami desintegrasi, kebanggaan yang hilang, dan degenerasi nilai-nilai setelah penaklukan tahun 1906. Friedericy menulis gambarannya tentang Kerajaan Gowa sekitar tahun dua puluhan :

Lebih empat tahun di Sulawesi Selatan ... Apa yang ditemukannya? Tidak ada nasionalisme, yang diorganisir maupun tidak. Ia menemukan orang-orang Bugis dan Makassar, masih tetap sedikit banyaknya berkelompok dalam kerajaan-kerajaan besar atau kecil, suatu dunia feodal. Suatu dunia, memang, yang sudah kehilangan pamor dan kegairahannya. Keluarga-keluarga raja, kalau tidak sudah diruntuhkan, sudah banyak kehilangan kekuasaannya, tidak ada lagi perang-memerangi, tidak ada lagi gerombolan-gerombolan, perampok berkeliaran di dalam negeri, golongan bangsawan tidak lagi mendapat kesempatan untuk memeras penduduk, perbudakan sudah dihapuskan, dan ada pengadilan yang pada umumnya adil.

3. Kehidupan para bangsawan

Diantara jarak Makassar dan Sungguminasa, terletak desa Jongaya, yang merupakan tempat kediaman penguasa Kerajaan Gowa dan keturunan serta kerabat utama kerajaan yang terpenting. Jongaya, dahulu merupakan bekas ibukota kerajaan Gowa sebelum rusak berat setelah ekspedisi militer 1906. Kemudian dialihkan ke Sungguminasa karena Gubernur Celebes menganggap Jongaya terletak di luar pusat. Sebagai daerah Zelfbestuur Gowa terhitung tanggal 1 Januari 1937, Sungguminasa dianggap daerah baru yang tidak lagi kuat terikat pada tradisi. Keadaan Jongaya, tempat tinggal keturunan Raja Gowa dan bangsawan, digambarkan oleh Friedericy :

Raja terakhir Goa, Kulau Karaeng Lembangparang ketika pada tahun 1906 melarikan diri dari orang Belanda, jatuh ke dalam jurang dan tewas. Putra mahkota Mappanyukki, yang pada waktu itu berusia enam belas tahun, diasingkan ke Pulau Salayar. Kelompok keturunan raja dan bangsawan istana, kehilangan pemimpinnya, sang raja, dan kehilangan pula kekuasaannya; mereka tidak bisa memeras rakyatnya lagi dan banyak anak Karaeng jatuh miskin. Namun demikian Jongaya masih besar pengaruhnya – di sana pernah di simpan pedang „Sudang‟ yang sakti, di tengah berpuluh barang perhiasan yang lain, sebelum di bawa Belanda ke Betawi. Perkataan seorang keturunan raja berdarah murni masih tetap lebih berharga daripada perkataan seribu orang merdeka; meskipun orang Belanda tidak memberikan kekuaasan lagi kepada keluarga raja, mereka masih terpandang, meskipun anggota-anggotanya hina dan papa.4


Di bekas ibu kota Jongaya dahulu, yang terletak beberapa kilo meter dari Makassar, beratus-ratus keturunan Raja Goa dengan pelayan-pelayan dan hamba sahayanya laki-laki dan perempuan, tinggal di berpuluh-puluh rumah panggung yang besar, terdiri atas dua puluh lima tiang. Budak-budak dan hamba sahaya tersebut sudah bertahun-tahun di bebaskan oleh penguasa Belanda, dimasukkan dalam golongan orang merdeka, tapi mereka lebih suka hidup di bawah naungan bekas raja-raja besar itu daripada berdiri di atas kakinya sendiri.
5


Para keluarga raja dan bangsawan di Jongaya dan sebagian di daerah Gunung Sari hidup dalam keadaan miskin. Setelah Karaeng Lembang Parang, raja Gowa terakhir gugur di tahun 1906, harta mereka di sita. Regalia (kalompoang) kerajaan Gowa di rampas oleh pemerintah Hindia Belanda dan dijadikan alat untuk memperkuat kewibawaan Gubernemen di mata rakyat. Karena dalam sejarah dan adat Gowa, pemegang regalia adalah pemegang sesungguhnya atas Kerajaan Gowa. Untuk sementara tercipta ketenangan di wilayah ibukota dan sekitarnya.

4. Kriminalitas dan Persaingan Antar Bangsawan

Di wilayah pedalaman bangsawan-bangsawan yang kehilangan kekuasaannya tetap melakukan gerakan-gerakan perlawanan. Itulah sebabnya Sulawesi Selatan di beri julukan „De Onrust Eiland‟, „Pulau Keonaran‟ oleh Pemerintah Kolonial. Dalam banyak laporan Memorie van Overgave pejabat kolonial banyak memuat laporan tentang tindakan perampokan dan balas dendam yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. 6
Perampokan bukanlah hal baru dalam masyarakat Sulawesi Selatan, dalam sejarah masyarakat Sulawesi Selatan penculikan untuk tujuan dijadikan budak atau dijual telah berlangsung lama.7 Perbuatan melakukan perampokan hewan atau melarikan anak gadis sebagai kegiatan untuk menguji keberanian dan ketangkasan sering dilakukan dikalangan bangsawan di daerah ini. Tindakan perampokan menjadi ukuran suatu kelompok bangsawan yang merampok lebih kuat dari pada yang di rampok, dan hal ini menimbulkan pembalasan oleh pihak yang di rampok untuk mengembalikan rasa malu mereka. Tindakan perampokan bertujuan untuk menguji kemampuan, keberanian dan kekuasaan.8 Namun tampaknya di masa pemerintahan Belanda, intensitasnya meningkat akibat pertentangan antara pemerintah Belanda dengan bangsawan maupun antara para bangsawan itu sendiri. Salah satu gambaran yang ditampilkan oleh Friedericy mengenai persaingan dan pertentangan antara para bangsawan seperti ditampilkan dalam cerita pendeknya “Bloed” 9 sebagai berikut:

Karaeng Katapang Tua tersenyum. Bola matanya yang gelap terlihat lelah. Di bawah bulu matanya yang terlihat lentik terlihat berair. Selama lebih setengah abad dalam hidupnya terlibat dalam permainan asmara dengan gadis-gadis muda yang pemalu yang bertubuh ramping, namun masa-masa itu telah berlalu kini. Tahun-tahun yang lampau. Pada tangannya yang diam dan putih bersandar pada kursi rotan terdapat jemari yang dipenuhi cincin Makassar yang besar. Tangannya bukanlah tangan seorang prajurit, ia bukan seorang pejuang yang melawan dengan keris atau badik…. Di dekat kedua kakinya duduk dua orang cucu lelakinya beserta cucunya yang paling muda. Ia tersenyum karena mereka memintanya mengisahkan sebuah cerita tentang kisah balas dendam dari Hadji Moestapa.


"Wahai anak-anakku,"katanya, "Hadji Moestapa adalah seorang pemberani. Seorang laki-laki yang sangat pemberani. Tetapi ia telah melupakan bahwa darah saya lebih murni darinya. Dan dia telah lupa bahwa hal itu berbahaya bagi seorang bajingan untuk untuk ikut campur dalam urusan yang menyangkut darah seorang pangeran. Meskipun, ia sendiri adalah seorang saudara dari Karaeng Katangka, raja ketiga puluh Gowa, tetapi ibunya adalah seorang wanita dari rakyat biasa, putri seorang kepala kampong di kaki pegunungan Malakadji. Karaeng Bontolangkasa menghamili ibunya dalam suatu perburuan rusa di daerah itu dan kemudian dengan ibu dan anaknya dibawanya serta ke istana.


Sebagai anak muda, Mostapa tidak tahan menerima kenyataan bahwa ia harus menghormati orang yang dianggapnya lemah seperti kita ini , para keturunan pangeran muda berdarah murni. Saya tidak menyangkal bahwa dia lebih kuat daripada kita. Kami, saudara-saudara saya, sepupu saya dan saya, semua mungil, seperti adanya kalian. Yang kalau berjalan seperti wanita yang berjalan gemulai dengan panggul, lengan dan bahu berayun santai.


"Dia ingin memiliki apa yang kami punyai" kata Karaeng Katapang dan melanjutkan ceritanya, "dan dia juga memiliki banyak kasus. Dari semua itu, darah tidak dapat dibersihkan dan kita bisa katakan dalam warisan besar dari rumah tangga Kerajaan Gowa hingga tahun 1906 – seperti yang ia saksikan: beras kita ladang, kebun kelapa, kolam ikan, rumah bata, belati dan tombak bertahtakan emas, perhiasan senilai puluhan ribu real. Dengan melihat hal tersebut ia kemudian berhubungan dengan orang-orang jahat yang menjadikan dia dan mereka semakin kuat karena keberaniannya. Ia menjadi pelindung mereka karena darah kerajaan terdapat dalam venanya. Ia adalah pemimpin para pengacau, bandit, bajingan, perampas istri orang, penyelundup opium dan para perampok.


Selain kenyataan budaya di atas, perampokan di Sulawesi Selatan juga melibatkan para bangsawan. Persaingan antara bangsawan dan keadaan politik dalam negeri menjadi fenomena tersembunyi dalam kegiatan perampokan ini.

Gerakan perampokan yang dipimpin oleh Tolo‟ Daeng Magassing, mantan kepala satuan pasukan Kerajaan Gowa, memiliki pengikut dan pendukung beberapa orang bangsawan tinggi di Gowa dan daerah sekitarnya. Diantaranya, Macan Daeng Barani, cucu dari Arung Matoa Wajo Karaeng Mangepe; Abasa Daeng Manromo Karaeng Bilaji, saudara tiri dari dari Karaeng Lembangparang, raja Gowa terakhir yang gugur melawan Belanda; Paciro Daeng Mapata, bangsawan tinggi Kerajaan Gowa yang menjabat duta Gowa di Kerajaan Bone sebelum masa penaklukan. Selain itu terdapat Daeng Patompo dan Daeng Manyengka yang merupakan saudara dan keponakan dari regen Polombangkeng. 10

Keadaan ini membuat I Mappanyukki, Karaeng Kabalokang, dan Karaeng Lengkese memutuskan untuk melakukan pengejaran dan mengakhiri kegiatan perampokan. Usaha ini akhirnya berhasil menemukan persembunyian dan menewaskan I Tolo‟ beserta beberapa pengikutnya di Kampung Kalanipa pada tanggal 17 November 1915.11

Coenen dalam laporannya menyimpulkan bahwa perampokan yang melibatkan para bangsawan Gowa, regen, kepala kampung dan pengikutnya bersifat politis berhubungan dengan hilangnya kebesaran dan kekuasaan mereka disamping balas dendam atas tewasnya Macan Daeng Barani. Ia juga berpendapat bahwa kekuatan militer dibutuhkan untuk mengamankan wilayah ini. Menurutnya hanya yang terkuat yang memegang kekuasaan. Namun persoalan sesungguhnya yang menyebabkan perlawanan para bangsawan itu diabaikan. Ketika pemerintah mengambil alih tanah-tanah kerajaan dan bangsawan mengakibatkan mereka kehilangan sumber utama pendapatan dan kekuasaan. Belanda mengalihkan persoalan besar ini menjadi tindakan kriminal dan perlawanan.

5. Kehidupan Pangreh Praja

Untuk kebutuhan lapangan pada awalnya Gubernur Celebes Baron Quarles de Quarles meminta kepada para ambtenaar BB yang masih muda menjadi ahli mengenai negeri dan rakyat dan mampu berbicara dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Namun dalam kenyataannya hal itu sulit karena di Sulawesi Selatan terdapat lima belas bahasa dan seringnya terjadi mutasi membuat hal itu menjadi mubazir saja. Belakangan pejabat Belanda biasanya dibantu oleh para ambtenaar bumiputra yang berpendidikan baik, lagipula pengetahuan bahasa Melayu yang digunakan secara umum di Hindia Belanda dikuasai oleh ambtenaar Belanda semakin luas.


Anwar Daeng Situju yang menjadi penasihat bagi pemerintah kolonial Belanda di Sungguminasa, sebenarnya seperti yang diakui oleh Friedericy adalah dua sosok pejabat bumiputra yang pernah dekat dengannya. Karakter dua sosok ini menjadi gambaran ideal Friedericy dan ambtenaar Belanda lainnya sebagai pegawai pangreh praja pribumi : tidak menegak minuman beralkohol, taat pada agama namun moderat utamanya di bidang pendidikan dan dekat dengan rakyat serta setia kepada pemerintah.12 Adapun „Tuan Anwar‟ dalam roman Friedericy digambarkan sebagai sosok pangreh praja ideal:

…Anwar, yang paling pendiam dari ketiga anak Karaeng itu, setelah selesai sekolahnya, diantarkan oleh ayahnya kepada Tuan Petoro Pangkajene, dengan permohonan untuk mendidik dia dikantornya. Untuk apa, tidak ditanyakan oleh Tuan Petoro yang menghormati ayah Anwar sebagai orang yang mempunyai kebanggaan dan tak tergoyahkan. Anak itu memperlihatkan kecerdasan dan kerajinan, dari seorang magang atau juru tulis pembantu ia menjadi juru tulis dan dari juru tulis ia menjadi orang yang mengerjakan segala macam pekerjaan dan dari orang yang mengerjakan segala macam pekerjaan ia menjadi asisten pangreh praja – “Tuan Asisten” – di Maros dan sekarang ia menjadi asisten pangreh praja kelas satu di Sungguminasa… namanya dikenal oleh semua pegawai pangreh praja, Belanda atau pun Makassar, dan oleh banyak kepala….


Ia seorang yang sangat taat pada agama dan menunaikan semua kewajiban sebagai orang Islam, sepanjang pekerjaannya memungkinkan. Alkohol tidak pernah disentuhnya, kecuali jika ia, itu pun amat jarang, terkena salesma yang berat dan minta diambilkan anggur di toko Cina di pasar….. dalam bulan Ramadhan, bulan puasa, ia bahkan tidak menelan ludahnya pada waktu siang hari; apabila ia berada di kantor hampir tiap sepuluh menit ia membuang ludahnya dalam tempat ludah tembaga yang besar, yang tersedia di samping meja tulisnya. Keinginannya yang sangat ialah melakukan perjalanan ke Mekah dalam waktu yang tidak terlalu lama.
13


… Ketika Tuan Anwar, lebih sepuluh tahun yang lalu, mulai bekerja di Goa, seluruh Jongaya memandang rendah kepadanya. Tapi Tuan Anwar, ia sendiri bangsawan, mengetahui tempatnya dalam susunan masyarakat Makassar. Sebagai seorang bangsawan ia penuh berbudi bahasa. Meskipun berada dalam posisi yang sulit ia tetap sangat sopan santun. Dan setelah beberapa tahun, beberapa keturunan raja yang sangat berpengaruh mulai memberika kepercayaan kepadanya dan menghargainya. Ia menjadi penasihat mereka dalam banyak urusan. Tapi sekalipun ia sangat sopan santun – dan dengan cara yang hampir berlebihan ia menghormati anak-anak terunan raja yang disisihkan, penuh dendam, dan penggerutu itu – dalam percakapan ia tidak pernah menunjukkan rasa takut. Memang – meskipun seorang bangsawan, ia bukanlah orang yang pernah mendapat nama harum karena berburuan berkuda mengejar rusa yang cepat larinya; ia pun tidak pernah, sesudah percekcokan, menikam seseorang dengan keris atau badiknya. Tidak – dalam hal fisik Tuan Anwar bukanlah pahlawan. Tapi pada saat yang tepat ia mengeluarkan pendapatnya dengan suara lembut agak serak, dengan kata-kata yang terpilih dengan baik. Dan itu dilakukannya terhadap anggota-anggota bangsawan yang paling tinggi maupun sep atasannya, Tuan Petoro.
14


… Ia seorang yang mengenal Goa, berbicara kecuali bahasa Makassar – bahasanya sendiri – juga bahasa Melayu yang bagus, bahasa Bugis, sedikit bahasa Arab, dan bahasa Belanda.
15
… Tuan Petoro jarang melihat Tuan Anwar marah dan murka. Sekali ia melihatnya marah sewaktu pemeriksaan Kepala Kampung Kassi… kali lain ia memarahi Karaeng Mandalle,… dengan pucat dan gemetaran, karena pemfitnah tua itu memburuk-burukkan beberapa anggota keluarga raja yang terkemuka.
16


Tokoh Tuan Anwar sejatinya bernama Mauraga Daeng Malliungang yang diangkat sebagai Karaeng Pangkajene pada tahun 1912 menggantikan ayahnya. Ia mendapat pendidikan di OSVIA. Mauraga adalah kepala daerah yang baik, seperti yang dilaporkan oleh kontrolir M.A. Los, bahwa ia penuh ambisi dan bersemangat memimpin daerahnya. Pada tanggal 31 Agustus 1931, menerima bintang perak karena kesetiaannya dan pengabdiannya yang besar kepada rakyat dan pemerintah Hindia Belanda. Beberapa putranya menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogya, yang diharapkan dapat menggantikannya.17 Salah satu anak Mauraga Daeng Malliungang yaitu Andi Burhanuddin, pernah menjabat sebagai Menteri Sosial NIT dalam kabinet Putuhena.18 Sebagaimana disampaikan oleh Friedericy bahwa salah seorang anak Tuan Anwar pernah menjabat sebagai menteri dalam suatu kabinet di Negara Indonesia Timur. Namun ia tidak menjelaskan lebih jauh pada kabinet siapa meski ia menyebutkan sebagai Menteri Pengajaran.
Gambaran ideal pangreh praja ini merupakan kebalikan dari penggambaran para bangsawan tinggi Makassar lainnya, utamanya para bangsawan istana yang digambarkannya berbahaya seperti saudara raja Gowa, Boenta Karaeng Mandalle, yang dijuluki si lila padalle, berlidah kadal.19 Dalam sebuah laporan Friedericy mengingatkan kepada pejabat Belanda tentang putra ketiga dari Raja I Mangi-mangi Karaeng Bontonompo, yang ternyata kelak diangkat sebagai Raja Gowa yang diangkat tahun 1946, yang bernama La Ijo Karaeng Lalolong, menggantikan ayahnya sebagai Raja Gowa. Friedericy menggambarkan, bangsawan muda ini :

Putra yang ketiga dari I Mangi-mangi, La Idjo Karaeng Lalolong, yang dilahirkan tahun 1903, sekarang tinggal di Pare-Pare. Pada tahun 1922 diusir oleh ayahnya dari rumah karena mempunyai hutang dalam jumlah besar, dan kini telah menikah dengan putri seorang pedagang kaya dari kalangan bawah yang berasal dari Pare-Pare. Raja ini sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang pemerintahan. Dia hanya mencari kekayaan dan kesejahteraannya sendiri, dan hidup terlalu boros. Ia membuat banyak hutang, dan karena itu dia tidak malu melakukan praktek-praktek yang tidak sepadan dengan status kebangsawannya. Dia tidak memiliki sifat-sifat kritis terhadap perbuatannya sendiri, memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dengan mengorbankan rakyatnya dengan demikian memberikan contoh yang berdampak merusak seluruh organisasi pemerintahan.


Di kantor ia tidak tahu harus melakukan apa selain mondar mandir. Dengan mengadakan pesta dan memberikan hadiah serta bantuan, ia berusaha mengokohkan kedudukannya, karena pemerintahan Swapraja ini tidak memiliki atau hanya sedikit memiliki pengaruh nyata. Karena orang di Makassar tidak tahu lagi hal lain, selain ia adalah raja kerajaan Gowa yang pernah sedemikian terkenal, ia mendapat pernyataan hormat yang membuat ia melihat dirinya di luar proporsi kedudukannya. Ia senantiasa ikut arus, dan selalu mencari muka pada orang yang dianggap memiliki kekuasaan, dan karena itu ia terus berada di Makassar, sehingga karena itu juga tidak dapat dikatakan bahwa ia melaksanakan pemerintahan. 20


6. Gerakan Modernis: Kasus PKI

Munculnya gerakan modernis di Sulawesi Selatan tidak lepas dari gerakan nasionalisme yang berkembang di nusantara di awal abad 20. Salah satu gerakan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan nasionalisme adalah berdirinya Sarekat Islam (SI) tahun 1912 di Surakarta.21 Pada tahun-tahun pertama berdirinya SI mencakup banyak kaum Marxis yang mempunyai pengaruh cukup besar di berbagai cabang SI. Setelah Partai Komunis Indonesia terbentuk tahun 1920, pimpinan SI melarang keanggotaan rangkap dan memecat para SI “Merah”.
Pada tahun 1920, seorang ahli propaganda PKI datang ke Makassar untuk mengorganisasikan suatu gerakan. Pada tahun 1924, PKI cabang Makassar merupakan salah satu di antara empat cabang di luar Jawa yang mengirim utusan ke kongres PKI ke-9.22 Akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh partai ini di Jawa dan Sumatra pada tahun 1926-1927 maka partai ini dianggap terlarang, demikian juga ditahannya banyak pemimpin pergerakan nasional selama tahun 1930 oleh pemerintah Belanda. sehingga selama tahun 1930-an gerakan nasionalis merupakan ancaman kecil bagi pemerintah Belanda.
Konsep Batara Gowa, banyak dipinjam oleh gerakan-gerakan yang tidak puas melihat kenyataan di masa 1915-1930. Konsep itu juga dipinjam oleh Partai Komunis Indonesia yang mulai mencoba menancapkan kukunya di Makassar. Pertumbuhan ini juga meminjam konsep Batara Gowa I Sangkilang, sebagaimana di kisahkan oleh Friedericy :

….Barombong, sebuah kampung yang terletak kira-kira pada perbatasan onderafdeling Makassar. Suatu pagi kedatangan seorang tamu yang tidak dikenal masuk rumah Kepala Kampung…. Tamu itu berbicara bahasa makassar dengan logat Jawa yang kental….dan meramalkan bahwa tidak lama lagi akan terjadi perubahan besar: orang Belanda akan pergi meninggalkan negeri dan tidak akan pernah kembali lagi; kemudian akan tiba masa kemakmuran dan kebahagiaan yang tiada akhirnya, orang tidak perlu membayar pajak lagi; tidak ada yang perlu melakukan rodi lagi; panen akan berlimpahan dan uang akan mengalir… ia berkata bahwa „Pekaieng‟ akan memerintah negeri… kata “Pekaiaeng” yang misterius itu ialah perubahan dari kata PKI, Partai Komunis Indonesia.


….Tuan Anwar berkata,”Sepertinya Sangkilang, Tuan. Sangkilang adalah budak Pangeran Bone yang melarikan diri; kira-kira tahun 1770 budak itu mengaku dirinya Batara Goa II, yakni Raja Goa yang diasingkan oleh Kompeni ke Sailan. Dalam beberapa bulan saja ia mendapat banyak pengikut. Bahkan dua putra raja dan raja-raja Sanrabone dan Tello percaya kepadanya. Akhirnya pengikutnya menjadi begitu banyak, sehingga Raja Goa yang sah terpaksa meninggalkan kerajaannya dan mencari perlindungan Kompeni di Makassar.
23


Peristiwa rencana teror yang dilakukan oleh PKI di Gowa, dikenal dengan nama „Kassizaak‟ terjadi pada bulan November 1926, melibatkan Kepala Kampung Kassi dan anaknya serta warga kampung tersebut.24 Mereka berencana melakukan tindakan sabotase pada pembangkit tenaga listrik di Sungguminasa, membunuh kontrolir dan pejabat pribumi. Penangkapan anggota PKI ini dilakukan oleh pejabat pemerintah, pihak militer dan pihak bangsawan tinggi yang diantaranya diwakili Karaeng Katangka. Adapun jalannya pemeriksaan setelah penangkapan mereka yang terlibat setelah peristiwa tersebut dikisahkan oleh Friedericy dalam bab Pekaieng :


Pemeriksaan menunjukkan, berita-berita yang ditemukan Tuan Anwar kemarin memang benar. Putra Kepala Kampung Kassi itu menerima instruksi dari Makassar agar bersama pengikutnya menghentikan pekerjaan pusat tenaga listrik dengan membunuh para pekerja, juru-juru mesin, dan direkturnya, dan menghentikan pekerjaan mesin-mesin dengan cara bagaimanpun juga. Sekelompok lain harus membunuh Tuan Petoro, Tuan Anwar, Tuan Jaksa, dan Tuan Abdulkadir. Untuk maksud itu ia (anak Kepala Kampung Kassi, penulis) beberapa kali mengadakan pembicaraan-pembicaran dengan lebih dari seratus orang Kassi. Tapi menjelang turunnya malam yang nahas itu dengan naik sepeda putra kepala kampung itu memberi tahu orang-orang Kassi yang ia libatkan dalam persekongkolan itu, bahwa rencana itu dibatalkan. Esok paginya di dalam hutan di luar kampung ia mengancam akan membunuh semua orang laki-laki di kampung itu jika mereka berani membocorkan rencana-rencana yang dibatalkan itu.


Kebanyakan orang dari Kassi tidak dituntut…. Sembilan orang mendapat hukuman dari dua hingga tiga tahun. Yang kesepuluh mendapat hukuman empat tahun penjara. Ia adalah putra Kepala Desa, yang sampai saat terakhir tidak mau mengatakan siapa yang memberikan instruksi untuk menyerang pusat tenaga listrik dan membunuh tuan-tuan di Sungguminasa, dan siapa pula yang menarik kembali instruksi itu. Ayahnya minta berhenti dan diberhentikan, dan meninggal dunia dalam waktu dua bulan.
25


Sebagaimana tanggapannya mengenai persoalan komunisme di Hindia Belanda sejak 1913 hingga tahun 1920-an, Friedericy berpendapat bahwa penelitian yang dilakukan mengenai sebab-sebab „pemberontakan‟ di Jawa dan Sumatera Barat, tidak saja terungkap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah tetapi juga cara yang dipergunakan para agitator komunis yang dapat mempengaruhi pikiran masyarakat yang masih sederhana, sehingga mereka dapat melakukan tindakan-tindakan teror. Agen-agen komunis menjanjikan akan datang dalam waktu dekat „negara yang adil dan makmur‟. Di mana tidak ada pajak, kerja paksa dan keadilan. Namun sebelum itu mereka harus membunuh mereka yang memerintah sekarang, orang-orang Belanda, para pegawai pemerintah, dan juga pemuka masyarakat. 26
Salah satu keberhasilan Friedericy dalam meredam persoalan kebangkitan nasionalisme pada masa itu, adalah usulannya mengembalikan peran para penguasa pribumi dengan menghidupkan kembali kerajaan-kerajaan pribumi dan simbol-simbol yang mereka miliki, serta berbagai penyesuaian-penyesuaian dengan pemerintah kolonial Belanda. Di Sulawesi Selatan, orang-orang Belanda akhirnya dapat diterima dan kekuasaan pemerintah Belanda disesuaikan ke dalam sistem feodal menurut ukuran tertentu dan dengan cara yang menakjubkan. Ratu Belanda dianggap memiliki kekuatan yang lebih besar daripada Raja Bugis atau Raja Makassar, dan Ratu ditempatkan pada puncak susunan hierarki feodal, dan dibawahnya di tempatkan Gubernur Jenderal lalu Gubernur Celebes dan seterusnya berurut ke jenjang pemerintahan dibawahnya. 27

7. Munculnya Elit Modern

Kebanyakan elit modern Sulawesi Selatan berasal dari daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Seperti misalnya, Mauraga Daeng Malliungang, 28 Karaeng atau bangsawan dari daerah Pangkajene, berpendidikan kelas 4 OSVIA, pada tahun 1912 diangkat menjadi regen Pangkajene menggantikan ayahnya. Saudara laki-lakinya menjadi penguasa di masyarakat adat Mandalle dan keponakannya menjadi Karaeng di Maros. Beberapa putranya menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogyakarta.

Salah satu putranya yaitu Andi Burhanuddin yang menggantikannya sebagai Karaeng Pangkajene pada tahun 1942, kemudian dicopot tahun 1945, karena bersimpati pada Republik Indonesia. Andi Burhanuddin pernah menjadi Menteri Penerangan NIT pada Kabinet Anak agung Gde Agung I pada tahun 1947. Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi tahun 1955-1956. Friedericy menggambarkan sosok ini yang dalam romannya bernama Musa :

Tuan Petoro bertemu Musa, putra Tuan Anwar…ia seorang anak yang pendiam, dengan wajah yang tenang seperti merenung….Musa selalu berpakaian sederhana tapi rapi. Kadang ia memakai songkok Makassar, kadang-kadang kopiah sutera hitam. Kadang-kadang ia memakai pakaian Eropa dengan pantalon panjang, kadang-kadang ia memakai sarung. Ia bergerak dengan sikap ningrat…meskipun masih begitu muda, ia sama sekali tidak tampak merendah-rendah atau memperlihatkan adab sopan santun yang semu. 29


Dari kalangan bangsawan Gowa, diantaranya yang kelak menjadi tokoh yang berpengaruh di Sulawesi Selatan yaitu Andi Pangerang Petta Rani, yang merupakan Karaeng Tumabicara Butta atau wakil raja. Friedericy, kontrolir Gowa menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang baik dan suka belajar serta dianggap paling cerdas diantara kaum muda keturunan raja-raja dan menempuh pendidikan di OSVIA.30 Ia menjadi Gubernur Sulawesi tahun 1956-1960.

8. Penutup

Karya-karya Friedericy penting untuk digunakan melihat hubungan masyarakat kolonial di Sulawesi Selatan sehari-hari. Interaksi antara pejabat Belanda dengan bangsawan dan rakyat digambarkan secara manusiawi lengkap dengan pikiran-pikiran mereka, yang memiliki pengalaman dan sudut pandang yang berbeda dan bertemu di suatu tempat atau peristiwa. Karya sastra merupakan refleksi sosial dari kehidupan sehari-hari yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bersama-sama dengan sumber inkonvensional lainnya untuk menulis sejarah masyarakat, sejarah orang kebanyakan, atau sejarah sosial dari kehidupan sehari-hari. Dengan memadu karya tersebut dengan sumber konvensional yang tersedia, maka diharapkan penulisan sejarah tentang suatu masyarakat dapat menggambarkan suasana sejarah pada kurun waktu yang diangkat.


Fote Note :
1 Amrullah Amir, pengajar pada jurusan Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.
2 Beberapa karya Marie van Zeggelen menampilkan keadaan rakyat Sulawesi Selatan seperti Onderworpenen (Mereka yang dikalahkan) yang mengisahkan tentang rakyat Sulawesi Selatan setelah ditaklukkan oleh Belanda dan De Gouden Kris (Keris Emas) yang mengisahkan petualangan La Ballo yang menghadapi Belanda sebagai orang asing dan musuh. Marie van Zeggelen pernah berdiam di Sulawesi Selatan mengikuti suaminya yang seorang perwira militer Belanda (dalam Dick Hartoko, Bianglala Sastra,Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1985) hlm. 200.
3 Ibid.
4 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, (Jakarta: Graffiti, 1990) hlm. 8
5 H.J. Friedericy, Sang Penasihat… hlm. 7-8.
6 E.L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942 (Yogyakarta: Ombak. 2004) hlm. 153.
7 Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan di Sulawesi Selatan (Magelang: Indonesiatera, 2002), hlm. 75-77.
8 Lihat laporan tentang tindakan dan pola kriminalitas dalam W.G. van der Wolk, Memorie van Overgave Onderafdeeling Maros 1946-1947,hlm. 131-39. M.A.Los, Memorie van Overgave Onderafdeeling Pangkadjene, van 2 Mei 1931 tot 3 Juli 1934, hal. 91-92. Lihat juga tulisan G.J. Resink, Negara-negara Pribumi di Nusantara Timur 1873-1915 dalam Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910 (Jakarta: Djambatan, 1987), hlm. 149-196. Juga dalam Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942 (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 150-191.
9 Diterjemahkan bebas dari cerpeb “Bloed”, dalam H.J. Friedericy, Verzameld Werk (Amsterdam: Em. Querido‟s Uitgeverij B.V, 1984), hlm. 125-128
10 Ibid., hlm. 160-162.
11 Dalam Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik, hlm. 173.
12 Dalam pengantar oleh Rob Nieuwenhuys dalam Verzameld Werk, hlm. 14-16. Lihat A.M. Goedhart dalam Adatrechtsbundel XXXVI tanggal 25 Maart 1920. Abd. Razak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: PusKit-Lephas, 2004), hlm. 53. Lihat juga Memori Serah Terima Jabatan di Daerah Pangkajene di bawah Pengawasan Pemerintah Dalam Negeri, M.A. Los, 2 Mei 1931-3 Juli 1934, hlm. 3.
13 H.J. Friedricy, Sang Penasihat, hlm. 6-7.
14 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 8-9.
15 Ibid., hlm. 12.
16 Ibid., hlm. 91. Kepala Kampung Kassi, adalah pimpinan sebuah kampung di Gowa yaitu di Kassi, di mana pada bulan November tahun 1926, hampir sebagian besar warganya terlibat PKI. Sedangkan Karaeng Mandalle, atau lengkapnya Bunta Karaeng Mandalle adalah saudara kandung Raja Gowa ke-33, Karaeng Lembangparang yang tewas saat penaklukan Belanda atas Gowa 1906. Ia adalah salah satu bangsawan tinggi dalam Kerajaan Gowa, lebih jauh lihat H.J. Friedericy, “Gids door het voormalige Gowasche Vorstenhuis”, hlm. 2
17 M.A. Los, Memorie van Overgave, hlm. 3.
18 Abd. Razak Daeng Patunru, Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan (Ujung Pandang: PusKit-Lephas, 2004), hlm. 52. Republik Indonesia Propinsi Sulawesi Selatan (Propinsi Sulawesi Selatan: Jawatan Penerangan RI, 1953), hlm. 171.
19 “Nota behoorende bij de Gids door het voormalie Gowasche Vorstenhuis”, ARSIP NIT 81 (Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Proponsi Sulawesi Selatan Makassar), hlm. 2.
20 Dalam MR. J.T.K. Poll, Laporan Serah Terima Kontrolir Kelas I Kementerian Dalam Negeri, 1948 (Makassar: Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah, 2005), hlm. 3-4. Lihat salinan Surat Karaeng Karuwisi tanggal 22 Juni 1946 dan surat Karaeng Bontonompo tertanggal 20 Juni 1946 sebagai perwakilan Hadat Gowa kepada Residen Selebes di Makassar tentang usulan pengangkatan La Idjo Karaeng Lalolang sebagai calon Raja Gowa pengganti ayahnya I Mangi-mangi yang wafat.
21 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 247-273
22 Ruth T. Mc. Vey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1965), hlm. 184,434.
23 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 70-73.
24 Sangat disayangkan laporan Friedericy tentang Kassizaak ini tidak dapat ditemukan lagi. Demikian juga dinyatakan oleh Fred Vinken dalam tesisnya tentang kehidupan Friedericy sebagai penulis dan ambtenar. Namun kebenaran peristiwa itu ditegaskan oleh Friedericy dalam tulisannya “Penduduk Hindia Belanda dan Kekuasaan Belanda dalam Dasawarsa sebelum Serbuan Jepang”, dalam H.Baudet dan I.J. Brugmans (ed.), Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: YOI, 1987), hlm. 84-85.
25 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 81.
26 H.J. Friedericy, “Penduduk Hindia Belanda”, hlm. 84-85.
27 Ibid., hlm. 85. Friedericy mengisahkan sering menjumpai pengalaman yang menarik selama tugasnya di Sulawesi Selatan, orang-orang Belanda yang menjadi pegawai BB kadang-kadang disentuh secara diam-diam oleh orang-orang tua, pria atau wanita, dengan maksud agar kekuatan gaib yang dimiliki para BB ini berpindah ke tubuh orang-orang tua ini. Sapu tangan yang ketinggalan, tidak di cuci lagi disimpan sebagai sesuatu yang mengandung kekuatan gaib.
28 M.A. Los, Memorie van Overgave Onderafdeeling Pangkadjene 1931-1934, hlm. 3.
29 H.J. Friedericy, Sang Penasihat, hlm. 90-91.
30 Mr. J.T.K. Poll, Memorie van Overgave Bestuurmemorie, hlm. 4


Daftar Pustaka :

Anwar Thosibo. Historiografi Perbudakan di Sulawesi Selatan. Magelang: Indonesiatera. 2002.
Baudet, H. dan I.J. Brugmans, penyunting. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: YOI. 1987.
Dick Hartoko. Bianglala Sastra,Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1985.
Edward L. Poelinggomang. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan: Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak. 2004.
Friedericy, H.J. Sang Penasihat. Jakarta: Graffiti. 1990.
__________. Verzameld Werk. Amsterdam: Em. Querido‟s Uitgeverij B.V., 1984.
__________. “De Gowa Federatie”. Adatrechbundel XXXI: 1929, hlm. 364- 427.
Lukács, Georg. The Historical Novel. London: Merlin Press. 1962.
Los, M.A. , Memorie van Overgave Onderafdeeling Pangkadjene, van 2 Mei 1931 tot 3 Juli 1934 Poll, M.J.T.K., Memorie van Overgave Kontrolir Kelas I, 1948.
Mukhlis PaEni. Dinamika Bugis – Makassar, Jakarta: P.T. Sinar Krida. 1986.
____________. Edward L. Poelinggomang, dan Ina Mirawati, Batara Gowa: Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar. Jakarta: ARNAS-Gadjah Mada University Press. 2002.
Nieuwenhuys, R. The Mirror of The Indie, A History of Dutch Colonial Literature. HK: Periplus. 1999.
Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (editor). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan. 2008.
Penders, Chr. L.M. (ed.). Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1830-1942. Queensland: University of Queensland Press. 1977.
Poll, MR. J.T.K. Laporan Serah Terima Kontrolir Kelas I Kementerian Dalam Negeri, 1948.
Ricklefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1995.
Wal, S.L. van Der (penyunting), Kenang-Kenangan Pangreh Praja Belanda 1920-1942. Jakarta: Penerbit Djambatan. 2001.



Sumber tulisan dikutip dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Konferensi Nasional Sejarah IX, Hotel Bidakara Jakarta, 5 – 7 Juli 2011
Baca Selanjutnya - * MELIHAT SEJARAH SOSIAL DI MAKASSAR MELALUI ROMAN DAN CERPEN KARYA H.J. FRIEDERICY

Nov 12, 2011

* La Galigo, Odisei, Trah Buendia

Sawerigading dalam epik Bugis ‘karya’ I La Galigo dan Odiseus dalam epik Yunani ‘karya’ Homerus — kedua tokoh ini tidak sekedar meniti ombak menyusur dunia. Mereka berdua membangun semesta, yang ditata pada skala pemahaman manusia.

Tersusun dari sekitar 300.000 larik sajak dalam bahasa tinggi arkaik dengan berbagai cerita berangkai, Sureq (serat) Galigo adalah salah satu karya sastra terbesar dunia. Dan yang pasti, bersama epik besar Kyrgizstan yang berusia seribu tahun, Manas; dan novel terbesar Cina berjumlah 120 jilid, Impian Kamar Merah (Hung Lou Meng) ‘karya’ Cao Xueqin dan Gao E yang ditulis di Era Dinasti Manchu di pertengahan abad 18, Sureq Galigo termasuk naskah klasik terpanjang yang dihasilkan manusia.

Dari segi jumlah larik sajak saja, Sureq Galigo sudah melampaui epos terbesar Anak Benua India yang kerap dianggap terpanjang di dunia: Mahabharata. Tapi panjang larik sajak, kecuali mungkin memamerkan stamina penyusunnya, tak dengan sendirinya mencerminkan kekuatan sebuah karya.

Sebuah puisi epik, merujuk Ian Johnston, berbeda dari sajak naratif panjang lainnya karena cakrawalanya yang istimewa. Epik merujuk pada kualitas yang diciptakan oleh puisi berupa penjelajahan dan perayaan atas sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat istimewa yang diuraikannya. Kepada pembaca yang menghidupi dan dihidupinya, epik mempersembahkan sebuah pandangan dunia, sebentuk rasa keparipurnaan budaya, a sense of cultural completeness.

Ian Johnston betul ketika ia mengulas epik Dante La Divina Commedia dan berkata, pembacaan larik-larik puisi epik membuahkan pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan kemungkinan-kemungkinan hari depan — tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.

Alkisah, Sawerigading, putera mahkota kerajaan Luwu, tengah menjambangi makam neneknya di negeri Tompoq Tikkaq (Matahari Terbit). Di sana ia diberitahu rahasia terbesar kerajaan. Di bagian terlarang istana, hiduplah seorang gadis kelewat cantik yang berjalan dengan pakaian serampangan dan menghabiskan waktu dengan mabuk mandi dan bercakap dengan segala jenis burung: seorang makhluk langit yang dititipkan ke dunia.

Dengan berbagai cara, Sawerigading mencari jalan menerobos larangan istana. Begitu melihat gadis tersebut, sukmanya terbang. Ia jatuh cinta pada gadis yang ternyata adik kembarnya, We Tenriabeng, makhluk paling cendekia dalam seluruh kosmologi Bugis. Pangeran muda itu sesungguhnya sudah punya sejumlah isteri. Selain penjudi agung yang gemar menyabung ayam, ia adalah pemburu perempuan yang bersedia mengembara ke neraka untuk mendapatkannya. Pernah ia jatuh hati pada seorang puteri yang telah meninggal. Seluruh armadanya ia kumpulkan lalu dengan brutal ia menyerang alam arwah yang terlarang dan mengacak-acaknya untuk merebut kekasihnya dari tangan dewa.

Mengetahui bahwa tak boleh ia menikahi adiknya, Sawerigading bertolak dari Luwu. Untuk menjinakkan ingatannya pada si adik, pangeran tampan dan romantis itu berniat menjarah seluruh lautan. Armadanya mulai membelah samudera ketika sebuah pesan tiba dari orang tuanya yang kangen. Di depan ayah bundanya kembali ia memohon ijin mempersunting puteri yang satu tembuni dengannya. Orang tua yang mati akal dan bahkan pernah dibentak dengan muncratan ludah itu hanya bisa bilang bahwa insest itu tabu, pemali. Negeri akan berantakan, padi jadi lalang dan sagu lumpur. Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang seusia manusia pertama, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah: kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan insest, Sawerigading memenggalnya.

Sejumlah kesintingan, seperti memanggang berhari-hari semua anak Luwu di bawah matahari dengan harapan agar mereka juga menderita sebagaimana dirinya, masih dilakukan Sawerigading sebelum akhirnya adik kembarnya datang menemui. Bissu belia yang bahkan lebih cerdas dari dewa-dewa ini berupaya keras menghadapi kakaknya yang lebih mencemaskan bahkan ketimbang setan. Segala macam penjelasan kosmis pemali insest dan kabar adanya putri Cina lebih cantik dari si adik, tak dapat masuk ke benak pangeran kepala batu yang terus mendesaknya menikah. Setengah putus asa, We Tenriabeng yang hampir luluh melihat cinta tak berbatas itu, memperlihatkan bayangan I We Cudaiq di kuku jarinya. Lalu dimintanya si kakak berbaring dan ditiupkannya sebentuk mimpi. Mimpi erotis tersebut — di dalamnya Sawerigading sempat dengan ganas baku cumbu dengan Sang Dewi Cina dalam satu sarung — rupanya bekerja, meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Si Adik kembar akan menerima suntingan kakaknya, dan “… kita runtuhkan langit, kita ubah hukum dewata, kita kubur rembulan, melangkahi pemali, duduk bersanding bersaudara”.

Raja Ithaka

Maka diadakanlah persiapan keberangkatan Sawerigading menuju daratan Cina, sebuah petualangan samudera yang memiliki persamaan moral-eksistensial dengan perjalanan pulang Raja Ithaka Odiseus dari Perang Troya yang dahsyat. Armada Bugis itu memang tak menemu orang-orang Lotopaga yang doyan teratai, raksasa buas Polifemus bermata satu, Raja Angin Eolus, penyihir cantik Sirse yang mengubah manusia jadi babi, atau Sirine yang menjerumuskan dengan nyanyian mautnya. Imajinasi tentang hantu dan monster laut yang demikian lama mempengaruhi kesadaran Barat dan masih menyisakan jejak pada peta-peta dunia yang disusun seratusan tahun sejak Columbus mencapai Amerika, bukanlah imajinasi yang mudah ditemui dalam kesadaran Bugis.



Dalam Sureq Galigo yang disusun dari pengalaman maritim ribuan tahun dan mulai diaksarakan sekitar dua abad sebelum komunitas pertama Eropa terbentuk di Nusantara, tak ada hantu dan monster mengerikan yang biasanya lahir dari campuran antara imajinasi agung dan prasangka purba. Yang ditemui armada Sawerigading di hamparan gelombang menuju Cina adalah hadangan lawan-lawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dalam tujuh pertempuran laut besar-besaran. Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai sebentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu biru kerajaan ayah bundanya.

Armada Mancapaiq (Majapahit) yang dipimpin oleh Banynyaq Paguling awalnya melawan sengit. Penumpasannya diakhiri dengan diceraikannya tubuh dan kepala Paguling. Pertempuran-pertempuran selanjutnya yang tak kalah sengit datang dari armada pimpinan La Tuppu Soloq, La Tuppu Gellang, La Togeng Tana dan La Tenripulang. Sedemikian beratnya pertempuran keenam melawan armada La Tenrinyiwiq, Sawerigading terpaksa meminta bantuan adik kembarnya. Seperti Remedios the Beauty dalam One Hundred Years of Solitude, We Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan halilintar. Pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng ri Jawa Olioqe, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan I We Cudaiq yang hendak disunting Sawerigading. Bersama para pengawalnya, Settia Bonga ditangkapi dan dipulangkan ke negeri asalnya.

Ketika pagi rekah, di istananya, Ratu Cina melihat sebuah matahari bergerak di depan matahari yang sedang naik di horison. Matahari itu adalah I La Welenreng, perahu induk Sawerigading yang tengah mendekati pantai Cina. Ketika akhirnya Odiseus terdampar sebagai gelandangan di negerinya, ia masih harus melewati sejumlah ujian dan rintangan berliku untuk bisa kembali menduduki tahtanya dan memenangkan hati Penelope, permaisurinya yang setia. Sawerigading pun harus menempuh jalan berliku dan perang penghancuran hanya untuk menggiring I We Cudaiq ke pelaminan.

Bahkan setelah pesta pernikahan itu, Sawerigading masih harus menyelusuri labirin untuk merebut hati I We Cudaiq. Selama tujuh hari di pusat labirinnya, Putri Cina itu mengenakan celana panjang yang dijahit rapat kedua ujungnya, mirip kiat Ursula Iguaran mencegah pemerkosaan Jose Arcadio Buendia. Versi lain menyebutkan bahwa I We Cudaiq membungkus dirinya bagai kepompong kupu-kupu raksasa dengan tujuh belas lapis kain sutra dewa. Hati I We Cudaiq akhirnya terbuka bukan oleh keperkasaan dan benda-benda, tapi oleh kata benda dan kata kerja: fiksi – rangkaian prosa dan puisi yang dicipta Sawerigading dari kedahsyatan imajinasi dan keajaiban petualangannya menjelajah segala jenis gelombang dunia.

Mengomentari Dialektika Pencerahan Theodor Adorno dan Max Horkheimer yang melacak akar modernitas Barat dan mengangkat Odiseus sebagai protagonisnya, Jurgen Habermas menulis, episode-episode dalam Odisei berkisah tentang bahaya, tipu muslihat dan pelarian diri, yang dengan semua itu, ego — yang belajar mengatasi bahaya — menemukan jati dirinya sendiri dan mengenyam kebahagiaan karena persatuan asali dengan alam dalam dan alam luar. Hal yang serupa bisa juga dikatakan tentang episode-episode Sawerigading meninggalkan Luwu memasuki jantung istana raja Cina. Apa yang segera tampil dari alur kisah ini adalah perjuangan gigih suatu subyektivitas untuk membebaskan diri dari pesona daya-daya mitis dalam kasus Odiseus; dan daya-daya penakluk keganasan samudera, armada-armada lawan dan keperkasaan material dirinya sendiri dalam kasus Sawerigading: “sejarah” para sang tokoh.

Dunia mitis Odiseus dan dunia non-mitis Sawerigading adalah labirin berkelak-kelok yang harus ditelusuri sebelum sang tokoh menemukan jati dirinya, subyektivitasnya. Penelusuran itu bisa berangkat dari motif yang berbeda, bahkan bertentangan. Seperti terpapar di buku kelima, di Pulau Calipso, Odiseus merindukan rumah – yang lebih ia cintai ketimbang kekekalan dan kehidupan bersama seorang dewi di suatu tempat surgawi. Hal seperti ini nyaris tidak masuk akal bagi Sawerigading. Demi seorang dewi, bukan saja ia bersedia meninggalkan tanah kelahirannya: ia bahkan tak begitu keberatan jika tanah airnya berantakan dan seluruh penduduknya punah tertimpa kutuk.

Sedemikian pentingnya pembentukan subyektivitas itu sehingga kisah Odiseus dan Sawerigading tak diakhiri dengan ketenteraman, apalagi kasunyatan. Setelah mendapatkan kembali Ithaka dan Penelope, Odiseus diserang rasa bosan yang membakarnya untuk mengembara lagi. Hampir dua enam abad setelah Homerus konon menyusun Iliad dan Odisei, Alfred Lord Tennyson menghidupkan kembali gelora Odiseus, berpetualang demi petualangan itu sendiri, dalam sebuah sajak panjang Ulysses (1842).

……

Come, my friends,

‘Tis not too late to seek a newer world.

Push off, and sitting well in order smite

The sounding furrows; for my purpose holds

To sail beyond the sunset, and the baths

Of all the western stars, until I die.

It may be that the gulfs will wash us down:

It may be we shall touch the Happy Isles,

And see the great Achilles, whom we knew.


Tho’ much is taken, much abides; and tho’

We are not now that strength which in the old days

Moved earth and heaven; that which we are, we are;

One equal-temper of heroic hearts,

Made weak by time and fate, but strong in will

To strive, to seek, to find, and not to yield.
***


Sawerigading tak butuh waktu lama untuk akhirnya meninggalkan Cina. Lagipula I We Cudaiq menolak anak yang lahir dari rahimnya sendiri, dan Sawerigading kembali menjelajah samudera dengan sebuah tahapan baru dalam hidupnya: mengawal dan mengantar anak keturunannya tumbuh dan bertualang sendiri membentuk subyektivitas masing-masing.

Dalam Sureq Galigo, subyektivitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan keluarga besar: masyarakat. Kuatnya tabu insest dalam keseluruhan epik ini hanyalah salah satu hal yang mengindikasikan itu. Tabu insest, kita tahu adalah tapis, penyaring, yang mengarahkan dan mendistribusikan arus keturunan generasi ke generasi. Seperti ditunjuk Octavio Paz dalam komentarnya atas karya-karya Claude Levi-Strauss, tabu insest menjalankan fungsi pembeda dan penengah – yakni menyelenggarakan diferensiasi, seleksi dan kombinasi sehingga hubungan seksual terubah menjadi sebuah sistem arti. Ia adalah skema, “yang olehnya dan di dalamnya terlaksana transisi dari natur ke kultur”, makna yang tereproduksi dalam transformasi dari seksualitas hewani ke sistem perkawinan manusia. Seperti halnya bahasa, tabu insest menetapkan dan mengukuhkan masyarakat. Di balik tabu universal itu, adalah kerja bawah sadar dari nalar dan budi manusia yang dalam dirinya mungkin tak punya dasar, tapi berkat kerja bawah sadar itu maka jadilah: manusia ialah manusia.

Tema insest menyatukan Sureq Galigo dengan novel terbesar Amerika Latin yang oleh Pablo Neruda disebut sebagai revelasi terbesar dalam Bahasa Spanyol setelah Don Quixote: One Hundred Years of Solitude. Epik tentang para leluhur pertama manusia Bugis itu, diceritakan sedikitnya lewat tujuh generasi, di mana Sawerigading ada di lapis generasi ke empat. Gabriel Garcia Marquez bercerita persis tentang enam generasi trah Buendia, diawali dari sebuah desa di Amerika Latin, sepetak surga tanpa sejarah di mana kematian belum pernah datang bertamu. Adalah Jose Arcadio Buendia yang memimpin sekumpulan keluarga membangun pemukiman baru surgawi itu, yang ia namakan Macondo, sebuah nama yang tak pernah ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema adikodrati dari mimpinya.

Secara kasar Solitude dapat dibagi ke dalam empat bagian besar: harmoni sosial dan kemurnian utopia, heroisme militer dan perjuangan demi otonomi, kemakmuran ekonomi dan kemunduran spiritual, dekadensi pungkas dan kehancuran besar. Meski pola kasarnya sangat sederhana: eden yang menjadi armagedon, novel ini penuh dengan peristiwa ajaib dan karakter yang tak terbayangkan yang sedemikian luar biasa hingga linieritas dan kesederhanaan terasa sebagai atribut asing baginya.

Sureq Galigo bermula ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) yang maha kuasa di puncak langit, uring-uringan. Ribuan ayam aduannya terlantar. Rupanya para penggembala ayamnya sedang melanglang ke dunia, dan ketika balik ke khayangan mengusulkan agar dunia diisi kehidupan. Dengan laporan itu, berangkatlah puisi epik ini membingkai sebuah semesta kognitif yang seakan sebuah perahu raksasa tempat dunia Bugis hidup mengarungi lautan waktu.

Putera sulung Patotoqe, La Togeq Langiq yang juga bernama Batara Guru, dikirim ke dunia dan jadilah ia Manusia Pertama. Sambil berjalan di Bumi mencari cinta dan pasangan hidupnya, ia menciptakan gunung-gunung, hutan, lautan, berbagai jenis unggas, hewan dan tanam-tanaman. Ia masih harus menjalani berbagai cobaan agar dapat dinilai sungguh-sungguh telah menjadi penduduk dunia, sebelum akhirnya We Nyiliq Timoq hadir di Bumi. Calon isterinya ini, yang adalah puteri sulung penguasa Dunia Bawah (Peretiwi), datang dan tercipta lewat buih gelombang Laut Timur, sebuah imaji yang gampang mengingatkan orang pada lukisan terkenal Sandro Botticelli tentang kelahiran Venus.

Dari perkawinan yang didahului adu kesaktian antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, dari pertautan Dunia Atas dan Dunia Bawah, lahir Batara Lattuq. Seorang saudara perempuan lain ibu Batara Lattuq yang bernama We Oddang Riuq, meninggal tujuh hari setelah dilahirkan, menghujamkan perih yang beberapa hari kelak menjadi kangen tak tertahankan di hati ayah bundanya. Mirip imaji Goenawan Mohamad tentang seorang anak sekarat yang minta ditiupkan sajak ke dalam paru-parunya, dari kubur We Oddang Riuq tumbuh tanaman yang sedang menguning dalam lima nuansa warna yang menyebar ke seluruh bukit dan lembah. Tubuh puteri itu terurai menjadi padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun.

Paling tidak sejak generasi Batara Lattuq, wacana insest kuat menjelujur. Patriark Luwu ini mengambil peran mirip Ursula Iguaran, matriark Macondo yang menghabiskan hidupnya seabad lebih untuk memastikan bahwa insest tak terjadi dalam seluruh cabang trah Buendia.

Insest memang tidak menyebabkan hancurnya dunia, demikian pemahaman leluhur Buendia, tapi lahirnya anak-anak dengan ekor babi. Tapi, lelaki Buendia yang juga tak kalah nekatnya dari Sawerigading, tak peduli jika insest melahirkan iguana, armadillo atau anak berekor babi, asalkan mereka masih bisa bicara. Dari orang tua istimewa seperti ini, lahirlah antara lain anak manis yang sedemikian penurutnya hingga kelak bersedia memimpin 32 pertempuran tanpa pernah memenangkannya, tapi yang menjadikan namanya identik dengan pemberontakan besar dan pahlawan dongeng. Seorang prajurit Kolonel Aureliano Buendia menegaskan tujuan perang panjang pembebasan itu, “kita kobarkan perang ini, melawan para pendeta, agar seseorang bisa menikahi ibu kandungnya sendiri.”

Persamaan

Ketakpedulian pada akibat insest dan kegototan membendung kemungkinannya hanyalah persamaan yang bersifat permukaan antara Sureq Galigo dan Solitude. Persamaan yang lebih mendalam adalah berjalinnya waktu historis-kronologis yang bersifat linier, dengan waktu kehidupan yang non-linier, yakni rajutan halus antara waktu siklis yang berulang tanpa henti dengan waktu imajiner di mana masa silam, masa kini dan hari depan hadir serempak. Dalam fisika, ini kita temui dalam pergulatan antara waktu thermodinamik-entropik yang mentakdirkan kehancuran semesta, dengan waktu evolusi-negentropik yang justeru memungkinkan tumbuhnya struktur kompleks kehidupan dan kecerdasan yang kian merumit. (Dalam Kalimat Carlos Fuentes di Pengantarnya: the chronological history runs simultaneously as a mythic historicity.)

Struktur inti Sureq Galigo adalah perkawinan agung yang melahirkan anak kembar emas di mana yang putri akhirnya terangkat ke khayangan dan menjadi poros antara dunia dan langit. Sedangkan putranya, ditakdirkan menjelajah ke seluruh kolong bintang membentangkan semesta baru yang lebih luas, dan melakukan perkawinan agung untuk kemudian melahirkan lagi kembar emas. Demikianlah, riwayat Sawerigading berulang kembali pada anaknya, I La Galigo To Botoq (Sang Penjudi). Dalam keseluruhan cerita ia memang hanya menduduki tempat yang tak terlalu penting, namun karakter dan kenekatannya lebih berwarna-warni dan lebih mencemaskan.



Solitude sangat kuat diwarnai oleh kehadiran cinta, kesunyian, perselingkuhan dan maut, yang terus-menerus muncul dan muncul lagi. Watak dan takdir pun tampil berulang-ulang pada karakter lain, generasi lain, yang memang terus menyandang nama dari generasi sebelumnya. Seperti dikatakan sendiri oleh Sang Matriark, jika para Aureliano cenderung menarik diri namun punya pikiran jernih, para Jose Arcadio impulsif dan giat tapi dicirikan oleh tanda-tanda tragis. Sejarah betul bisa memiuh takdir dasar tersebut, tapi tak jauh. Sejarahlah yang memaksa Kolonel Aureliano Buendia menjadi anarkis besar yang mengharu biru seluruh negeri, tapi itu tak cukup kuat untuk mencegahnya kembali tenggelam dalam kesendirian patologis di usia senjanya. Anarkisme yang memuncak ketika ia ke manapun membawa pleton pengawal dan kapur untuk menarik garis antara dirinya dengan segenap kemanusiaan, termasuk dengan Ursula Iguaran sendiri, dengan kuat memancarkan kesunyiannya.

Takdir dasar itu kembali muncul pada Aureliano Babilonia Buendia. Lahir dari seorang ayah yang tak bisa menahan mulutnya dan senantiasa diikuti kupu-kupu ke manapun berjalan, Aureliano Babilonia adalah makhluk paling berpengetahuan di Macondo. Jika ia membaca buku, itu dilakukannya melulu untuk mengkonfirmasi pengetahuannya, bukan mencari pengetahuan baru. Segala hal sudah diketahui, kata “kanibal” penyabar yang tak tahu apa-apa tentang dunia di luar pintu rumah, namun memiliki segala pengetahuan ajaib Abad Pertengahan, tentang segala hal di luar dirinya sendiri: sejarahnya. Cinta kelak menaklukkan pengetahuannya yang tanpa batas. Dan kesunyian meledakkan keliarannya sampai ia menggunakan kontolnya yang tak kalah dahsyat dari otaknya untuk berlari keliling ruangan menyeimbangkan botol bir.

Pada diri Aureliano Babilonia-lah insest kelak terjadi. Peristiwa itu mendekatkannya pada sosok legendaris yang dengan tragis melakukan hubungan seks haram dengan bundanya, penyelamat kota Thebes yang diberkahi pikiran tajam dan mendalam hingga sanggup memecahkan teka-teki besar Sphinx: Oedipus. Dan ketika lahir seorang anak dengan ekor babi, seperti yang sudah diramalkan rinci oleh perkamen Melquiades, seluruh semut merah yang ada di dunia menggotong pergi anak tersebut. Sebuah badai yang sarat dengan suara-suara masa silam menghancurleburkan Macondo, melenyapkan tuntas Kota Bayangan itu dari ingatan ummat manusia. Bangsa yang dikutuk dengan seratus tahun kesunyian, tak punya kesempatan kedua untuk hadir kembali di muka Bumi.

Sepintas lalu, Solitude adalah afirmasi pada fatalisme. Dengan cara ganjil satu persatu tokoh-tokohnya, jika tidak melenyap, akan mati setelah melalui semacam keruntuhan mental. Tapi kemampuan bercerita Marquez justeru menghidupkan Macondo di imajinasi pembaca. Sejarah Macondo mungkin keras seperti bongkahan padas. Tapi, keajaiban karakter dan sepak terjang tokoh-tokohnya, membuat padas itu seperi bongkahan yang ditaklukkan oleh lumut aneka warna: kehidupan; Planet Bumi dalam keluasan antariksa.

Macondo memang metafor sejarah 500 tahun Amerika Latin: sejarah yang dikuak ketika Antonio Pigafetta mencatat dengan takjub sebuah benua surgawi yang bahkan berada di luar impian paling liar Eropa. Firdaus yang tak dihuni dewa ini kemudian menyaksikan serbuan berdarah para penakluk dan kolonialisme ratusan tahun, yang mengubahnya jadi neraka. Lalu datang cabikan perang sipil berkepanjangan serta terjangan kapitalisme dan gaya hidup Eropa modern. Sejarah yang koyak moyak oleh penindasan dan penaklukan adalah sejarah yang pada akhirnya memang harus menghancurkan dirinya sendiri untuk kemudian, bagai burung phoenix, bangkit lagi dari abu reruntuhannya.

Adapun Sureq Galigo adalah metafor sejarah ribuan tahun pembentukan, yakni pembentukan kehidupan dan masyarakat yang mencoba menjauh dari sebuah benua besar di Utara dan mungkin juga di Timur, menata hidup di atas gelombang, belajar membangun akar di pulau-pulau dan yang akhirnya tahu bahwa samudera yang tak berbatas dengan badainya yang tak berbelas adalah medan realisasi diri yang sejati. Daratan memang hanyalah persinggahan bagi para pemula dan kaum uzur untuk memberi kesempatan pada keperkasaan badai samudera menuntaskan hak-haknya dalam siklus musiman yang teratur. Sejarah yang dimulai ribuan tahun yang silam itu, yang selama puluhan abad mengendap dan baru meledak tumbuh ketika kerajaan-kerajaan pantai cukup kuat untuk menopangnya, masih menunjukkan degupnya ketika Antonio Pigafetta menumpang Victoria yang dikapteni Sebastian de Elcano peninggalan Magellan memasuki Nusantara dan membawa pulang ke Eropa barang-barang paling menakjubkan di dunia.

Di antara kelompok utama etnolinguistik di dunia, keluarga besar Nusantara menempati teritori geografis terluas di dunia sebelum era modern. Keluarga besar yang juga dikenal sebagai Melayu-Polinesia dan Austronesia oleh para peneliti Barat, mencakup sekitar 60 % keliling Planet Bumi, membentang dari Madagaskar ke Rapa-Nui (Pulau Paska), pulau paling terpencil di dunia yang dipenuhi patung-patung batu megalithik. Konon, leluhur pertama Rapa-Nui disebut Hotu Matu’a, artinya Orang Tua Agung. Dalam Bahasa Bugis, arti itu ditandai oleh kata To Matoa. Dari Utara ke Selatan, keluarga Nusantara meliput Taiwan, Kepulauan Hawaii (dari “Hava-iki”, atau “Jawa Kecil”) dan terus ke Selandia Baru. Di luar teritori inti ini, kawasan lain sering juga dikunjungi, termasuk sebagian besar Samudera Indonesia hingga ke pantai-pantai Afrika Timur, dan Samudera Pasifik sampai ke Amerika Selatan. Sampai kini, seperti dikatakan oleh antropolog Belanda Wjin Sargent, komunikasi masih dapat berlangsung antara pelaut Bajo Indonesia dengan pelaut Bajo yang mencapai Chile dan Argentina.

Penjelajahan maritim tokoh-tokoh Sureq Galigo memang tidak terlalu jauh ke Timur, mencapai Colombia atau Chile misalnya. Kawasan penjelajahan mereka meliput geografi Asia Tenggara. Sejumlah nama dalam epik yang dimeriahkan oleh ratusan protagonis ini, seperti dipungut lewat penjelajahan maritim yang menerobos jauh ke Barat: ke Anak Benua India dan Jazirah Arab. Di masa ketika Sureq Galigo mulai ditulis, di abad ke 14, Nusantara dikelilingi oleh Dinasti Ming yang baru bangkit dari reruntuhan Dinasti Yuan di Utara, Kesultanan Mogul yang hidup di tengah warisan Dinasti Gupta dan ajaran Hindu Budha di anak benua India, dan imperium Usmani yang bangun dari puing kekhalifahan Abbasiah di sekitar Arabia. Kebudayaan-kebudayaan besar berbasis benua ini, adalah Sang Lain bagi Nusantara yang berbasis lautan.

Bersama Majapahit yang agraris di Selatan, dinasti-dinasti benua ini, adalah lawan sekaligus sumber inspirasi bagi Bugis. Bagai sebuah spon raksasa, Bugis menyerap semua yang bisa diambilnya dari luar, menetapkan keberadaan entitas-entitas itu dengan perkawinan dan perang laut, atau perjudian yang tak lain adalah matafor untuk ujian bagi nyali dan intelegensi. Perahu-perahu Bugis yang menjelajah hampir sepertiga keliling Bumi, tak hanya membawa barang dagang atau bajak laut, tapi juga memuat pulang ide-ide, imaji-imaji, metafora-metafora yang kesemuanya dipakai dan dicerna untuk membentuk semesta simbolik.

Bugis sedang dalam puncak-puncak pertumbuhannya saat itu, dan belum melihat jalan turun. Kebudayaan yang baru mekar dan penuh semangat hidup ini, memberi tempat terhormat pada petualangan-petualangan untuk menyebar luas bagai diaspora di atas pantai-pantai yang seakan baru diciptakan. Ia belum terlalu tua untuk mulai memberi tempat yang seimbang pada kematian, untuk merenunginya dan menjelajahi sudut-sudutnya. Kematian memang muncul dalam Sureq Galigo, hanya untuk kemudian ditampik, atau dijadikan pupuk bagi kehidupan baru: kematian We Oddang Riuq, perang-perang brutal yang dilakukan seperti pesta pora dalam menumpas penghuni langit, ritual pengorbanan para bissu demi lahirnya anak-anak penyambung generasi penguasa dunia. Segenap bissu dan prajurit yang mati ini, juga prajurit lawan, kelak dihidupkan lagi. Yang jadi arwahpun masih bisa dikunjungi, kadang-kadang didatangi untuk perang, seakan-akan mereka cuma pindah pulau ke seberang cakrawala yang bau mentah pantainya masih tercium.

Ringkasnya, Sureq Galigo adalah selebrasi pada kehidupan. Perayaan dunia yang muda dengan hamparan samuderanya yang tak pernah berdusta, yang selalu setia membuka kesempatan menyesap keabadian detik-detik terakhir kesunyian sebelum prahara; keluasan tanpa batas yang kadang diterawang dengan mata berawan.

Paz pernah mencoba menunjukkan betapa mitos-mitos berkomunikasi, peradaban-peradaban saling berbicara, di luar kesadaran manusia-manusia yang membentuk dan mengembangkannya. Penentukan secara pasti sintaksis mitologis benua Amerika, untuk kelak dikaitkan dengan sistem-sistem lain dari bangsa-bangsa Indo-Eropa, Oceania, Afrika dan Mongol di Asia, dipakainya sebagai dasar menuju kesimpulan komunikasi antar mitos itu. Memastikan sintaksis mitologis Sureq Galigo, mengaitkannya dengan sintaksis Odisei dan Solitude, lalu menyimpulkan bahwa ketiga karya sastra besar ini berkomunikasi, memang agak kurang pas di sini. Tetapi jelas, ketiga karya tersebut menunjukkan adanya suatu universalitas. Dan itu bukan sekedar universitas nalar, yakni “nalar” dalam pengertian yang lebih besar dan luas dari sekedar nalar kritis: nalar yang bekerja dengan pluralitas metafora, semacam tata kerja universal spirit manusiawi, yang menyatakan hal yang sama belaka.

Marquez punya istilah untuk universalitas tersebut: the persistent advantage of life over death. Pada pidato penerimaan Nobel-nya, sambil mengutip Faulkner yang menampik Kematian Manusia, Marquez bicara tentang universalitas itu, dan tentang penciptaan sebuah utopia baru dan agung tentang Hidup, di mana bangsa yang terkutuk dengan seratus tahun kesunyian, akan punya kesempatan kedua di muka bumi.

Universalitas Nalar dan Kehidupan membuat Sureq Galigo yang maha panjang itu adalah episode awal Solitude, perjalanan Raja Ithaka adalah cuplikan bagian tengah Sureq Galigo, sementara penghancuran Macondo dan Pidato Nobel Marques tak lain dari ajakan petualangan baru Odiseus. Dalam kepustakaan mutakhir Matematika Kompleksitas, struktur dalam struktur seperti itu dikenal sebagai subyek kajian geometri fraktal, dengan contoh terbaik Set Mandelbrot: superfraktal yang tampaknya merepresentasi sebagian watak dasar semesta dan kehidupan. Adapun Sureq Galigo, begitu kuat ia terdorong oleh angin musim pertumbuhan dan pembentukan masyarakat, sehingga ia melingkar-lingkar tertenun sedemikian panjang dan rinci, seakan jika suatu saat dunia Bugis lenyap dari permukaan Bumi, maka ia bisa diciptakan lagi melulu dari puisi epik ini.

Daya Perempuan

R.A. Kern pernah mencoba meringkas puisi ini. Hasilnya adalah sebuah (inti) novel raksasa dalam bentuk sinopsis dan katalog sejumlah 1027 halaman. Christian Pelras menyebut bahwa ringkasan Kern itu berjumlah 1356 halaman, disuling dari 113 manuskrip yang jumlah seluruh halamannya sekitar 31500. Karya yang pertama kali diperkenalkan sekilas ke Barat oleh T. S. Raffles lewat The History of Java (1817) ini tak pernah dikisahkan tuntas dari awal sampai akhir: hanya bagian-bagian tertentu saja yang pada kesempatan upacara khusus, dibacakan sambil dilagukan. Ada upaya memang untuk menyalin serat ini dari ingatan bersama dan psike Bugis ke dalam abjad-abjad lontar sejak enam abad silam. Hasilnya adalah fragmen episode-episode, dengan versi masing-masing, yang terkandung dalam ratusan kumpulan naskah yang tersebar di berbagai perpustakan dalam dan luar negeri. Kumpulan terlengkap disusun oleh perempuan ningrat Colliq Puji, Arung Pancana Toa dari Kerajaan Tanete atas permintaan B.F. Matthes di pertengahan abad kesembilanbelas. Terdiri dari 12 jilid, naskah ini diperkirakan baru merangkum sepertiga dari keseluruhan cerita.



Fakta bahwa makhluk paling cerdas dalam kosmos Galigo dan penyusun naskah terlengkap puisi panjang ini adalah perempuan, dan bahwa selain anggota istana, hanya perempuanlah yang menguasai kunci ke naskah agung ini, membuat saya pernah membayangkan bahwa penyusun utama wiracarita yang sangat kuat nuansa maskulinnya ini bukanlah lelaki. Saya membayangkannya mirip Jorge Luis Borges membayangkan Pierre Menard, pengarang Don Quixote. Andaipun tak menduduki posisi sentral seperti Yesus dalam Agama Kristen, barangkali perempuan mengambil posisi mirip Petrus, tokoh terpenting kedua yang menginstitusikan inspirasi Kristus. Ini tak mustahil mengingat alangkah tingginya posisi perempuan dalam semesta Bugis-Makassar selama berabad-abad hingga mendaratnya monotheisme di pantai-pantainya.

Puisi epik yang konon adalah pencapaian tertinggi yang diaspirasikan penyair memang hidup untuk menyimbolkan kesadaran sebuah jaman, mengikhtisarkan nilai-nilai yang diyakini manusia. Dihiasi oleh tindakan-tindakan dan karakter-karakter heroik yang dimuliakan oleh jaman yang dihidupkannya, ia adalah sebentuk puisi yang dengan hati-hati memasukkan sejarah, tapi yang kemudian mengatasi sejarah itu melalui imajinasi mitikal yang niscaya berdimensi teologis. Dan sekedar bayangan bahwa di belakang wiracarita Galigo ada semacam sosok Hypatia dari Perpustakaan dan Museum Aleksandria, sudah membentangkan gambaran menakjubkan tentang bagaimana sebentuk “feminisme purba” dengan cara yang sangat canggih melakukan rekayasa kognitif yang bukan sekedar penciptaan sebuah dunia di mana dimensi-dimensi fisis diimbuhi dengan ketertataan dalam pengertian moral dan spiritual.

Ada kemungkinan bahwa sampai akhir jaman versi pamungkas Sureq Galigo yang serba koheren, semacam teks pertama “pra-Menara-Babel” yang utuh sebelum terpecah-pecah dalam waktu, tak akan pernah terbentuk. Sinopsis Kern memang menunjukkan, meminjam Sirtjo Koolhof, suatu inti naratif dasar yang disari dari segugus episode yang relatif tegas. Tetapi, rincian cerita dan kemungkinan-kemungkinannya yang dapat muncul antara pembukaan dan penutup serat ini, sungguh tak terbatas. Ketakterbatasan itu adalah samudera kosong yang menanti penjelajahan artistik besar-besaran di mana sureq ini dibongkar, disalah-baca, diperkaya seluas dan sedalam psike manusia dan keliaran imajinasinya.

Tentang psike dan imajinasi, Bugis memang hanya bagian sangat kecil dari kenyataan besar Kehidupan, yang sedemikian besar hingga tanpa Bugis pun, bahkan mungkin tanpa homo sapiens, ia tetap akan tumbuh mengagungkan dirinya dan mengatasinya. Bersama segenap karya agung imajinasi manusia, Sureq Galigo — asal tak dibiarkan mati oleh pensakralan dan penyempitan pembuluh akses — dan karya-karya sastra dunia yang lain adalah bahan mentah penulisan puisi epik yang sedemikian agung sehingga jika kelak dunia, bahkan alam semesta seisinya, tiba-tiba melenyap dalam ketiadaan, ia mungkin saja diciptakan lagi antara lain dari puisi akbar itu.
***

Nirwan Ahmad Arsuka

(Catatan: Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Sirtjo Koolhof dari Universitas Leiden dan KITLV Press, Belanda)

Rujukan:

Fachruddin, A. E. 1983. Ritumpanna Wélenrénngé: Telaah Filologis Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo. Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia.
Garcia Marquez, Gabriel. 1970. One Hundred Years of Solitude. Translated from Spanish into English by Gregory Rabassa. England: Penguin Books. Introduction by Carlos Fuentes.
Homer. 1997. The Odyssey. Translated by Robert Fagels; Introduction by Bernard Knox. USA: Penguin Books.
Johnston, Ian at http://www.mala.bc.ca/~johnstoi/
Kern, R.A. 1989. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno. KITLV-LIPI Translation Series. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koolhof, Sirtjo. 1999a. Diversity in Unity: The Language of Tradition in the La Galigo. Paper for the Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara “Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Milenium III”. Jakarta, 12 – 13 October 1999.
Koolhof, Sirtjo. 1999b. The La Galigo: A Bugis Encyclopedia and its Growth. Bijdragen. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Nederland: KITLV
Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford / Cambridge, Massachusetts: Blacwell. [The Peoples of South-East Asia and The Pacific].
Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao ri Tana Cina. (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia. [Sawerigading’s Odyssey to China Land].
Salim, Muhammad, et al. (eds). 1995. I La Galigo Menurut Naskah NBG 188 Yang Disusun oleh Arung Pancana Toa. Introduction by Sirtjo Koolhof. Volume 1. Jakarta: Djambatan.



Versi yang lebih ringkas tanpa catatan kaki dan rujukan, terbit di KOMPAS Edisi Millenium 1 Januari 2000. Diterbitkan kembali dalam bungarampai “1000 Tahun Nusantara,” JB Kristanto (ed.), (Jakarta: KOMPAS, 2000)


Adopted From http://www.freedom-institute.org/
Share
Baca Selanjutnya - * La Galigo, Odisei, Trah Buendia