Dec 9, 2015

* Maradeka To Wajoe Ade’na Napopuang


Oleh Nor Sidin

Mengeksplorasikan logika perbedaan dan logika persamaan melalui wacana secara lebih kultural dalam melihat identitas kepemimpinan politik di Kerajaan Wajo. Konsep yang dihadirkan sebagai imajinasi komunitas Wajo saat itu yang terangkat dalam keterbatasan pola inheren yang memiliki karisma demokrasi yang berdaulat. Ikatan persaudaraan dan persamaan menjadi dasar untuk membangun sebuah dimensi sosial yang memiliki nilai-nilai kultur budaya dalam berpolitiknya memiliki tatanan demokratis yang baik. Maradeka to Wajoe Ade’na napopuang merupakan tindakan diri sebagai kebanggaan yang dapat mampu menata sebuah identitas yang terbangun dari sebuah konsep jati diri. 

Maradeka bukan merupakan myth (mitos) bagi masyarakat Wajo namun maradeka bagi To Wajo penyempurnaan objektivitas baru yang mampu merehabilitasi ulang struktur yang memiliki ketimpangan di masa lalu. Kearifan lokal yang sedemikian kaya dan telah menjadi daya tarik untuk mengetahui nilai-nilai kebudayaan masyarakat Wajo. Pengkajian yang mencakup hal ini, telah sangat luas terkandung pada lembaran-lembaran naskah lontara’ yang tersebar di lapisan masyarakat Wajo. Abad ke 14 merupakan masa keemasan Wajo terutama di era kepemimpinan La Taddampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa Wajo ke IV dan masa kepemimpinan beliau juga hadir sosok cendekiawan Wajo yakni La Tinringeng To Taba. Kehadiran mereka berdua memberikan konsep akan Check and Balance

Check and Balance dengan penyelenggaraan kekuasaan yang memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemoni,tirani, dan sentralisasi kekuasaan.(1) Keharmonisan sosial politik Wajo saat itu merupakan stabilitas kekeluargaan (assijingngenge) yang memiliki nilai –nilai efektivais yang tinggi. Sistem ini berfungsi memberikan dampak yang baik akan keseimbangan meskipun konflik sewaktu-waktu bisa muncul akan dapat diatasi secara bersama. Proses pengambilan keputusan yang dihadiri secara bersama-sama tanpa adanya keputusan sepihak merupakan moralitas kepercayaan tinggi terhadap nila budaya siri pesse yang saling menghargai satu sama lain yakni antara pemimpin dan rakyat. Pra terbentuknya masyarakat Wajo sudah terlihat akan dimensi demokrasi akan timbul dii masa datang yang terliaht pada proses pengambilan keputusan. 

Amaradekangeng konsep alamiah yang dimiliki To Wajo saat itu tertuang dalam Lontara Sukunna Wajo yakni : 

nia riasengngi maradeka tellumi pannessai sewuani tenrilawai ri olona, Madduana tenriangkai ri ada-adanna, matelunna tenri atteangngi lao meniang,lao manorang,lao orai,lao alau.lau riase, laoriawa. 

Artinya yang disebut merdeka hanya tiga hal yang menentukan pertama tidak dihalangi kehendaknya, kedua tidak dilarang mengeluarkan pendapat,ketiga tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur ke atas dan ke bawah itulah hak hak-hak kebebasan. (2) 

Konsep yang merupakan filsafat demokrasi yang lahir dari masyarakat Wajo, yang akhirnya ketika membaca akan kehadiran sebuah buku-buku filsafat Yunani seperti aristoteles alangkah bijaknya arah kearifan lokal  lebih terarah demi kata dan lebih banyak memikirkan Puang Ri Maggalatung atau La Tenringeng To Taba yang sedang berdiri di depan kerumunan rakyat Wajo, berpikir siapa orang dalam kerumunan yang mendengarkan dan apa budaya politik pada waktu itu, sehingga mengapa kata-kata ini dapat diterima pada abad ke 14 saat itu? To Wajo memilki hak-hak alamiah untuk maradeka yang merupakan kebebasan dan mencapai kebahagiaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat stratifikasi sosial bukan penghambat untuk bersama.

La Tinringeng To taba menjelaskaskan secara lebih spesifik apa yang dimaksud ata’ dalam masyarakat Wajo saat itu. Salah satu penjelasan La Tinringeng To Taba yakni 

"Makkeda Arung Saotanre La Tinringeng To Taba ade’ pura nonrona Wajo, naiyya riasengi maradeka risampengi ri karae’ alekkenna, Iya ripasoro’e maradeka, ata puttaeppa makkulle risampeangngi. Naiyya Jancinna temmuassarangeng ana’ eppona lamappa pammaradeka, Lima gau naripassu riajeanna; sewuani natonangiwi wija-wijanna tomappamaredekae; Madduwanna natettongngiwi balinna lamappamaradeka; mattelunna lejjai cappa jalli; Maeppanan nasitaiwi lakkainan ana epponan lamappamaradeka; Malimanna massakah ripammaradeka; Essaniritu ripasessu ri ajoanna naripoata paimeng. (3) 

Penyampaian La Tinringeng To Taba sebagai Arung Saotanre saat itu merupakan konsep mendasar dari sebuah kepemimpinan yang menunjukkan cendekiawan yang memiliki kejujuran berani dan teguh pendirian (macca na malempu, Waraniwi na magetteng). (4) Demokrasi yang di selenggarakan merupakan ketetapan dasar alamiah bahwa Adat tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu ( ade temmakeana’ temmakke Eppo). Sistem sosial politik yang diselenggarakan memberikan kemampuan meningkatkan keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat Wajo saat itu . La Taddampare Puang Ri Maggalatung dan La Tinringeng To Taba memberikan kesepadanan ( agettengeng) dan kepatutan (assitinajangeng) sebagai seorang pemimpin. 

Jangan serakah akan kedudukan dan jangan pula terlalu menginginkan kedudukan tinggi, dan jangan sampai engkau tidak mampu memperbaiki negeri, Bila engkau dibutuhkan baru engkau maju dan bila ditunjuk baru engkau iyakan ( aja’ muangoai onrong, aja to muacinnai tanre tudangeng, de’ tu mullei padecengi tana. Risappa’po muompo, ri jello’po muompo ri jello muakkengau).(5) 



28 mei 2011
Wassalam
Akkellu peppeko mulao, , a'bulu rompeko murewe' 
Berangkatlah engkau tanpa membawa apa apa, namun pulanglah dengan segala keberhasilanmu (7)

Referensi
(1) A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), hlm. 4
(2),((4),(5),(6) Mashad Said, Kearifan lokal Dalam Sastra Bugis Klasik, Fakultas Sastra,Universitas Gunadarma, 2007
(3) Drs.H.Pallipui, Lontara; Attoriolong Ri Wajo,Sengkang,Wajo 2005

Baca Selanjutnya - * Maradeka To Wajoe Ade’na Napopuang

Jan 8, 2015

* Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)

Oleh Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H
Dari segi hukum internasional setidak-tidaknya ada dua hal yang membawa pengaruh besar terhadap Perang Makassar (1660-1670) yaitu pengaruh dari Perjanjian Westhpalia 1648 dan yang kedua adalah pengaruh dari perkembagan doktrin Hugo Grotius Eropa. Dua peristiwa ini membawa pengaruh atas Bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan. Perjanjian Westhapalia merupakan perjanjian yang mengakhiri perang tiga puluh tahun yang sudah berlangsung di Eropa dari Tahun 1618 sampai Tahun 1648 yang merupakan perang dalam bentuk perseteruan agama Katolik dan Protestan.

Hampir semua negara terlibat dalam perang tiga puluh tahun tersebut. Salah satu klusula dalam deklarasi Osnanbruck Swedia dalam perjanjian Westhpalia tersebuat adalah diakuinya eksistensi protestanisme dalam tradisi kristen yang sudah banyak dianut di Jerman, Nederland, Inggris, Perancis dan sebagainya. Sementara itu dalam deklarasi tersebut dikemukakan bahwa negara-negara Eropa di manapun mereka membawa koloninya tidak boleh berperang maka akan menerima sanksi berdasarkan perjanjian Westhpalia (Katolik dan Protestan) harus saling menghormati dimanapun mereka berada, di daerah-daerah koloni mereka sekalipun. Isi perjanjian ini kemudian membawa pengaruh sampai ke daerah-daerah koloni Eropa di Timur. Situasi rekonsialisi Eropa di Timur. 

Situasi rekonsialiasi oleh akibat langsung Westhpalia membawa kepada pembagian wilayah-wilayah koloni jajahan. Timur misalnya dalam satu perjanjian di Heidebart, India, dibagi menjadi dua bagian yaitu India Barat (West India) dan India Timur (East India). Perjanjian Heidebart ini bukanlah perjanjian India sesudah Perang Dunia II yang sudah membagi India Barat dan India Timur yang kemudian menjadi Pakistan, tetapi perjanjian pembagian koloni jajahan antara Inggris dan Nederland dimana Inggris mendapatkan India Barat yang terdiri wilayah-wilayah seluruh India sebelum terpecah (India, Paksitan, Bangladesh, Kolombo) dan lain sebaginya sedangkan Nederland mendapatkan wilayah koloni di India Timur (East India) yang terdiri seluruh wilayah Indonesia sekarang. Pada jamannya Nederland memberinya nama dengan Oost Indies. Dengan latar belakang perjanjian Westhpalia dan perjanjian Heidebart inilah Nederland berusaha semakin merapatkan monopoli keuasaannya atas seluruh wilayah India
- See more at: http://www.tutorial89.com/2014/08/cara-mudah-membuat-tombol-share-di.html#sthash.6SvvdIko.dpufTimur atau Oost Indies. Portugis yang sudah lama rajin menjalin hubungan raja-raja di Timur Oost Indies seperti Maluku, Sulawesi dan Timor tentu saja tidak ingin megakui deklarasi Heidebart itu karena memang Portugis tidak disertakan. Malahan menganggapa sebagai persekongkolan antara inggris dan nederland. Portugis memperotes isi deklarasi itu, tetapi faktor inggris ini unik, karena meras diikiat oleh deklarasi heiderabat dia hanya bisa berdagang di Oost indies sambil berusaha mencipatkan kondisi politis bersama kawan-kawan eropanya yang lain. Bahwa yang masuk dalam kategori oost indie hanyalah java dan andalas, sedangkan seluruh wilayah timur Oost indies tidak tergolng sebagai wilayah Oost indies. Khususnya suatu kerajaan besar dan makmur dan sudah menanamkan imperium di sekuruh wilayah timur yaitu kerajaan Gowa Jauh sebelum kedua perjanjian ini (Westhpalia dan Heiderabart) dideklarasikan, kerajaan gowa sudah muncul menjadi suatu kerajaan maritim besar dan merupakan bandar niaga maritim besar. Inggris sudah lama mejalin hubungan dgang dengan kerajaan ini. Lebih dari itu inggris menganggap bahwa kerajaan gowa ini tidak termasuk dalam klausul perjanjian Heiderabat.Sekalipun perjanjian heidebart telah ada dan mengikat anatara belanda dan inggris tetapi tidak mengurangi persaingan keduanya sebagai negara penaluk dan berkekuatan besar di lautan. Mereka bahkan seringkali bererang di lautan dan yang terbesar diantaranya perang cape hope bay, afrik bagian selatan (1652-1654) dan perang selat Hindi (1664-1667). Perang yang terakhir inilah yang berimbas langsung terhadap perang makassar karena salah seorang admiral belanda yang memawa kemenagan dalam perang selat hindi beranama admiral Cornelius Jancoon Speelman ditarik dari India ke Batavia untuk penaklukan Gowa yang banyak dibantu oleh Inggris dan Perancis bersama beberepa negara Eropa lainnya. Dalam pada itu segi-segi hukum perang tidak banyak diungkapkan sebagai implikasi dari Perang Makassar padahal perang yang berlangsung selama 10 Tahun (1660-1670) ini merupakan perang yang terbesar di Asia tenggara (East Indie). Perang Makassar tidak banyak dimunculkan implikasi kemanusiaannya dalam tulisan para ahli, padahal untuk studi hukum hukum perang termasuk hukum perang hal ini sangat penting. 

Skepstisisme sesungguhnya muncul mengapa tulisan para ahli, khususnya ahli-ahli Belanda tidak mengungkapkan hal-hal ini. Apakah sengaja disembunyikan untuk suatu justifikasi menyesatkan bahwa lawan Belanda dalam perang Makassar bukan negara yang beradab dan punya pemerintahan yang mendapatkan pengakuan internasonal melainkan Perompak dan Bajak laut ? menangkal justifikasi itu tidak bisa dengan pemikiran temparamen yang sempit tetapi harus dibongkar melalui penelitian-penelitian ilmiah dengan argumentasi hukum kenegaraan dan hukum internasional yang kuat. Apakah kerajaan Gowa memang merupakan kerajaan Perompak, kerajaan bajak laut seperti yang dituding oleh kompeni VOC dalam banyak tulisan ? apakah kompeni VOC satu-satunya negara yang beradab dengan tradisi kristen protestan yang penuh di India Timur abad ke 17 ? apakah kerajaan Gowa yang dianggap bajak laut pembunuh dengan tradisi agama Islam suku Makassar biadab, tanpa etika kenegaraan sopan santun dan tata krama dalam perang ?Perang Makassar Perhatian yang kompherensif terhadap hukum perang berdasarkan penelusuran relatif masih kurang. Perang Makassar (Makassar War) eksistensinya diakui oleh para sarjana (Andaya, Reid, Mattulada, Staffel, Zainal Abidin Farid, Valentijn, Pelras, Noorduyn, Edward Pollinggomang, Kern, Mangemba, Patunru, Sagimun) agak sayang sedikit sekali terungkapkan soal-soal hukum perang tentang perang Makassar. Padahal melakukan studi tentang perang tidak bisa lepas kaitannya dengan implikasi-implikasi humaniter. Barangkali inilah beban yang sedikit berat yang akan dialami para Penulis ini mengingat karena kurangnya data-data. 

 Adalah sukar melakukan rekonstruksi sejarah hukum (khususnya hukum internasional) dengan data-data yang sedikit. Padahal untuk melakukan studi tentang perang diperlukan materi dan kasus-kasus sejarah secara umum yang jelas. Sebagai contoh beberapa kasus yang ditulis secara sambil lalu oleh para sarjana: kasus perbudakan mengenai penggalian Kanal Tallok, kasus pembantaian (holocoust) di Pulau Banda. Kasus pembantaian tawanan (trial sacrifice) di Pulau Liwoto, Selat Buton, kasus pembumihangusan di Benteng Somba Opu 1669, kasus pembumihangusan Benteng Tosora 1670. Kasus-kasus ini ditulis dalam berbagai refrensi tetapi cenderung dilakukan hanya sambil lalu serta tidak sistematis dan kompherensif. Begitu pula tentang data-data kuantitatif yang saling berbeda satu sama lain. Data korban tentang pembantaian tawanan di Pulau Liwoto (sekarang pulau Makassar), sebuah pulau yang terletak kurang lebih satu mil di luar Kota Bau-bau saling berbeda antara Matulada dan Andaya. Dalam bukunya Menelusuri Jejak Sejarah Kebudayaan Sulawesi Selatan, Mattulada mematok jumlah korban pembantaian di pulau kecil itu sebanyak 9000 orang. Sedangkan dalam bukunya Andaya, the Herritage of Arung Palakka, dituliskan dengan jumlah 5000 orang korban. Jumlah mungkin tidak penting, tetapi untuk keperluan penelitian diperlukan data-data eksistensial yang akurat. Masih sehubungan dengan hal diatas beberapa sumber pada tingkat observasi ditemukan beberapa tempat yang memiliki nama yang sama yaitu; Kanre Apia (Makassar) atau Kanre Api (bugis) atau Kande Api (Mandar) merupakan nama-nama yang berhubungan implikasi hukum perang Makassar. Kanre Apia yang terdapat di Desa Lembanna, kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa memiliki karakter peristiwa yang sama dengan Kande Api di Kabupaten Majene serta Kandre Api di Kabupaten maros. Kanre Api artinya pembakaran kampung atau tempat atau logistik merupakan tindakan pembumihangusan yang dilakukan oleh pasukan Arung Palakka dalam rangka blokade atau meruntuhkan tentang Gowa agar tidak lagi melakukan perlawanan. 

Tradisi pembakaran kampung kadang-kadang disertai dengan pembakaran hidup-hidup orang yang masih loyal terhadap musuh merupakan hukum alam yang berlaku dalam perang. Selain tradisi Kanre Apia (pembumihangusan) maka terdapat tradisi perang lain dalam peperanga klasik di abad ke 17 yaitu tradisi pemenggalan kepala bagi pemimpin tentara (Lasykar). Tradisi ini dikenal selama berlangsungnya perang Makassar sebagai Tunibatta (Makassar), Todipolong (Mandar), Todigerek (bugis). Banyak pemimpin perang kedua bela pihak mengalami eksekusi seperti ini dan hal ini nampaknya sudah menjadi hukum kebiasaan dalam perang. Sama dengan tradisi Kanre Apia, dalam tradisi Tunibatta adalah merupakan salah satu bentuk untuk meruntuhkan moral tentara yang dipimpinnya. Malahan seringkali kepala pemimpin perang yang dikenal kharismatik diambil sebagai hadiah buat raja untuk mendapatkan pengakuan bahwa sang pemimpin sudah dikalahkan dalam perang. Sesungguhnya tradisi Kanre Apia Dan Tunibatta pada abad ke 17 sudah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional. Tradisi hukum perang klasik seperti itu berlaku universal tidak saja terjadi pada perang Makassar. Dalam rangkaian peperangan pada masa Imperium Roma (Roman Empire) tradisi hukum perang ini telah terjadi. Hal ini agaknya sudah menjadi legalitas umum dalam rangkaian peperangan dimasa imperium Roma. Pernyataan kekalahan dalam perang senantiasa disertai dengan tindakan perlambang kekuasaan bagi pemenang perang, apakah dengan cara pembakaran kota atau wilayah yang dikalahkan dalam peperangan, ataukah dengan cara memenggal kepala panglima perang untuk diserhakan kepada Kaisar (dalam catatan Cicero, 1954: 4-5). Kelihatannya legalitas penghukuman seperti ini memang kejam tetapi tentu saja pada masa itu belum ada hukum-hukum perang yang lebih manusiawi apalagi dengan Konvensi Internasional tentang perang, seperti Konvensi Jenewa 1940. 

Prinsip-prinsip hukum perang yang berlaku adalah prinsip-prinsip perang yang adil. Dalam Estimasi Cicero (1954: 7) yang dimaksudkan dengan perang yang yang adil pada Rus Romanium adalah menjalankan prinsip-prinsip resiprositas. Prinsip lain agaknya belum ada. Resiprositas di sini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai balas dendam. Karena cara-cara yang mereka lakukan berdasarkan pertimbangan yang adil. Sebagai contoh apabila musuh membunuh delapan orang prajurit maka pihak lain pun akan membalasnya dengan jumlah yang sama. Pertanyaan apakah tradisi hukum perang klasik Romawi juga berlaku sepanjang perang Makassar ? tidak ada studi khusus yang terfokus terhadap hubungan ini. Tetapi hubungan hukum antara hukum Belanda (yang dipakai oleh VOC) dengan hukum Romawi sangat erat kaitannya, dapat menjadi skpetisisme tersendiri untuk membongkar kaitan ini. Apalagi munculnya pemikiran besar dari Hugo Grotius tahun 1648 dipandang banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Cicero tentang perang yang adil. Jika menelusuri latar belakang lahirnya hukum belanda maka tidak bisa lepas dari hukum Romawi.Terdapat banyak catatan menarik mengenai pengaruh hukum Romawi terhadap hukum Eropa pada umumnya dan hukum Belanda pada khususnya, tetapi paling penting diantaranya adalah apa yang dicatat oleh Rene Daniel sebagai kelompok keluarga hukum Romawi Germania (Maramis, 1994: 17), pengaruh hukum publik terutama hukum internasional pidana dan tata negara agaknya tidak teradaptasi dari hukum Romawi lebih dari hukum perdata (sipil) kebanyakan teradaptasi adalah hukum sipil yang lebih dikenal dengan Ius Civil. Hal ini tidak lepas dari sejarah imperium roma itu sendiri. 

 Hiruk Pikuk Deklarasi Bongaya Seberapa jauh penggambaran pengaruh-pengaruh hukum romawi dalam sistem hukum perang klasik selama perang Makassar. Jika membaca referensi yang menggambarkan kejadian dalam perang maka terasa sekali pengaruh-pengaruh itu ada. Sebagai contoh dalam praktek resiprositas tentang karangnya kapal Belanda De Walvis tahun 1662 dan De Leeuwin tahun 1664 (F.W. Stapel, 1922; Abdurrazak Daeng Patunru, 1967: Leonard Y. Andaya, 1981; Mattulada, 1991). Kapal Belanda De Walvis yang berlayar dari Batavia menuju Maluku tahun 1662 memasuki perairan Makassar dan kandas di atas sebuah gunung di lautan Makassar. Orang-orang makassar yang mengejar kapal itu dapat menyita 16 pucuk meriam dari kapal itu. Kemudian Belanda menuntut kepada Sultan Hasanuddin agar mengembalikan meriam-meriam itu, akan tetapi tuntutan itu ditolak oleh Sultan berhubung waktu itu antara kerajaan Gowa dengan Belanda masih dalam keadaan perang (Patunru, 1967: 48). Mattulada (1991: 78) secara menarik membelah kasus ini dalam dua versi yaitu dalam versi Belanda dan versi Makassar. Menurut versi Belanda dalam tahun 1662 sebuah kapal Belanda De Walvis namanya, terdampar di perairan Makassar. Kapal yang terdampar ini dirampok oleh orang-orang Makassar. Enam belas pucuk meriam jatuh ke dalam tangan seorang Rijkgraten (pembesar kerajaan) dan tidak mau mengembalikannya. Menurut versi Makassar, dalam tahun 1661, ada sebuah kapal Belanda bernama De Walvis, memasuki batas perairan Makassar tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Kapal disergap oleh kapal-kapal pengawal pantai kerajaan Gowa di perairan Makassar. Kapal itu sesungguhnya dikejar dalam wilayah kedaulatan Perairan Makassar, namun karena tidak mengetahui letak-letak kerajaan Gowa, maka kapal itu disita dan enam belas pucuk meriam yang dipergunakan dalam melakukan perlawanan itu disita oleh pemerintah kerajaan Gowa.Sementara itu, insiden kapal De Leeuwin terjadi dua tahun kemudian, 24 Desember 1664. Kapal Belanda De leeuwin yang dahulu telah membawa Arung Palakka dan kawan-kawannya dari Buton ke Batavia, kandas di Pulau Doang-Doang. Kapal ditahan oleh Armada Gowa yang menjaga perairan Makassar untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Gowa. Dari anak-anak buah kapal itu ada 40 orang yang masih hidup diangkat oleh orang-orang Makassar ke Somba Opu. Akan tetapi kemudian dari pihak Belanda menyampaikan tuduhan bahwa dari atas kapal itu ada sebuah peti yang berisi uang perak sebanyak 1425 ringgit yang telah disita oleh orang-orang Makassar. 

Berhubungan dengan tenggelamnya De Leeuwin, maka Onder-koopman Belanda yang bernama Ir. Cornelius Kuyff bersama 14 orang anak buahnya berangkat ke tempat di mana kapal itu kandas untuk memeriksa sendiri keadaan kapal itu, akan tetapi kepergiannya ke sana tidak diketahui dan tidak seizin Sultan. Baru saja mereka itu tiba di sana, maka pasukan kerajaan Gowa yang menjaga tempat itu memerintahkan supaya orang-orang Belanda itu menyerah, akan tetapi mereka itu menolak, bahkan mengadakan sehingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan habis terbunuh semua oleh tentara Gowa (Patunru, 1967: 44).Insiden De Walvis dan De leeuwin ini menarik, karena insiden inilah yang dipandang sebagai implemetasi dari azas-azas resiprositas yang diacu oleh Belanda dari hukum Romawi (azas ius gentium dan ius generale). Insiden ini menjadi pasal paling krusial diperbincangkan dalam perjanjian Bongaya tahun 1667. Untuk menekankan pentingnya azas resiprositas ini Belanda memajukan khusus dua pasal dalam perjanjian Bongaya yaitu: 

* Pasal 3: bahwa kepada kompeni akan diserahkan dan dikembalikan semua perlengkapan kapal, meriam-meriam, mata uang-mata uang, dan barang lainnya tanpa kecuali, yang disita dari kapal de Walvis di pulau Selayar dan kapal yang karam di Pulau Doang-doang. 

* Pasal 4: bahwa akan dilaksanakan secepatnya proses peradilan di hadapan dan dilaksanakan oleh presiden Makassar terhadap orang-orang yang bersalah dan masih hidup karena melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda di tempat-tempat yang berbeda itu. 

Pasal-pasal ini menjadi gempar dan terjadi keributan dan kepanikan bahkan beberapa petinggi Gowa mencabut badik berteriak-teriak menghujat pasal yang tidak adil ini. Sesungguhnya pasal ini telah dirundingkan setahun sebelumnya, 17 Desember 1666. Perundingan berlangsung di atas sebuah kapal Belanda yang bernama Tertholen, di perairan Tana Keke (Andaya, 1981: 73). Dua orang bangsawan Gowa datang ke kapal dengan maksud baik untuk berdamai sambil membawa 1.056 emas sebagai tebusan atas terbunuhnya orang Belanda di pulau Doang-doang dari insiden De Walvis dan 1435 ringgit Belanda yang diambil dari bangkai kapal De Leeuwin. Reaksi Speelman kemudian meminta utusan itu untuk mengirim suratnya, mereka menolak dengan mengatakan sampai mati pun mereka tidak akan melakukannya karena mereka hanya diperintah untuk mengantar uang itu, dan tidak untuk lainnya. “Darah dibayar dengan darah, tidak dengan uang !”, dalam pernyataan Admiral Cornelius Jancoon Speelman ini nampak arogan dan menantang, namun itulah karakter pencapaian azas resiprositas yang berlaku. Selain tentunya pengembalian harga diri bangsa. Penyitaan dua kapal tersebut disertai dengan pembunuhan dan penawanan anak-anak buah kapal dipandang telah menjatuhkan harga diri dan martabat Belanda serta merupakan tindakan pelecehan. Selain itu bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660. Oleh karena itu Belanda menuntut pengembalian harga diri tersebut. Perdebatan panas tentu saja tidak bisa dihindari karena para perunding Gowa yang disaksikan langsung oleh Sultan Hasanuddin menolak mentah-mentah usulan dua pasal ini. Andaya (1981: 76) menggambarkan perundingan panas ini berlansung selama enam hari dan separuh waktu dihabiskan memperkarakan dua klausul tentang insiden kapal De Walvis dan De Leeuwin ini. Perundingan ini awalnya dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin dari pihak Gowa dan Speelman dari pihak Belanda. Tetapi karena faktor komonikasi bahasa, maka ditetapkan karaeng Karunrung sebagai juru runding. Sekalipun Karaeng Karunrung tidak sehebat ayahnya, Karaeng Pattingaloang, dalam soal bahasa-bahasa Eropa, namun Karaeng Karunrung sangat fasih dalam dua bahasa Portugis dan Inggris. Disepakati dipergunakan bahasa Portugis. Dalam Kronik Entje Amin (Skinner, 1967: 178-180) digambarkan bahwa sesungguhnya Speelman fasih juga dalam bahasa Inggris, namun ajakan Karaeng Karunrung untuk menggunakan bahasa Inggris dalam perundingan ditolak oleh Speelman. Penolakan itu bukan karena ketidakfasihan Speelman melainkan lebih karena kebenciannya yang mendalam terhadap orang-orang Inggris yang menjadi lawannya berperang dalam perang di Teluk Benggali (selat Hindi) India, penugasan sebelumnya ketika kemudian ditarik untuk memimpin tentara Belanda Makassar yang digambarkannya lebih ganas dari perang Teluk Benggali.Sesungguhnya tuntutan Belanda Pasal 3 perjanjian Bongaya bisa dilakukan oleh Gowa untuk mengembalikan semua barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang disita dari kapal termasuk ganti kerugian barang-barang yang telah hancur dan sekalipun tuntutan itu berlebihan. Tetapi Pasal 4 sangat berat dilaksanakan oleh pemerintah Gowa. Orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap penyergapan kapal itu serta pembunuhan dan penahanan awaknya merupakan prajurit-prajurit resmi gowa yang menjalankan perintah komandan mereka. 

Beberapa nama yang masuk dalam daftar tuduhan Belanda adalah bangsawan-bangsawan utama kerajaan Gowa, beberapa diantaranya menjadi saksi dalam perundingan ini. Secara rahasia Karaeng Karunrung meminta daftar pencarian orang (DPO) buatan Speelman dan karaeng karunrung kaget melihat daftar itu. Karena selain Itanrawa RI Ujung Karaeng Bontomarannu (Panglima perang kerajaan Gowa yang ditakuti dengan sebutan Del Monte Maranno) bersama raja Bima, Raja luwu, arung Matoa Wajo, Raja Balanipa (Mandar), Raja Tambara, Raja Sanggar serta Karaeng Dompo (Dompu), yang semuanya ditempatkan dalam pasal tersendiri (Pasal 15), juga terdapat beberapa bangsawan yang ikut serta mengawal perundingan ini. Serta Karaeng Karunrung menolak pasal ini, karena yang dituduhkan Belanda dalam DPO tersebut adalah panglima-panglima kerajaan Gowa yang sama sekali tidak terlibat dalam penyergapan itu, tetapi kebanyakan penentu kebijaksanaan, menyerahkan orang-orang ini sama saja menggerogoti kekuatan perang Kerajaan Gowa. Lagi pula mereka ini tidak dapat dituntut sebagai pelaku pembunuhan karena situasinya dalam perang (Mattulada,1991: 89). 

Kesimpulan Amar yuridis menyangkut interpretasi kedua klausul krusial dalam perjanjian Bongaya ini adalah alasan-alasan kedua belah pihak. Pihak Belanda memandang bahwa tindakan itu perampokan (phiracy), perampasan dan pembunuhan karena kedua kapal itu melakukan transit serta membuang jangkar dengan damai di peraiaran bebas, di luar tapal-batas perairan kedaulatan Gowa. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernyataan perang lebih dahulu dan hal ini melanggar kebiasaan perang (secara internasional) yang berlaku. Lebih dari itu serangan ini merupakan pelanggaran terhadap azas perjanjian yang telah disepakati antara Gowa dan Belanda tahun 1660 sebagaimana kesepakatan yang telah tertuang dalam Pasal 2 perjanjian Bongaya. Pihak Gowa menilai bahwa perjanjian tahun 1660 itu dengan sendirinya telah tereliminir arena Beanda sendiri dipandang telah menyatakan perang setelah melakukan pembantaian di Pulau Banda Februari 1661 karena penduduk Banda masih merupakan federasi protektorat dari Gowa. Bukan saja pembantaian di pulau Banda yang menjadi musabab timbulnya perang antara Belanda dan Gowa, melainkan Blokade yang dilakukan kapal-kapal belanda terhadap kapal-kapal asing lainnya (terutama kapal dagang Inggris) yang menjadi sahabat Gowa serta kapal-kapal Gowa sendiri di perairan laut bebas menjadi isyarat bagi Gowa bahwa perjanjian tahun 1660 sudah tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan demikian perang sudah dinyatakan oleh Belanda. 

Alasan yang kedua dalam interpretasi Gowa adalah bahwa kedua kapal itu tidak melintas dengan damai tetapi melakukanka perlawanan. Pasukan pengawal pantai kerajaan Gowa diperintahkan untuk memeriksa kapal itu karena telah berada dalam perairan kedaulatan Gowa tetapi mereka memperlihatkan isyarat untuk berperang, padahal sultan Gowa sudah meminta pengawal Pantai Menanyakan secara baik-baik apa tujuan mereka berlabuh di perairan ini. 


Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.
Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

Baca Selanjutnya - * Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)

Jan 9, 2012

* Kilas balik 2011 Manuskrip Epos La Galigo sebagai Memory of the World

Selama ini naskah-naskah tua berupa manuskrip kuno yang tersebar di museum-museum Eropa masih kurang dipublikasikan. Naskah atau manuskrip yang berasal dari Indonesia yang jelas adalah milik Indonesiai menjadi daya tarik utama dan menjadi andalan bagi museum-museum yang ada di Eropa yang memilikinya. Sehingga banyak hasil-hasil penelitian dan membuahkan tulisan baik artikel atau buku. Yang semuanya banyak bersumber dari manuskrip yang berasal dari Indonesia yang menjadi keleksi di berbagi museum di Eropa. Diantara negara-negara Eropa mungkin saat ini Belanda adalah negara yang memiliki beberapa museum dengan koleksi manuskrip berasal dari Indonesia.

Diantara ribuan lembar koleksi manuskrip yang ada di beberapa museum Belanda, yang paling menarik perhatian adalah manuskrip kuno kitab epos I La Galigo yang berasal dari masyarakat Sulawesi Selatan. Naskah ini sekarang merupakan bagian dari koleksi naskah-naskah Indonesia dari the Netherlands Bible Society, yang diberikan hak permanen ke Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden Perpustakaan Universitas Leiden sejak tahun 1905-1915 di Belanda. Manuskrip ini masih tersimpan rapi seperti dan menjadi salah satu naskah tua yang paling dijaga dan sangat berharga.




Sekelumit mengenai Kitab Epos I La Galigo bagi masyarakat Sulawesi Selatan merupakan epos yang menceritakan asal usul peradaban masyarakat Sulawesi umumnya dan khususnya Sulawesi bagian Selatan. Epos berkaitan dengan berbagai etnis yang ada di daratan Sulawesi sehingga masih dapat ditemukan di tengah lapisan masyarakat di Sulawesi khususnya di propinsi Sulawesi Selatan mensakralkan epos ini dan ada pula menganggap ini merupakan kitab suci selain itu ada pula menganggap epos ini hanya sebuah karya sastra karena isinya hanya mitos. Namun terpenting kisah I La Galigo bisa di temui di hampir seluruh jazirah Sulawesi namun kisah ini lebih banyak ditemukan di bagian Selatan pulau Sulawesi Selatan khususnya di masyarakat etnis Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja., dalam hal ini epos I La Galigo memberikan gambaran keterkaitan bahwa etnis yang ada memiliki hubungan kuat dengan keterkaitan memiliki satu leluhur yang sama. Inilah membuat I La Galigo bukan milik etnis tertentu di Sulawesi melainkan milik semua dan untuk saat ini adalah milik masyarakat Indonesia.

Perjalanan kitab ini sungguh panjang hingga menjadi salah satu koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Epos I La Galigo di tulis ulang seorang wanita Bangsawan Bugis Makassar yang bernama Collie Puji Arung Pancana Toa yang merupakan Arung (Raja) didaerah Tanete yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru di Propinsi Sulawesi Selatan. Keinginan Collie Puji menulis ulang adalah hasil dorongan seorang misionaris dan juga seorang peneliti Antropolog asal Belanda yakni Dr.B.F Mathees. Dalam kegiatan misionarisnya di sertai penelitiannya B.F Mathees berupaya mengumpulkan lagi lembaran-lembaran lain dari Epos I La Galigo yang tersebar di kalangan masyarakat di Sulawesi Selatan.

Manuskrip Epos I La Galigo hingga saat ini diperkirakan terkumpul 6000 Halaman atau 300.000 baris teks serta diperkirakan masih ada ratusan hingga ribuan masih tersebar di tengah masyarakat selain itu telah banyak mengalami kerusakan atau hilang, namun untuk melihat secara dekat epos ini masih bisa dijumpai beberapa lembar di Museum La Galigo Makassar.

Saat ini Epos I La Galigo menjadi salah satu Epic terpanjang di Dunia yang dapat disejajarkan dengan epos terpanjang dunia lainnya seperti Epos Mahabarata dan Ramayana dari India, Shahmane peninggalan persia (Iran), dan epos peradaban Yunani. Hal inilah membuat La Galigo diadaptasi ke dalam seni pentas yang di sutradarai oleh Robert Wilson sebelumnya oleh Rhoda Grauer .
Pementasan I La galigo menjadi pertunjukkan opera di mulai pada tahun 2004 di Asia, Eropa, Australia dan Amerika Serikat. Epos I La galigo menjadi kebanggaan tersendiri, begitu banyak kita mengenal epos atau epic dari luar Indonesia ketimbang epos yang berasal dari Indonesia. Sulit bagi kita untuk mengharuskan manuskrip epos I La Galigo pulang kampung ke tanah kelahirannya di Indonesia, faktor utama adalah perawatan yang membutuhkan biaya cukup tinggi, dan peralatan penunjang untuk membuat manuskrip tidak rusak atau hancur. Kondisi suhu di Indonesia menjadikan epos ini sulit untuk kembali pulang dan di Museum Leiden Belanda sendiri memberikan ruangan khusus dan selalu mengawasi suhu dan temperatur ruangan tersebut. Di satu sisi kesulitan untuk mengembalikan epos ini kembali pulang adalah kemampuan khususnya Pemerintah untuk memberikan perhatian dan perawatan yang khusus.

Di akhir tulisan ini sebuah ungkapan simpati untuk mengucapkan selamat kepada manuskrip Epos I La Galigo yang telah menjadi salah satu Memori Dunia yang tercatat di UNESCO Memory of the World Register. UNESCO adalah salah satu lembaga di bawah naungan PBB mempunyai program yang disebut UNESCO Memory of the World Register yang dimulai pada tahun 1992. Kegiatan ini adalah bentuk kepedulian dunia untuk menjaga warisan berupa hasil-hasil dokumenter terhadap kerusakan baik sengaja atau pun tidak disengaja oleh manusia atau pun rusak karena pengaruh bencana, iklim dan cuaca. Kegiatan ini melestarikan dan mempromosikan warisan berupa peninggalan dari hasil dokumenter dari masa lalu, yang dapat menjadi dokumen dianggap penting dalam sejarah umat manusia. Sebuah permata indah dari bagian timur Indonesia telah menjadi milik dunia.
Manuskrip Epos La Galigo koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden secara resmi Pada tanggal 25 Mei 2011, tercatat dalam Memory of the World, dan di dalam surat resminya UNESCO menegaskan bahwa manuskrip Epos I La Galigo terdaftar sebagai memori dunia dan sangat luar biasa bernilai.

Selain epos I La Galigo ucapan selamat juga ditujukan kepada Karya Sastra Jawa, Babad Diponegoro dan Mak Yong dari Riau sebagai Memory of the World di tahun 2011. Tulisan ini hanya merupakan wujud keprihatinan dengan 3 mutiara dari Indonesia yakni Epos I La Galigo, Babad Diponegoro dan Mak Yong dari Riau karena tidak menjadi hal yang menarik dan memiliki antusiasme tinggi baik di pemerintah atau di masyarakat, pada dunia jurnalistik pun sangat sedkit mengulas baik di media cetak atau pun media elektronik pada tahun 2011, hanya beberapa situs internet yang sempat menyajikan pemberitaan ini namun sayang minim komentar walaupun sebelumnya kita tidak perlu menulis REG SPASI KE NOMOR 0*** untuk mendukung ketiganya agar masuk Memory of the World.


Nor Sidin (Ambo Uphex)




Sumber bacaan :

Nirwan Ahmad Arsuka, La Galigo, Odisei, Trah Buendia , KOMPAS Edisi Millenium 1 Januari 2000, Jakarta ( link : http://passompeugi.blogspot.com/2011/11/la-galigo-odisei-trah-buendia.html )
Sureq Galigo, http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo
Leiden University Library, http://en.wikipedia.org/wiki/Leiden_University_Library
Andi Zainal Abidin, The I La Galigo Epic Cycle of South Celebes and its diffusion
Cristian Pelras, Manusia Bugis, Nalar 2006, Jakarta





--
Baca Selanjutnya - * Kilas balik 2011 Manuskrip Epos La Galigo sebagai Memory of the World

Jan 8, 2012

* GAGASAN KEBANGSAAN NADJAMOEDDIN DAENG MALEWA

GAGASAN KEBANGSAAN NADJAMOEDDIN DAENG MALEWA
DI SULAWESI SELATAN TAHUN 1907-1947
Oleh Siti Junaeda


A. Pengantar


Abad ke-20 sering disebut sebagai zaman modern, oleh Furnivall diterjemahkan sebagai zaman ”ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan”.[1] Salah satu penanda zaman ini adalah perluasan sistem pendidikan Barat untuk menghasilkan bumiputera terpelajar yang diproyeksikan sebagai pegawai pemerintah atau perusahaan swasta. Bumiputera yang mendapatkan pendidikan Barat ini pada akhirnya muncul sebagai kelompok sosial baru yang akrab disebut sebagai elit.[2] Melalui pemikiran mereka, ide kebangsaan muncul dan ditransformasikan secara luas dalam masyarakat melalui berbagai bentuk organisasi dan atau partai politik yang saat itu mulai muncul. Dalam organisasi atau partai politik inilah tempat munculnya bibit nasionalisme sebagai sebuah dorongan untuk menentukan nasib sendiri. [3] Nasionalisme dimaknai sebagai upaya untuk membangun karakter dalam menentukan nasib sebuah bangsa. [4]

Ide-ide Nasionalisme di Sulawesi Selatan ditandai dengan mulai masuknya beberapa organisasi nasional yang membentuk cabang-cabang di Makassar. Makassar bukan hanya sebagai pusat kota administrasi maupun pusat politik tetapi juga menjadi barometer bagi kawasan timur Indonesia menjadi tempat yang dituju oleh beberapa organisasi nasional. Sarekat Islam merupakan organisasi modern pertama yang didirikan di Makassar pada tahun 1916 disusul dengan Muhammadiyah, Assiratal Mustaqim, NU, PKI, PNI, PARTINDO, PARINDRA, dan lain-lain. Selain sebagai tempat dari beberapa organisasi nasional untuk membentuk cabang, di Sulawesi Selatan juga muncul organisasi kedaerahan seperti Perserikatan selebes, kemudian berubah menjadi Partai selebes, dan Persatuan Selebes Selatan.

Pemaknaan dan penterjemahan ide nasionalisme di Sulawesi Selatan, dapat ditelusuri dari azas maupun program kerja dari masing-masing organisasi tersebut. Nadjamoeddin adalah salah satu tokoh pergarakan di Sulawesi selatan yang secara aktif ikut menyebarkan ide nasionalisme dan kebangsaan dengan aktif pada organisasi partai politik yang bercorak lokal maupun nasional. Dia membangun persatuan dalam merealisasikan pergerakan nasional melalui organisasi atau partai lokal dan nasional seperti Perserikatan Selebes, Partai Selebes, Parindra, dan Partai Selebes Selatan. Dalam beberapa tulisan dan pidatonya ia berpendapat bahwa untuk mencapai kemakmuran bagi seluruh rakyat Sulawesi khususnya dan Indonesia pada umumnya, maka tiga hal penting harus terpenuhi. Pertama: persatuan seluruh suku bangsa; Kedua: Pendidikan yang merata; dan Ketiga: Sistem perekonomian yang kuat. Ketiga bagian inilah menjadi syarat penting untuk mencapai sebuah bangsa yang kuat dan mandiri.

B. Mewujudkan Persatuan Bumiputera dalam Partai Politik

Nadjamoeddin daeng Malewa mengawali karir politiknya di Sulawesi Selatan dengan bergabung dalam Perserikatan Selebes. Melalui kecakapan dan kemampuan personal yang dimiliki, Nadjamoeddin diberi kesempatan untuk memimpin Cabang Makassar. Lebih dari itu, ia juga didaulat sebagai pimpinan Padoman Besar dalam struktur Perserikatan Selebes. Nadjamoeddin bersama pengurus yang lain berhasil mengembangkan Perserikatan Selebes sebagai organisasi massa yang bercorak lokal dan menjadikan kebangsaan sebagai azas dari perjuangan organisasi. Masuknya Nadjamoeddin dalam Perserikatan Selebes mampu memberikan warna, sehingga Perserikatan Selebes lebih dinamis. Dinamisasi itu sangat tampak karena Perserikatan Selebes menjadi media untuk mentransformasikan ide kebangsaan Nadjamoeddin di Sulawesi. Ide kebangsaan ini dipropagandakan baik melalui tulisan di berbagai surat kabar, juga diutarakan melalui berbagai pidatonya dalam berbagai forum partai.

Pilihan Nadjamoeddin untuk bergabung dalam Perserikatan Selebes lebih didasari oleh ketertarikannya pada tujuan organisasi ini yang ingin memajukan kepentingan lokal rakyat Selebes sebagai penopang kemajuan pada skala yang lebih besar yaitu nasional Indonesia. Harapan ini dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah kemajuan seluruh daerah di Indonesia seperti di Jawa dan Sumatra. Kemajuan sebuah bangsa dapat terwujud ketika persatuan dapat terrealisasi. Demikian cuplikan pidatonya:

Mencari persatoean dalam pergerakan kebangsaan, itoelah yang teroetama diamalkan oleh pemimpin-pemimpin bangsa di waktoe sekarang. Kaoem pergerakan kita di Indonesia semoeanya adalah berbesaran hati bahwa semangat persatoean indonesia soedah masoek kemana-mana, djoega pada kita di noesa selebes ini. Semangat itoe soedah melekat di atas bibir tiap-tiap orang pergerakan Indonesia, mendalam kehati tiap-tiap orang Indonesia jang berdjoeang membela keselamatan tanah air dan bangsa mendjadi dasar jang tegoeh bagi gerak dan terdjangnya Perserikatan Selebes...

...dan wadjib kita koeboerkan segala perasaan kekotaan, kepoelaoean dan keprovincian dan wadjib poela kita insjaf dengan seinsjaf-insjafnja bahwa kita sekalian adalah poeteri-poeteri dan potera-poetera indonesia. Kota-kota seperti Makassar, Manado dll itoe hanjalah masing-masing kota kelahiran kita dan Indonesialah iboe dan negeri kita jang haroes kita tjintai, sebab nasinja jang kita makan dan airnja jang kita minoem. Djadi tidak lebih dari kewadjiban kita djika kita memperhambakan, memperboedakkan diri kita oentoek iboe Indonesia. Cinta bangsa dan tanah air haroes kita menanam dengan sedalam-dalamnja dalam hati sanoebari kita sekalian.[5]

Nadjamoeddin sangat menyadari bahwa roh dari pergerakan untuk membela tanah air membutuhkan persatuan dari semua belah pihak. Perbedaan-perbedaan daerah asal menjadi tidak penting lagi diperdebatkan dalam rangka perjuangan kebangsaan. Ikut serta dalam perjuangan pergerakan adalah kewajiban bagi seluruh rakyat yang tidak boleh ditawar sebagai manifestasi dari kecintaan terhadap Indonesia.

Para pengurus Perserikatan Selebes memiliki latar belakang politik serta latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Pada perkembangannya, perbedaan latar budaya menjadi pemicu munculnnya persoalan dalam internal organisasi ini yang bermuara pada konflik antara ”utara” dan ”selatan.[6] Konflik ini akhirnya berujung pada perpecahan dimana Nadjamoeddin yang saat itu menjabat sebagai ketua Perserikatan Seceles Cabang Makassar mengambil alih dan menggantinya dengan nama Partai Selebes. [7] Perubahan cabang Makassar juga diikuti oleh cabang Barranglompo, sehingga pada awal pembentukan Partai Selebes, memiliki anggota sekitar 400 orang dari gabungan Cabang Makassar dan Cabang Barranglompo.[8] Untuk pengembangan partai, segera dibentuk beberapa cabang seperti Cabang Surabaya pada 17 Januari 1932, Cabang Bonthain, Cabang Boetoen, Cabang Palembang, dan Cabang Sungai Gerong.[9]

Ketika Nadjamoeddin terpilih menjadi ketua umum pada partai Selebes, pengembangan partai semakin meningkat. Partai Selebes memiliki azas yang sama dengan Perserikatan Selebes. Persatuan dan Kebangsaan tetap menjadi azas partai, demikian juga dengan tujuan yang ingin dicapai tetap pada tiga hal yakni persatuan yang ditopang oleh sistem pendidikan yang merata, kemandirian ekonomi, serta penguatan basis politik sebagai media dalam mencapai tujuan pergerakan.

Sebagai upaya untuk pengembangan partai, Nadjamoeddin dan rekan-rekannya bersepakat untuk melebur dalam sebuah fusi yang besar yakni bergabung dengan PARINDRA. Sayangnya Nadjamoeddin bukan termasuk tipe orang yang cepat puas dengan hasil yang telah dicapainya. Demikian juga dengan bergabungnya Partai Sarekat Selebes yang dipimpinnya ke dalam PARINDRA, hal ini tidak menjadikan Nadjamoeddin puas dengan apa yang diperoleh selama bergabung dengan Parindra. Salah satu hal yang mungkin membuatnya kecewa dengan Parindra adalah ketika gagal dalam pencalonan dirinya masuk menjadi anggota Volksraad periode periode 1935-1939. Salah satu penyebab gagalnya pencalonan tersebut adalah karena tidak didukung oleh sebagian pengurus pusat (Parindra) di Surabaya yang lebih cenderung memilih Ahmad daeng Siala yang saat itu adalah pengurus Parindra cabang Makassar.

Kekecewaan Nadjamoeddin itu ditunjukkan sikapnya yang memilih untuk memisahkan diri dari Parindra tempat dimana dia mengawali gagasannya untuk memajukan pelayaran bumiputera. Di bawah kepemimpinannya, Nadjamoeddin keluar dari Parindra diikuti oleh 250 orang lainnya pada bulan april 1939. [10] Setelah keluar dari Parindra, Nadjamoeddin segera membentuk partai baru yang bernama Persatuan Selebes selatan. Persatuan dan kebangsaan tetap menjadi azas dari partai baru ini sama ketika mendirikan Partai Selebes maupun Perserikatan Selebes. Meskipun memiliki azas yang sama dengan partai yang pernah dibesarkannya sebelumnya, namun Partai secara tegas menyatakan diri sebagai partai yang loyal terhadap pemerintah. Hal itu dinyatakan secara tertulis pada azas partai poin keempat Dalam pekerdjaan oentoek mentjapai kemoelia’an Selebes selatan, maka Persatoean Selebes Selatan bersikap loyal terhadep pemerentahan negeri.[11]

Pernyataan sikap dari Persatuan Selebes selatan yang terang-terangan menyatakan kesediaan untuk bekerjasama dengan pihak pemerintah Hindia Belanda pada awalnya mengundang banyak pertanyaan dari kelompok pergerakan lainnya di Sulawesi selatan. Nadjamoeddin mengemukakan alasannya yang memilih bekerjasama dengan pihak pemerintah dilakukan tetap dalam rangka memperjuangkan kemajuan bagi rakyat Selebes Selatan. Kemajuan yang diperjuangkan mencakup kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan politik.

C. Memajukan Pendidikan Bagi Bumiputera

Ketika persatuan bangsa telah terwujud, maka selanjutnya yang harus dipenuhi adalah terwujudnya sistem pendidikan yang merata. Pada tahap inilah Nadjamoeddin bersama rekan-rekannya seperti Lindoe marsajit, Nyonya Lumenta, Salawati daud, D. Th. N. Lengkong melalui Perserikatan Celebes berinisiatif membentuk Perhimpunan Perguruan Rakyat selebes (PPRS). PPRS adalah lembaga bentukan Perserikatan Selebes yang secara khusus mengurusi pendidikan dengan mendirikan beberapa sekolah perguruan nasional dan kursus-kursus. Dalam sebuah laporan PPRS, disebutkan bahwa pada awal tahun 1930, hanya 526 siswa yang diterima pada Inlandscheschool (sekolah bentukan pemerintah), sedangkan 215 calon siswa ditolak. [12] Kondisi inilah yang menjadikan PPRS ikut berpartisipasi secara aktif dalam memajukan pendidikan di Sulawesi Selatan. Alasan lain yang lebih penting adalah kemandirian bangsa dalam menyelenggarakan pendidikan. Demikian Nadjamoeddin menjelaskan :

...Djikalaoe kita maoe madju, maka djangan menanti-nanti tolongannya orang lain, djikalaoe kita maoe berdiri, djoega djangan menanti-nanti sokongan dari orang lain. Hanja kepertjajaan pada kekoeatan dan kebiasaan sendiri jang akan membawa Iboe Indonesia ketempat jang kita tjita-tjita. Inilah faktor jang penting sekali dan inilah sebab-sebabnja, sampai ditempat jang ketjil-ketjil, timboelnja pergoeroean nasional. Djoega itoelah sebabnja maka PPRS berdiri di kota Makassar, ditengah-tenganja ra’jat Bugis dan Makassar ini.

...Djoega boekoe-boekoe yang dipakainja sehari-hari di itoe sekolahan penoeh dengan penghinaan dan merendahkan bangsa kita. Oempamanja sadja itoe boekoe dari Toean Croes jang telah tersohor di seloeroeh indonesia: ”De dief” disitoe kita batja, dan soedah tentoe sadja si dief ataoe maling hanja lain perkataan sadja dengan si Inlanders. Sekali lagi sadja oelangkan, bahwa alat-alat pengadjaran di soewatoe Pergoeroean Barat penoeh dengan penghinaan terhadap perasaan bangsa kita.[13]

Lebih lanjut ia menjelaskan:

Pergoeroean nasional haroes memakai kebangsaan sebagai ia poenya pundament; artinja pedjaran2 jang diberikan kepada moerid2 ”haroes tjotjok” dengan kehidoepan dan penghidoepan kita.

Djikalaoe pergoeroean2 ta’ memakainja ini, soedah tentoe anak akan tinggal asing terhadap kalangannja sendiri (djadi sama sadja dengan boeah pendidikan Barat) dan ini berarti bahwa sang anak tadi akan ta’ mengetahoei keperloeannja biarpoen keperloeannja lahir ataoe bathin ataoe lain perkataan perasaan kebangsaan akan tinggal di bibir sadja. [14]

Pernyataan ini semakin menegaskan betapa pentingnya memberikan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan bangsa, karena berkaitan erat dengan penguatan nasionalisme bagi bumiputera. PPRS menganggap bahwa yang paling tahu apa yang kita butuhkan adalah diri kita sendiri dan bukan pihak lain. Sangat jelas terlihat bahwa misi PPRS adalah mencapai persatuan bangsa dengan ditopang oleh pendidikan yang merata.

PPRS membuka tiga jenis sekolah pagi yaitu Perguruan Rendah yakni sekolah kelas II ditambah materi bahasa Belanda dan boekouden, Perguruan Rendah Penambah (P.R.P) atau sama dengan Schakelschool ditambah materi bahasa Inggris dan boukhouden, dan Perguruan Rendah Umum (P.R.O) atau sama dengan HIS ditambah materi bahasa Inggris dan bookhouden. Untuk kelas petang dibuka Taman Pendidik Pengajar Pembantu atau Normaalcuursus yang ditempuh selama dua tahun, dan beberapa kursus singkat seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, kursus dagang, kursus stenografie, dan Cuursus Algameene Ontwikkeling (Pengetahuan Umum).

Materi yang diberikan cukup beragam, namun demikian diberikan porsi yang cukup besar bagi materi sejarah. Materi tersebut antara lain Babad Indonesia diajarkan oleh L. Marsajit, Aturan Pemerintahan Negeri oleh H.A. Lumenta, Pergerakan India, Mesir, Tiongkok, dan Pilipina oleh Lengkong, dan Ringkasan Pergerakan Barat atas Pengaruhnya Fransche Revolutie oleh Nadjamoeddin.[15] Selain mengajarkan Sejarah Eropa, olehrekan-rekannya, Nadjamoeddin dipercayakan untuk mengajar Bahasa Belanda oleh karena dibanding dengan temannya, dia dianggap sangat fasih menguasai Bahasa Belanda dibanding lainnya.[16] Perhatian Nadjamoeddin dalam pendidikan di Sulawesi Selatan menyebar luas hingga di bagian terluar wilayah Sulawesi Selatan yaitu Buton, seperti dinyatakan berikut ini:

Atas oesahanja saudara Nadjamoeddin wakil ketua Padoman Besar maka PS dan PPRS Tjabang Boeton telah didirikan. Inilah adalah soeatoe nationaledaad dari saudara Nadja terseboet karena dimasa ia mengasoh (verlof) ke Boeton ia pergoenakan waktoenja dan tenaganja oentoek memadjoekan bangsa dan tanah air. Akan djasanja itoe kita haroes djoenjoeng tinggi”.[17]

Komitmen Nadjamoeddin untuk memajukan pendidikan bagi bumiputera cukup tinggi, hal ini terbukti dengan kepercayaan teman-temannya yang memilihnya sebagai direktur PPRS menggantikan Ny. Ticolau. Kondisi PPRS saat itu dalam kondisi ukup buruk bermasalah dalam hal keuangan. Nadjamoeddin selaku direktur baru, segera menyelesaikan masalah hutang PPRS dan menggunakan uang pribadinbya memiliki masalah keuangan dengan sejumlah hutang pada tukang kayu dan hutang sewa rumah sebesar f.110 untuk menutupi hutang sewa rumah dan hutang pada tukang kayu. Apa yang telah dilakukan oleh Nadjamoeddin ini memperoleh apresiasi positif dari rekannya maupun dari komisi verifikasi yang terbentuk.

Kami Verificatiecommisie berpendapatan pada waktoe pemeriksaan, bahwa verantwoording beliau (Nadjamoeddin) itoe dikerdjakan dengan saksamanja dan sebagaimana moestinja, sehingga kita menjatakan, bahwa pekerdjaan orang jang sedemikian itoe, jang sekian berat tanggoengannja, serta dia tiada mengeloeh dan dikorbankannja temponja jang akan dipakainja oentoek bersenang-senang, serta tenaganja terhadap kepada bangsa dan tanah airnja, maka ta’ dapatlah rasanja kita menilainja, apalagi pekerjaan itoe, pekerkaan jang semoelia-moelianja. [18]

Perhatian Nadjamoeddin untuk memajukan pendidikan bagi bumiputera juga terlihat pada keinginannya untuk memajukan pendidikan khususnya kaum perempuan. Sekolah yang dimaksud bertujuan untuk memberi bekal keahlian bagi perempuan di Sulawesi Selatan. Sekolah ini diperuntukkan bagi lulusan Volkschool yang jenjang pendidikannya 3 tahun (onderbouw), dan lulusan HIS atau (Schakelschool) yang jenjang pendidikannya 4 tahun (bovenbouw). Untuk jenjang pendidikan 4 tahun diberi keahlian: 1) urusan rumah tangga (huishouddelijke vakken); 2) menjahit, bordir, dan menyulam (handwerken); 3) menjadi guru sekolah (Frobel-onderwijzeres). Dalam upayanya itu, Nadjamoeddin berhasil mengumpulkan sejumlah 64 siswa yang akan masuk pada kelas 3 tahun (onderbouw), kelas 4 tahun 70 siswa. Rencana Nadjamoeddin ini diuraikan dalam tulisannya secara detail dilengkapi dengan kurikulum yang akan digunakan. [19]

Keinginan untuk memajukan kaum perempuan tidak hanya dilakukan lewat pidato maupun tulisan. Nadjamoeddin telah mempraktekkan dalam keluarga dengan memberi kesempatan kepada istrinya Nyonya Hadidjah ikut serta dalam organisasi pergerakan, baik di Perserikatan Selebes maupun di Partai Selebes. Nyonya Hadidjah ikut aktif dalam menggerakkan kaum perempuan Sulawesi Selatan dengan bergabung dalam Serikat Istri Selebes yang terbentuk pada bulan April 1931 di Makassar. Dalam sebuah tulisannya, Ny. Khadidjah menyatakan sebagai berikut:

Pergerakan kaoem isteri adalah pergerakan nasional jaitoe oentoek membakti pada keboetoehan nasional, pada ra’jat dan tanah air Indoenesia. Kita perempoean jang lebih bisa merasakan kesengsaraan dan kebingoengan dan jang lebih-lebih bisa merasakan ketjintaan pada ra’jat.

Wahai para perempoean, korbankanlah perasaan-perasaanmoe djikalau itoe bertentangan dengan pekerdjaan nasional. Koebankanlah ia oentoek keperloean oemoem karena djika tidak begitoe tersia-sialah teriakan tentang ketjintaan kepada bangsa dan tanah air. Koeatkanlah barisan Sarekat Isteri Selebes soepaja dapat kita mempeladjari dan menjelidiki keadaan-keadaan yang boesoek oentoek memperbaikinja. Moedah-moedahan Iboe Indonesia memperlindoengi kita sekalian dan membri kebidjaksanaan dan ketegoehan soepaja kita bisa membakti dengan sempoerna padanja.[20]

Pernyataan diatas menunjukkan betapa Nadjamoeddin telah memberikan ruang kepada isterinya untuk ikut aktif dalam dunia pergerakan. Inilah bentuk keseriusan Nadjamoeddin dalam memajukan kaum perempuan khususnya di Sulawesi Selatan.

D. Membangun Basis Ekonomi Kerakyatan

Nadjamoeddin melihat ketika Persatuan yang ditopang oleh pendidikan yang merata telah terpenuhi, maka proses berikutnya adalah memperkuat basis ekonomi kerakyatan. Basis ekonomi menjadi penopang pergerakan untuk mencapai kemandirian bagi terbentuknya sebuah kelas middendstand sehingga menjadi sebuah bangsa yang besar dan mandiri. Dalam sebuah rapat Protest-Vergadering, Nadjamoeddin menjelaskan bahwa faktor kapital (ekonomi) menjadi penopang utama dalam sebuah negara. Demikian ia menjelaskan :

...lihatlah sadja pada Amerika Pendoedoek aseli dari Amerika itoe adalah bangsa Indian, akan tetapi bangsa Indian itu terdapat lagi di kota-kota Amerika, hanja di goenoeng-goenoeng sadja, oleh sebab bangsa-bangsa Europa jang moela-moela datang disitoe sebagai tamoe soedah mendapat tanah dan oleh kekoeatan kapitaal maka dalam peperangan economi bangsa Indian kala dan terpaksa lari pergi di goenoeng. Demikianpoen djoega keadaan di Kanada dan di Australie. Djoega keadaan demikian akan terjadi di Indonesia ini, kalau hak tanah kita diberikan pada bangsa lain, soedah tentoe djoega anak tjoetjoe kita oleh kerna kekoerangan kapitaal akan terpaksa tinggal di goenoeng dan bangsa lain jang lebih koeat economienja akan tinggal di kota-kota negeri kita. Oleh kerna itoe, soepaja keadaan demikian tidak akan terdjadi di negeri kita ini, maka soedah pada tempatnja kalau kita menolak permintaan kaoem Indo itoe.[21]

Nadjamoeddin menganggap begitu penting fungsi kapital (modal), sehingga wajib dimiliki oleh sebuah bangsa. Dengan modal yang kuat, bangsa dapat menguasai bahkan mengusir bangsa lain, begitu juga sebaliknya. Dari pendapatnya itu, wajar jika ia menganggap bahwa basis ekonomi adalah syarat wajib yang harus dipenuhi oleh sebuah bangsa yang besar. Bagi Nadjamoeddin, untuk mencapai kemerdekaan secara politik, terlebih dulu harus merdeka secara ekonomi.

1. Memajukan Pelayaran Bumiputera

Ketika aktif di PARINDRA, Nadjamoeddin diberikan kesempatan untuk merealisasikan gagasannya untuk mengembangkan perekonomian bumiputera. Nadjamoeddin memulainya dengan usahanya memajukan pelayaran bagi bumiputera yang selama ini telah dimonopoli oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (K.P.M.)[22] Kebijakan monopoli KPM seperti pemberlakuan pajak yang tinggi sangat merugikan pelayaran bumiputera. Kebijakan ini tidak hanya merugikan pelayaran bumipiutera tetapi juga pengusaha kapal kecil Cina maupun.[23] Kebijakan lainnya adalah mewajibkan tiap perahu yang berlayar untuk membayar biaya wewenang tanggungan yang sebelumnya terlebih dahulu harus membayar biaya 40% dari barang-barang yang dimuat.[24] Kendati pemilik perahu telah memenuhi kewajiban dengan membayar cukup tinggi kepada K.P.M. tetap tidak ada jaminan asuransi terhadap kerusakan atau kehilangan barang selama pelayaran. Uang tanggungan akan dinyatakan hilang dan akan masuk ke kas milik pemerintah. Demikian ditulis dalam sebuat koran:

Menjaingi KPM memang bisa dijalankan, tetapi tidak bisa tahan lama, selama poebliek ataoe saudagar2 tiada bersatu hati membantoe oesaha itoe. Kedjadian jang seroepa di atas boekan sadja terdjadi disini akan tetapi dimana-mana tempat, dimana orang Mentjoba menyaingi K.P.M. tetapi kesoedahannja terpaksa toendoek dan K.P.M. mengibarkan bendera kemenangan.[25]

Menghadapi kondisi di atas, Nadjamoeddin membentuk Roekoen Pelayaran Indonesia (ROEPELIN) pada Nopember 1935. Roepelin ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Akan bekerdja bersama-sama oentoek mendapat moeatan dengan oepah jang sebaik-baiknja.
2. Akan berdaja oepaja dengan djalan jang sah oentoek mendapat keringanan dari beban-beban pelajaran.
3. Akan menjiarkan pengetahoean tentang pelajaran dan jang berhoeboengan dengan itoe.
4. Akan menggiatkan nafsoe anggautanja oentoek menyimpan oeang pada perserikatan.
5. Menolong anggautanja memberi pindjaman dengan djalan jang moedah dan berarti pendidikan oentoek mentjapaikan maksoed-maksoednja jang mendatangkan faedah
.[26]

Sejak Roepelin terbentuk, pelayaran bumiputera mengalami kemajuan yang cukup. Diantaranya adalah trayek pelayaran semakin banyak dan meluas hingga besar. Kemajuan yang dicapai seperti lamanya pelayaran dan semakin meluasnya daerah yang bisa dicapai. Masa pelayaran yang dulunya hanya dilakukan pada musim angin timur (antara bulan April hingga November), maka tempo pelayaran tidak tergantung pada kondisi alam.

“…mereka adalah djoeragan La Djato dengan perahunya Toeroetjinna Kadjoeara telah berangkat dari Selebes dalam pertengahan boelan desember menoedjoe ke Borneo…”
…Djoeragan Zain dengan perahoenja Tjinna Mattola, telah mentjoba poela berangkat ke Soerabaja dalam moesim barat…
…Djoeragang Tahir dengan perahunja “Senang Hati” tiada hendak ketinggalan poela melakoekan pelajaran dimoesim barat dan sampai ketoedjoean hanja dalam tempo 25 hari…”[27]


Perubahan ke arah perbaikan pelayaran bumiputeta juga terjadi pada peningkatan kuantitas armada angkutan. Untuk jenis perahu yang memiliki kapasitas 800 hingga 1000 pikul, diperkirakan kurang dari sepuluh, menjadi lebih dari sepuluh. Jenis perahu yang berkapasitas 500 hingga 700 pikul, jumlahnya telah mencapai ratusan. Perubahan yang sangat signifikan adalah peningkatan secara drastis perahu ukuran mulai 300 pikul hingga 1000 pikul jumlahnja tidak kurang dari 1000 buah. Selain perubahan-perubahan itu, prestasi lain yang dicapai oleh Nadjamoeddin adalah bergabungnya lebih dari 200 perahu layar Bugis dan Makassar dalam organisasi Roepelin. Perahu layar ini dapat terorganisir dan terkontrol secara maksimal dibawah kendali Roepelin.

2. Merintis Pembentukan Koperasi

Selain memajukan pelayaran bumiputera, Nadjamoeddin mengembangkan basis ekonomi kerakyatan lain yaitu koperasi. Program ini telah dirintisnya ketika aktif di PARINDRA dengan membina kampung-kampung untuk dijadikan kampung keperasi. Ia membentuk 54 kampung koperasi di Surabaya, akan tetapi program ini tidak berjalan maksimal. Ketika pindah ke Makassar, Nadjamoeddin kembali menghidupkan koperasi dengan membentuk koperasi Minasa badji [28] dimana dia menjadi ketuanya. Sebagai koperasi yang baru dirintis, Minasa Badji belum memiliki modal sehingga Nadjamoeddin selaku pimpinan berusaha keras untk memperoleh bantuan dari pemerintah. Usahanya ini membuahkan hasil dan mendapat subsidi dari pemerintah sehingga koperasi ini bisa memiliki omzet sebesar f 24.000. Demikian ia menyampaikan :

“…bagimana baeknja bercooperatie itoe dan apa goenanja Bank Cooperatie, sebagai boektinja Cooperatie itoe (Koperasi Minasa badji) jang di Makassar ini mampoe memberi pindjam sebanjak lima roepiah kepada tiap2 pedagang ketjil oentoek dipake mendjadi modal soepaja bertambah madjoe peroesahannja dan semakin banjak diperoleh keoentoengan…pedagang2 di negeri Belanda sampe ada poela kaoem pendjoeal sajoer jang mendapat soebsidi…”.[29]

Dengan membentuk koperasi, diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan memperbaiki dunia usaha khususnya bagi pedagang yang bermodal kecil. Pemberian modal usaha bagi pedagang kecil dinilai sangat membantu untuk tetap mempertahankan eksistensi para pedagang kecil. Selain di Makassar, Nadjamoeddin juga mempelopori pembentukan koperasi di Selayar sebagai salah satu daerah penghasil kopra terbanyak di Sulawesi Selatan.[30] Pembentukan koperasi ini sebagai solusi dari menurunnya tingkat penjualan Kopra dari selayar ke Makassar.

“…dari kapal kelihatan dengan njata bahwa poelaoe Saleier itoe penoeh dengan pohon kelapa anak negeri. Pada seorang pedagang anak negeri, jang saya tahoe banyak berdagang kopra dan lain-lain hasil anak negeri poela, jang senantiasa mengirim dengan perahoe lajar, djoega ke poelaoe Djawa, saja telah tanjakan apakah sebabnja, maka tidak ada kopra sekarang jang keloear dari poelaoe Saleier, sedang dahoeloe saja tahoe beriboe2 karoeng kopra jang dikirim ke Makassar, tidak sadja dengan perahoe, tetapipoen dengan kapal djoega…”[31]

Kuota minimal aturan yang dikeluarkan Kopra-Fonds makassar ini sulit dipenuhi pedagang kopra Selayar. Kondisi ini mengakibatkan munculnya tengkulak-tengkulak kopra. Tengkulak kopra memanfaatkan kondisi ini dengan mengambil keuntungan tinggi. Harga beli tengkulak pada petani hanya f 1,50 per 100 kg dan dijual dengan harga tinggi.[32] Mendapati kondisi seperti ini Nadjamoeddin memberi solusi dengan menyarankan membentuk sebuah koperasi.

Pada tempatnja sekali kalau anak negeri jang mempoenjai pohon kelapa itoe, mengadakan organisasi jang beroepa productie-cooperatie, soepaja dengan djalan bekerdja bersama-sama, segala kopra mereka dikoempoelkan dan didjoeal bersama-sama langsung ke kopra-fonds di Makassar, sehingga dengan djalan ini, maka soal 25 ton itoe tidak akan mendjadi halangan lagi.Dengan organisasi koperasi sebagai itoe, maka mereka akan mendapat harga jang lebih tinggi daripada sekarang dan bisa poela memperdengarkan keberatan-keberatannja pada jang berwadjib.[33]

Pembentukan koperasi ini dimaksudkan untuk meminimalkan kerugian yang dialami oleh petani kopra. Petani kopra diharapkan bisa bekerjasama untuk mengumpulkan kopranya sehingga bisa memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh kopra-fonds Makassar. Kondisi yang sama juga didapati di Gowa, Nadjamoeddin menghidupkan kembali sebuah koperasi yang sudah tidak produktif. Koperasi yang awalnya dibnetuk oleh Daeng Boeang (seorang bangsawan Gowa) ini akhirnya dihidupkan kembali oleh Nadjamoeddin yang dinamai koperasi ”Tamalate”. [34]

Konsentrasi Nadjamoeddin dalam pembangunan basis ekonomi kerakyatan terus dilakukan hingga pasca kemerdekaan 1945. Ketika ia menjabat perdana menteri NIT dan juga sebagai menteri perekonomian, pengembangan basis ekonomi kerakyatan menjadi kebijakan penting dalam program kerjanya.

E. Mengusung Gagasan Federal Sebagai Bentuk Ketatanegaraan Indonesia

Ketika terpilih menjadi Perdana Menteri NIT yang sekaligus merangkap sebagai menteri perekonomian, dalam manifes politiknya Nadjamoeddin menyampaikan kelebihan bentuk negara federal dan beberapa hal yang berhubungan dengan tanggungjawabnya sebagai menteri perekonomian. Bentuk federal dianggapnya sebagai sebuah solusi bagi Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Selain itu bentuk federal juga dianggap sebagai evaluasi dan perbaikan atas bentuk ketatanegaraan yang sentralistik yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda selama ini. Jarak yang jauh antara pusat dan daerah akan memberi pengaruh yang cukup signifikan atas besarnya kekuasaan yang bisa diserahkan kepada daerah.

Keyakinan Nadjamoeddin akan segala kelebihan dari bentuk ketatanegaraan yang federatif ini begitu kuat. Menurutnya, federasi menjadi sebuah syarat mutlak untuk mewujudkan cita-cita bagi kemandirian sebuah negara. Mandiri secara politik terlebih lagi kemandirian dalam hal ekonomi untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal ini disampaikannya pada bagian penutup dari manifes politiknya :

Akan tetapi sekali lagi pada penoetoep pemandangan ini, pemerintah berkehendak memberitahoekan bahwa sebagai sjarat moetlak oentoek mewoedjoedkan toedjoean dan tjita2 jang dianoetnja itoe ialah bentoek negara jang federatief. Tidak ada cara jang lain jang bisa melindoengi kita terhadap pemeliharaan jang tak sepertinja jang akibatnja memang telah lama kita alami itoe. Tak ada lain tjara lagi jang memoengkinkan kita akan meniadakan segala kekoerangan2 kita di atas berbagai-bagai lapangan, tak ada lain tjara oentoek mengembangkan soesoenan perekonomian dan keinginan2 kita jang menghendaki kehidoepan dan penghidoepan sesoeai dengan perasaan dan kebiasaan2 sendiri, tak ada poela lain tjara jang dapat mendjaga kita terhadap bahaja jang pasti akan menarik kita kedalam kekatjaoean ekonomi disoeatoe bagian, jang kita sendiri soedah mentjegahnja dengan melaloei djalan2 jang legaal. Dan oleh karena ini telah mendjadi kejakinan pemerintah jang sesoenggoehnja sangat prinsip ini akan melipoeti seloeroeh kebidjaksanaannja maka ia menaroeh kepertjajaan sepenoeh2nja bahwa didalam tindakan2nja ia akan mendapat sokongannja bahagian jang terbesar dari golongan2 bangsa di Indonesia Timoer dan daripada badan jang mewakilinja itoe. [35]


Dengan sistem federal, Indonesia yang kelak terdiri dari beberapa negara bagian akan memberikan keleluasaan bagi negara-negara bagian untuk mengembangkan daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini akan menunjang percepatan pembangunan di masing-masing negara bagian. Terkait dengan kedudukannya sebagai menteri perekonomian, Nadjamoeddin pernah mengusulkan mengusulkan pembentukan atau pengadaan suatu dana pembangunan yang secara khusus untuk meningkatkan perdagangan dan perkapalan dengan modal 5 juta gulden. [36] Hal ini dilakukan untuk memajukan usaha pelayaran masyarakat pribumi yang telah dirintisnya ketika membentuk ROEPELIN.

Usaha yang pernah dirintis Najamuddin daeng Malewa pada tahun 1930-an untuk memajukan pelayaran pribumi, setidaknya telah kelihatan hasilnya sekitar tahun 1947. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya membentuk sebuah otorita pemilik kapal bersama. Mula-mula dibentuk Maskapai Kapal Sulawesi Selatan (MKSS) yang kemudian berubah nama menjadi Perusahaan Pelayaran Sulawesi Selatan (PPSS) dan Pelayaran Rakyat Indonesia (PERINDO) di Manado Sulawesi Utara.
Menurutnya, dalam memajukan pembangunan politik, tidak bisa tidak harus didahului dengan pembangunan bidang ekonomi yang kokoh. Cita-citanya adalah menempatkan bangsa Indonesia pada posisi yang layak dalam pembangunan ekonomi. Sehingga apa yang menjadi tujuan jangka panjangnya untuk mewujudkan suatu kelas menengah (middenstand) dapat tercapai. Pandangan-pandangan Najamuddin daeng Malewa dalam memajukan pembangunan di bidang ekonomi dapat ditelaah dari cuplikan pidatonya berikut ini:

…Kewadjiban kita ialah mengoeatkan dan mendjahterakan Negara Indonesia Timoer. Tujuan kita ialah menaikkan tingkat kemadjoean dan kema’moeran dari ra’yat banyak. Toedjoean kita ialah menghapoeskan keadaan yang tidak sama terhadap lain-lain Negara agar soepaya kita tidak sadja mendjadi parter yang sama harga menoeroet hoekoem tetapi djoega yang sama harga didalam hal ekonomis, financieel dan culkturee. [37]

F. Penutup

Pada dasarnya gagasan kebangsaan Nadjamoeddin di Sulawesi Selatan dapat disederhanakan menjadi tiga pokok pikiran utama. Pertama, Persatuan. Yang dimaksud persatuan adalah hilangnya batas-batas kesukuan diantara bangsa-bangsa di Indonesia yang kemudian dilembagakan dalam sebuah organisasi atau partai politik. Inilah yang menurut Nadjamoeddin dianggap sebagai dasar dari identitas kebangsaan. Kedua, Pendidikan. Memajukan pendidikan bagi bumiputera menjadi hal yang sangat penting karena menjadi gerbang utama dalam membuka wawasan untuk mencapai kemajuan yang lebih baik. Sehingga masyarakat dapat menjadi peka terhadap segala perubahan yang terjadi disekitarnya. Ketiga, Basis ekonomi. Ekonomi menjadi bagian vital bagi sebuah bangsa agar mampu menjadi bangsa yang kuat dan mandiri sehingga bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.

Makalah ini disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah (KNS) ke-9, 5-7 Juli 2011 di Jakarta.
*Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar.


FOTE NOTE

1 Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm 35-36.
2 T.B. Bottomore, Elite dan Masyarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006. Bandingkan dengan Heather Sutherland Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar harapan, 1983.
3 Menurut Hans Kohn nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan adanya suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan pada penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda, lihat Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlangga, 1984., hlm. 11. Lebih lanjut lagi, E. J. Hobsbawm berpendapat bahwa antara tahun 1870-1918 adalah masa transformasi nasionalisme, sedangkan puncak nasionalisme terjadi pada kurun waktu 1918-1950, Lihat E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Jogjakarta: Tiara Wacana, 1992.
4 Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlangga, 1984., hlm. 11. Bandingkan dengan E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Jogjakarta: Tiara Wacana, 1992 
5 Perdjoeangan Kebangsaan, Suara Perdamaian, No.1 Maret 1931,tahun I.
6 Menurut data sensus tahun 1930, ±80% penduduk Sulawesi selatan buta huruf dan berbanding terbalik dengan penduduk Sulawesi Utara dan Ambon. Ketua umum Padoman Besar D. Th. N. Lengkong berasal dari Manado. Lihat, Chaniago, Menuju Negara kesatuan
Republik Indonesia: Peranan Pemimpin Lokal Dalam Dinamika Politik di Sulawesi selatan dan Sumatra Timur 1950, Disertasi UGM 2002, hlm.128-129
7 Barisan Kita, No. 7, September 1931.
8 Barisan Kita, No. 7, September 1931, Tahoen I, hlm. 1
9 Barisan Kita, No.2, 30 januari 1932.
10 Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar Dari Tradisi Ke DI/TII, Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 80; Drs. Sarita Pawiloy dkk., Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan (17 Agustus 1945 - 17 Agustus 1950), Ujungpandang: Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan, 1987, hlm. 49.
11 Persatuan Selebes Selatan Keterangan Azas, Pemberita Makassar, 25 Juli 1939, Nomor 166, Tahun XXXVII, Lembar Kedua.
12 Lihat, Suara Perdamaian, Nomor 2, Juli 1930 Tahun I, hlm 1.
13 Barisan Kita, Nomor 2, Pebruari 1931 tahun I, hlm. 4.
14 L. Mars, “Pergoeroean Kebangsaan”, Barisan Kita No. 5,6 Juli- Agustus 1931 Tahun I, hlm.3.
15 Materi yang diajarkan Nadjamoeddin pada perguruan ini kebanyakan tentang sejarah Eropa. Pengetahuannya tentang sejarah dan pergerakan di Barat cukup luas dibuktikan dengan beberapa tulisan-tulisannya seperti: Philippina Merdeka, Barisan Kita, Nomor 5 s/d 7, Maret s/d Mei 1932, Tahun II, hlm. 1., Fascisme di Italie dan Nationale-Socialisme di Djerman, Soeara Parindra, Mei 1936, Tahun I, hlm. 7-9., Politiek, Barisan Kita, Nomor 3-4, 15 dan 29 Pebruari 1932, Tahun II, hlm. 1.,
16 Sunardjo adalah salah seorang advokat di Makassar dan juga aktif pada organisasi pergerakan di Sulawesi Selatan, Soelawesi, 22 September 1934, Nomor 25, Tahun I, hlm. 1.
17 “Boeton Bangoen dari Tidoernja”, Barisan Kita, Nomor 5-6, Juli-Agustus 1931 tahun I, hlm. 4
18 Kekosongan kas perguruan disebabkan adanya masalah interen PPRS. Komisi verifikasi independent dibentuk untuk memeriksa bendahara Salawati daud (Halida Djoenaid) yang saat itu mengatakan bahwa buku kasnya hilang. Hasil pemeriksaan komisi verifikasi keuangan perguruaan PPRS dimuat secara lengkap dalam Barisan Kita Nomor 5,6,7 bulan Maret, April, dan Mei 1932 Tahun II Halaman 2, 3.
19 Nadjamoeddin, “Daeng Talele School”, Pemberita Makassar, Hari Sabtu 10 Pebruari 1940, Tahun ke XXXVIII, Nomor 34 , lembar kedua.
20 Hadidjah Nadjamoeddin, Taman Keputrian, Barisan Kita, No.3-4, 15 dan 29 Pebruari 1932, Tahun II, hlm. 2.
21 Barisan Kita, Nomor 2, 30 Januari 1932 tahun II.
22 K.P.M. adalah perusahaan swasta milik Belanda yang melayani jasa pelayaran antar pulau, lihat. H.W. Dick, Industri Pelayaran Indonesia Kompetisi dan Regulasi., (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, 1990).
23 Armada pelayaran pengusaha Cina dijuluki armada semut.
24 H. W. Dick. Industri Pelayaran Indonesia Kompetisi dan Regulasi Op.cit., hlm. 18-22.
25 “Tjara K.P.M. Mengalahkan Saingannja”, Soelawesi, Sabtu 15 Desember 1934, Nomor 44,Tahun I, hlm. 1
26 Soeara Parindra, Nomor 1, Januari 1936, hlm. 19-20.
27 “Roch Pelajaran di Soelawesi Selatan”, Soelawesi, Nomor 3, 21 April 1934 Tahun I, hlm 4.
28 Minasa Badji dalam bahasa Makassar berarti adalah sebuah perharapan tentang sesuatu supaya hasilnya baik.
29 Pemberita Makassar, Kamis 7 desember 1939, Nomor 256, Lembar kedua.
30 Data tentang perdagangan kopra di Sulawesi selatan dapat dilihat pada majalah, Handels Vereeniging “Makassar” Jaar Verslag over 1929-1930, Celebes: Drukkerig Makassar; Rasyid Asba, Kopra makassar Perebutan Pusat dan Daerah Kajian Sejarah Politik Ekonomi Regional di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
31 Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Selasa 4 Pebruari 1941, Nomor 26 Lembar kedua.
32 Harga tersebut sangat rendah jika dibandingkan harga di Batavia yang berkisar dari f 2,80 sampai f 3,25 per 100 kg. harga yang f 1,50 itu belum termasuk upah buruh. Sehingga petani hanya memperoleh harga netto f 0,70. Aturan kouta minimal yang dikeluarkan Kopra-Fonds Makassar, berbeda dengan di Batavia. Di Batavia tidak ada aturan minimal penjualan harus 25 ton, sehingga pemilik kopra bisa menjual kopranya meskipun hanya satu karun, ibid.
33 Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Rebo, 5 Pebruari 1941, Nomor 26, Tahun ke XXXIX, Lembar kedua.
34 Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Senin, 17 maret 1941, Nomor 60, Tahun ke XXXIX, Lembar kedua.
35 Manifes Politik Nadjamoeddin, Negara Baroe 24 April 1947.
36Lihat Ide Anak Agung Gde AGung, Dari Negara Indonesia Timur Ke Republik Indonesia Serikat., op.cit, hlm.85-87.
37Pidato ini disampaikan oleh Nadjamuddin daeng Malewa dihadapan parlemen NIT. Secara lengkap, naskah pidato ini dimuat pada koran harian Negara Baroe Harian Oentoek Negara Indonesia Timoer, tanggal 24 April 1947.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

- Chaniago, Menuju Negara kesatuan Republik Indonesia: Peranan Pemimpin Lokal Dalam Dinamika Politik di Sulawesi selatan dan Sumatra Timur 1950, Disertasi UGM 2002.
- Dick, H.W., Industri Pelayaran Indonesia Kompetisi dan Regulasi., (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, 1990).
- Harvey, Barbara Sillars, Pemberontakan Kahar Muzakkar Dari Tradisi Ke DI/TII, Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
- Hobsbawm, E. J., Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Jogjakarta: Tiara Wacana, 1992.
- Ide Anak Agung Gde AGung, Dari Negara Indonesia Timur Ke Republik Indonesia Serikat, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.
- Kohn, Hans., Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlangga, 1984
- Rasyid Asba, Kopra makassar Perebutan Pusat dan Daerah Kajian Sejarah Politik Ekonomi Regional di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
- Sarita Pawiloy dkk., Sejarah Perjuangan Angkatan 45 di Sulawesi Selatan (17 Agustus 1945 - 17 Agustus 1950), Ujungpandang: Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 45 Provinsi Sulawesi Selatan, 1987.
- Shiraishi, Takashi., Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, h
- Bottomore, Elite dan Masyarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006.
- Sutherland, Heather Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar harapan, 1983

B. Koran, Majalah dan Arsip

- “Djawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Oemoem dari Anggota-Anggota
- Parlemen, Pidato P.J.M. Nadjamoeddin dg. Malewa-Perdana Menteri”, Nomor Reg. 8 (Kantor Arsip pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar).
- Barisan Kita: No. 2, Pebruari 1931 tahun I; No. 7, September 1931, Tahoen I; Nomor.2, 30 Januari 1932 tahun II; Nomor 5, Maret 1932, Tahun II; Nomor 6, April 1932, Tahun II; Nomor 7, Mei 1932, Tahun II.
- Negara Baroe, tanggal 24 April 1947.
- Pemberita Makassar, Kamis 7 desember 1939, Nomor 256, Lembar kedua.
- Soeara Parindra: Nomor I, Januari 1936, Tahun I; Nomor I, Mei 1936, Tahun I
- Soelawesi, Nomor 25, 22 September 1934, Tahun I
- Suara Perdamaian, Nomor 2, Juli 1930 Tahun I.
- “Boeton Bangoen dari Tidoernja” dalam Barisan Kita, Nomor 5-6, Juli-Agustus 1931 tahun I
- “Perdjoeangan Kebangsaan”, Suara Perdamaian, No.1 Maret 1931,tahun I.
- Hadidja Nadjamoeddin, “Taman Keputrian”, Barisan Kita, No.3-4, 15 dan 29 Pebruari 1932, Tahun II
- Handels Vereeniging “Makassar” Jaar Verslag over 1929-1930, Celebes: Drukkerig Makassar
- L. Mars, ”Pergoeroean Kebangsaan”, Barisan Kita No. 5,6 Juli- Agustus 1931 Tahun I
- Nadjamoeddin daeng Malewa, Manifes Politik, Negara Baroe, 24 April 1947.
- Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Selasa 4 Pebruari 1941, Nomor 26 Lembar kedua.
- Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Rebo, 5 Pebruari 1941, Nomor 26, Tahun ke XXXIX, Lembar kedua.
- Nadjamoeddin Daeng Malewa, “Sepandjang Pesisir Selebes-Selatan”, Pemberita Makassar, Senin, 17 maret 1941, Nomor 60, Tahun ke XXXIX, Lembar kedua.
- Nadjamoeddin Daeng malewa “Daeng Talele School”, Pemberita Makassar, Hari Sabtu 10 Pebruari 1940, Tahun ke XXXVIII, Nomor 34 , lembar kedua.
- “Tjara K.P.M. Mengalahkan Saingannja”, Soelawesi, Sabtu 15 Desember 1934, Nomor 44,Tahun I
- “Persatuan Selebes Selatan Keterangan Azas”, Pemberita Makassar, 25 Juli 1939, Nomor 166, Tahun XXXVII, Lembar Kedua.
- ”Politiek”, Barisan Kita, Nomor 3-4, 15 dan 29 Pebruari 1932, Tahun II
- “Roch Pelajaran di Soelawesi Selatan”, Soelawesi, Nomor 3, 21 April 1934 Tahun I,



Sumber Tulisan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata , Konferensi Nasional Sejarah IX , Hotel Bidakara Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.

--
Baca Selanjutnya - * GAGASAN KEBANGSAAN NADJAMOEDDIN DAENG MALEWA

Dec 8, 2011

* MENGUNGKAP MASA LAMPAU TORAJA MELALUI SENI UKIR ORNAMEN PASSURAK SEBAGAI SUMBER SEJARAH

Oleh Anwar Thosibo 2

A. Pengantar

Warisan budaya rupa (visual Culture) hasil karya seni tradisi berbagai etnis bangsa Indonesia, khususnya gambar-gambar ornamen seni ukir kayu - yang tersebar dari pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi dan Kepulauan-Kepulauan Indonesia Bagian Timur - merupakan kekayaan budaya rupa dan sumber sejarah masa lalu yang luar biasa. Akan tetapi wacana mengenai kekayaan budaya rupa dan sebagai sumber sejarah, seakan-akan tenggelam dan terkalahkan oleh perhatian terhadap budaya dokumenter yang lebih “prestise” yaitu arsip kolonial dan manuskrif. Penggunaan arsip kolonial dan manuskrif sebagai sumber sejarah masa lalu, sebagai inspirasi historiografi, dan sebagai identitas bangsa merupakan hal yang sudah biasa dan tidak lagi menjadi sesuatu yang baru, akan tetapi penggunaan elemen-elemen dari peninggalan budaya rupa gambar seakan-akan tidak mendapat tempat untuk itu.

Kemungkinan besar ada sebuah alasan penting di samping berbagai alasan lainnya yang menyebabkan peninggalan budaya rupa gambar tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam rekonstruksi sejarah nasional dan historiografi Indonesia; yaitu persoalan “jarak” (distance) antara peninggalan budaya rupa gambar dengan warisan dokumen tertulis (baik jarak waktu, kultural maupun metodologis). Sejarawan akademis masa kini dengan inner logic-nya membuat jarak dengan peninggalan budaya rupa tersebut, sehingga ia seakan-akan bukan menjadi bagian penting dari sumber sejarah, fakta sejarah, dan inspirasi historiografi Indonesia yang sangat kaya..3

Tidak hanya terhadap budaya rupa gambar, para sejarawan akademis pernah membuat jarak dengan sejarawan lain yang dianggap amatir. Itu dilakukan, karena sejarawan amatir dianggap tidak profesional merekonstruksi masa lalu melalui metode ilmu baca kaca; dan pada tingkat yang lebih tinggi juga ditujukan kepada mereka yang berusaha merekonstruksi sejarah masa lampau melalui mimpi seseorang atau populer dikenal dengan istilah penulis sejarah mimpi. Di pihak lain, terdapat sejarawan akademis Indonesia yang setia menggunakan dokumen arsip kolonial dan manuskrif, namun tanpa melalui proses kerja metode sejarah yang kritis. Sebagai contoh, statemen dalam historiografi Indonesiasentris, mengatakan bahwa “VOC melakukan monopoli perdagangan di Indonesia”, dengan mudah berubah dalam penulisan sejarah kontemporer menjadi “VOC berdagang sendiri”. Itulah sebabnya maka pemikiran historiografi Indonesiasentris yang pada mulanya hanya “digugat”, kini mulai didekonstruksi dan berpotensi untuk dikategorikan “gagal”.4

Potensi sejarawan untuk mengerti dan memahami arsip maupun gambar melalui pikiran yang kritis seharusnya tidak memisahkan antara pemahaman kognisi dengan persepsi indra visual, karena bila hal ini dipisahkan maka pikiran seorang sejarawan dapat terarah ke masalah spekulatif abstrak. Selama ini indra penglihatan sejarawan telah dikurangi fungsi dan peranannya sebagai instrumen penelitian sejarah, karenanya sejarawan sering kali menderita sesuatu kekurangan gagasan yang dapat dinyatakan melalui gambaran image, serta suatu ketidakmampuan untuk menemukan maksud dan arti dari apa (gambar) yang dapat dilihat.

Secara alamiah terdapat sejarawan yang mengerti, bahwa peninggalan budaya rupa gambar yang ada di hadapan mereka bisa memberikan informasi sejarah masa lampau, namun yang bersangkutan tetap saja mencari pembenaran akademis di dalam medium kata-kata (arsip dan manuskrif). Rupanya, kapasitas pembawaan sejak lahir untuk dapat memahami melalui indra penglihatan telah “terbius”, oleh karena itu perlu disadarkan dan dibangkitkan kembali perannya. Manusia pada dasarnya mempunyai pertimbangan yang sempurna untuk “bertemu” dan saling memahami satu sama lain (lalu dan kini) melalui peninggalan budaya rupa gambar, dan hal itu dapat dibuktikan melalui permainan gerak dari pantomim yang diam tanpa kata. Dalam hubungan ini Rudolf Arnheim 5 lebih mempertegas, bahwa hal yang visual itu tidak bisa disampaikan dengan lisan dan tulisan tetapi hanya dengan cara visual. Begitupun pemahamannya tidak hanya pada kognisi tetapi perlu melibatkan persepsi indra visual.

Jika benar bahwa penulisan sejarah sudah demikian keadaannya, maka dalam upaya menimbulkan kesadaran sejarah nasional mengenai pentingnya peninggalan budaya rupa gambar sebagai sumber sejarah, fakta sejarah dan inspirasi historiografi Indonesia; tampaknya diperlukan semacam “politik wacana” (politics of dircourse) atau tepatnya “politik tekstual” (textual politics), yaitu sebuah usaha untuk memperjuangkan pentingnya wacana dan teks-teks gambar yang telah diwariskan oleh berbagai etnis bangsa Indonesia sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dari perkembangan pemikiran metodologi ilmu sejarah, khususnya dalam perannya sebagai sumber pengetahuan masa lalu dan sumber inspirasi penulisan sejarah Indonesia yang sangat kaya.

Untuk semua itu, maka dalam rangka politik wacana tersebut, tentu diperlukan, pertama-tama pemahaman yang mendalam mengenai (1) fenomena budaya rupa gambar dengan berbagai aspek, bentuk dan konteksnya. Selanjutnya membuka diskusi lebih lanjut mengenai, (2) bagaimana peninggalan budaya rupa gambar tersebut - dengan mengambil contoh ornamen seni ukir karya etnis Toraja - dapat digunakan sebagai sumber sejarah, dan akhirnya (3) mencoba mengungkap atau mendeskripsikan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar ornamen berdasarkan persepsi idera visual.

B. Budaya Rupa Gambar: Suatu Kerangka Pengertian

Dalam pengertian Indonesia, kata rupa berarti keadaan yang tampak di luar atau wujud yang kelihatan, dan umumnya merupakan persamaan dari sesuatu yang mungkin tidak dapat dirupakan. Begitu juga dalam Webster New Collegiate Dictionary, istilah rupa (visual) didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan penglihatan, kesan yang diperoleh lewat penglihatan, sesuatu yang menghasilkan citra mental (mental image), yaitu gambaran yang tampil pada pikiran seseorang ketika melihat sesuatu. Istilah rupa dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari relasi sesuatu yang dapat dilihat (seen) dengan sesuatu yang melihat (seeing). Sesuatu yang dilihat dapat berupa gambar, arsitektur, patung, atau foto. Meskipun istilah rupa sebagai pencitraan mempunyai pengertian beragam dan bahkan bertentangan 6, namun selalu merujuk ke masa lalu.

Dalam kebudayaan, sesuatu yang bersifat rupa biasanya diorganisir lewat apa yang disebut sebagai “bahasa rupa” (visual language), yaitu bahasa khusus yang di dalamnya digunakan unsur-unsur rupa (garis, bentuk, warna, gerak dan ruang), yang dikombinasikan dengan cara tertentu sesuai dengan kesepakatan sosial, sehingga dipahami maksudnya oleh komunitas bahasa. Di dalam bahasa verbal, kode adalah cara kombinasi tanda-tanda menggunakan gramar atau sintak. Di dalam bahasa rupa dikenal juga gramar rupa (visual grammar), dengan menganalogikan unsur rupa sebagai kata-kata dalam bahasa verbal. Hanya, kata-kata dalam bahasa rupa lebih elastis dan mempunyai banyak bentuk.

Bahasa rupa adalah bahasa manusia yang paling tua dibandingkan dengan bahasa verbal, sebab melihat sesuatu yang bersifat rupa telah ada sebelum lahir kata-kata. Ketuaan bahasa rupa diperlihatkan dengan jelas oleh manusia prasejarah sebagaimana pendapat Claire Holt, bahwa garis-garis yang mengayun pada dinding gua, bagaikan kata-kata yang disusun dalam satu hubungan tematik yang jelas 7. Begitu pun pendapat Primadi Tabrani, bahwa gambar yang dibuat pada permukaan cadas muncul mendahului bahasa tulisan dan merupakan bahasa rupa tertentu, dan yang menarik lagi adalah, bahwa gambar cadas tersebut merupakan sebuah “media komunikasi” untuk menyampaikan pesan tertentu bukan karya seni murni yang bertujuan estetika 8.

Budaya rupa (visual culture) berkaitan dengan penciptaan dan penggunaan segala sesuatu yang bersifat rupa lewat bahasa rupa. Istilah bahasa rupa dalam pengertian akademis digunakan untuk menjelaskan gambar atau bentuk 9. Akan tetapi, dalam pengertian luas didefinisikan sebagai “benda budaya yang menampakkan rupanya merupakan sifat penting keberadaan dan tujuannya”10. Alam juga mempunyai unsur rupa (garis, bentuk, warna, tekstur, dan ruang) akan tetapi alam tidak merupakan bagian dari bahasa rupa, karena bahasa rupa merupakan karya khas manusia. Meskipun demikian, alam (flora, fauna, dan benda-benda langit) menjadi sumber utama bahasa rupa tersebut, sebagai cara manusia mengkulturkan alam. Ketika etnis Toraja menggambar sesuatu dari alam (tumbuhan, binatang atau organ tubuh) ke dalam wujud budaya rupa, mereka telah membudayakan alam atau tepatnya menjadikan alam sebagai obyek budaya rupa.

Dalam budaya rupa, dengan demikian tampak sekali campur tangan manusia dalam menciptakan sesuatu yang bersifat visual, menandingi sifat-sifat visual alam. Oleh sebab itu, „teknologi perupaan‟ (visual technology) mempunyai peran penting dalam perkembangan budaya rupa tersebut. Di dalam budaya rupa pra-modern yang mempunyai teknologi perupaan yang masih sederhana dikenal teknik-teknik toreh, pahat, ukir dan bakar. Sementara, dalam apa yang disebut sebagai „budaya rupa modern‟ (modern visual culture), budaya rupa lebih kerap dikaitkan dengan media yang mempunyai teknologi tinggi seperti fotografi, video, komputer dan internet.

Penggunaan elemen-elemen rupa sebagai tanda di dalam masyarakat yang sederhana maupun yang modern, dalam rangka menyampaikan sebuah informasi atau pesan (message) tertentu merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari budaya rupa. Tanda rupa (visual sign) digunakan untuk berkomunikasi dan tanda-tanda itu berkaitan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dipersepsi. Sebuah tanda, sebelum berubah menjadi hal lain dalam satuan bentuk gambar merupakan obyek yang ditangkap oleh indra penglihatan yang menunjukkan sebuah nilai 11. Suara, bau dan rasa juga termasuk tanda yang memiliki nilai dengan sifat-sifat materialnya masing-masing, akan tetapi dalam menganalisis rupa gambar diperlukan sekurangnya lima variable yang ekuivalen dengan seperangkat dimensi yang masing-masing menunjukkan suatu nilai berdasarkan sifat materialnya.

Pertama, warna. Warna merupakan tanda rupa, oleh karena warna itu sendiri sudah mengandung nilai tertentu yang disepakati secara sosial di dalam suatu komunitas bahasa. Merah misalnya menandakan kegairahan, bahaya, dan panas; hijau menandakan kesegaran, sifat alamiah, dan pertumbuhan; kuning menandakan keagungan atau kebangsawanan; putih menandakan kesucian sedang hitam menandakan kedukaan dan kegelapan.

Kedua, garis. Garis memiliki bentuk dan karakter tersendiri yang dapat digunakan sebagai penunjuk sesuatu hal. Garis lurus vertikal merujuk kepada kekuatan yang bergerak ke atas ketika mata kita tergerak untuk melihat dari bawah ke atas. Garis horizontal yang terletak mendatar sejajar dengan cakrawala (horizon) menunjuk kepada ketenangan. Garis diagonal menunjuk kepada peralihan tidak seimbang, oleh karena itu selalu berkaitan dengan pengertian sesuatu yang berbahaya jika dikaitkan dengan manusia.

Ketiga, bentuk. Bentuk mempunyai peran penting dalam menghasilkan nilai, karena ada kode-kode yang mengatur nilai bentuk tertentu di dalam masyarakat. Gambar yang menggunakan bentuk bunga pada sebuah media mempunyai konotasi dengan konsep-konsep seperti cinta, atau sayang; sementara bentuk masjid dan ketupat pada kartu lebaran mempunyai konotasi lain seperti keagungan, kesucian, ketuhanan atau lahir batin.

Keempat, ukuran. Ukuran merupakan elemen visual yang penting dalam menghasilkan arti sebuah tanda. Stupa di puncak candi Borobudur yang berukuran besar bisa menandakan kekuasaan, kebesaran, dan ketinggian. Begitu pun perubahan ukuran pakaian akan menciptakan arti berbeda. Ukuran dalam budaya rupa pra-modern menjadi penting karena sangat menentukan pesan yang disampaikan. Seekor ayam yang digambarkan dengan ukuran lebih besar dari kerbau karena ayam dianggap lebih penting.

Kelima, keruangan. Elemen ruang mempunyai pengaruh yang besar dalam penciptaan nilai. Ruang kosong dan penuh, jauh dan dekat, lapang dan sesak merupakan kualitas-kualitas tanda yang mampu menawarkan nilai berbeda. Ruang dalam memang tidak terlihat, tetapi bisa menjadi nyata dengan keberadaan elemen lain pada permukaannya yang membatasi dan menegaskannya. Ketakutan akan kekosongan (horror vacui) merupakan manifestasi dari nilai yang tercipta dari ruang sebagai tanda 12. Gerak dan gesture merupakan unsur lain tanda visual yang juga dapat menghasilkan makna yang berbeda-beda 13.

Kombinasi tanda yang diorganisir dengan komposisi tertentu membentuk kalimat bermakna, yang pada akhirnya membentuk „teks‟ (text). Teks dalam pengertian linguistik didefininiskan sebagai wacana dalam bentuk tulisan 14, sementara wacana itu sendiri dapat diartikan sebagai realisasi penggunaan bahasa. Sebuah passuraq, iklan, dan arsitektur adalah sebuah wacana yang berwujud teks, yang dalam arti sempit adalah wujud tulisan dan dalam arti luas, teks dapat didefinisikan sebagai kombinasi tanda-tanda. Segala sesuatu yang terdiri dari kombinasi dua atau beberapa tanda adalah sebuah teks. Sebuah kombinasi kata-kata akan membentuk „teks verbal‟ (verbal text), begitu juga kombinasi elemen-elemen dalam fashion akan membentuk „teks fashion‟ (fashion text), sementara kombinasi elemen-elemen dalam gambar akan membentuk „teks gambar‟ (painting text) 15.

C. Gambar Passuraq Sebagai Sumber Sejarah

Etnis Toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tidak mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal, oleh karena itu secara metodologis ada tantangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu Toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk manuskrif. Bagi mereka yang “ekslusivisme” dengan mudah dapat menggunakan prinsip “tidak ada dokumen tertulis tidak ada sejarah”, akibat prinsip itu lenyaplah masa lalu Toraja yang unik bersamaan dengan menjauhnya para sejarawan.

Meskipun tidak meninggalkan dokumen tertulis, tidak berarti bahwa etnis Toraja tidak menyimpan aktualitas masa lalunya. Selain penuturan lisan, gambar-gambar passuraq yang terdapat pada bangunan adat Tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yang terseleksi atau tepatnya aktualitas yang terdokumentasi dengan baik berdasarkan hasil konvensi masyarakatnya. Kesemuanya dimaksudkan sebagai sumber sejarah yang memberi informasi, pesan, dan ungkapan masa lalu. Etnis Toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passuraq, yang bisa disamakan artinya dengan gedung arsip, penuh dengan teks gambar yang berderet panjang dan penuh arti.

Passuraq, berasal dari akar kata suraq sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran. Dalam pengertian tersebut, passuraq memiliki kapasitas pictographic karena tema dan gagasan referensialnya direpresentasikan dalam bentuk gambaran ideografik, dan dengan demikian juga identik dengan historiografi sebagai pelukisan sejarah. Gambaran dalam passuraq dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Toraja masa lalu. Tema dan gagasan referensialnya pun tidak selalu dalam bentuk nyata, namun juga yang abstrak dalam bentuk geometris.

Menarik dan penting untuk ditelaah bahwa artikulasi passuraq ternyata identik dengan tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis 16. Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.

Kebiasaan tradisional etnis Toraja untuk tetap menggambar (passuraq) sama seperti bentuk aslinya (einmalig), telah berlangsung cukup lama. Patut diduga, bahwa tradisi itu muncul bersamaan waktunya dengan berkembangnya kepercayaan leluhur mereka yaitu Aluk Todolo. Dikatakan demikian karena ajaran agama leluhur menetapkan, bahwa setiap langkah upacara kematian selalu diikuti dengan peletakan motif passuraq tertentu pada bidang dinding yang tertentu. Dengan berakhirnya semua langkah upacara kematian maka seluruh bidang luar bangunan adat Tongkonan telah tertutup sejumlah passuraq, membentuk suatu komposisi yang teratur. Itu sebabnya mengapa Tongkonan sering dinamakan rumah kehidupan dan rumah kematian yang maksudnya tempat mayat disemayamkan untuk sementara waktu dan tempat berkumpul keluarga untuk bersama-sama melaksanakan upacara kematian.

Terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan 17 yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. Berdasarkan hasil penelitian terakhir, dari jumlah itu ada yang tidak dapat diketemukan lagi 18. Meskipun demikian, etnis Toraja tetap mengklasifikasi gambar passuraq ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.

Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja.
Kedua dinamakan Passuraq Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga sampai kakek nenek.
Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.

D. Mengungkap masa lampau melalui Gambar Passuraq

Bagaimana sebuah teks gambar passuraq yang berasal dari tradisi masa lalu dapat dibaca dan dipahami maksud yang tersimpan dibaliknya, sangat dipengaruhi oleh cara berpikir orang yang membacanya, khususnya cara berpikir seni rupa 19. Dengan mengikuti cara berpikir seni rupa, akan diungkapkan empat bidang kehidupan masa lampau etnis Toraja melalui beberapa motif gambar passuraq, dimulai dari penggambaran mengenai wilayah orang Toraja, sistem kepercayaan dalam agama leluhur, dan larangan-larangan yang bersifat adat.

1. Wilayah Toraja

Etnis Toraja menamakan gambar di samping Pakbarre Allo, artinya menyerupai matahari. Subyek gambar adalah empat garis lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis berdiameter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel. Lingkaran kedua berwarna putih dan lingkaran ketiga berwarna merah tebal dengan garis-garis lengkung berwarna kuning. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dengan bentuk segitiga berwarna merah pada titik fokus. Batas keempat lingkaran itu adalah ruang berwarna hitam juga membentuk lingkaran. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara horizontal, vertikal dan diagonal.

Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan merah sebagai subyek utama bermaksud untuk menonjolkan empat bentuk lingkaran, menyampaikan arti dan sekaligus mengkontraskan dengan latar belakang yang berwarna hitam. Motif gambar memperlihatkan garis yang memutar mengikuti siklus lingkaran yang tidak memiliki batas awal dan akhir. Perputaran itu menyatakan adanya pergerakan yang tanpa henti dan akan menciptakan bentuk ruang yang berisi penuh. Dengan demikian garis lingkaran sebenarnya lebih bersifat membentuk kesan ruang dan kesepakatan.

Berdasarkan kesan ruang, aspek konsep gambar mengacu pada pembagian wilayah.

Lingkaran pertama adalah wilayah adat Lembang, berdaulat dan dipimpin oleh
Ambek Lembang. Warna yang digunakan adalah merah darah yaitu warna leluhur mereka di utara.
Lingkaran kedua berwarna putih tulang yaitu warna keturunan dan diinamakan wilayah Buah (kandungan) dipimpin oleh Ambe Bua.
Lingkaran ketiga adalah wilayah federasi atau gabungan yang dinamakan Penanian. Federasi dirupakan dengan garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi dikoordinir oleh seorang anggota adat yang bergelar To Parengngek.
Lingkaran terdalam dinamakan wilayah tiku padang (seperempat bagian) dirupakan dengan bangun segitiga, bertugas membantu To Parengngek dengan gelar Patalo. Empat wilayah tiku padang yang menyatu dapat bergabung ke dalam wilayah penanian.

2. Sistem Kepercayaan

Gambar di samping dinamakan Paktedong Paktikek yang bisa diartikan sebagai kendaraan arwah. Subyek gambar mempresentasikan tema dunia binatang dengan penggabungan tiga badan. Simbol kerbau dapat dikenali melalui tanduknya, babi melalui taringnya, dan kambing melalui daun telinga 20.

Subyek digambar secara stilisasi dengan menggunakan warna hitam. Untuk memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga terwujud sosok hewan yang memiliki raut seperti silhouette berwarna hitam yang keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak mata untuk semakin memperjelas keangkerannya. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris vertikal.

Ditinjau dari aspek rupa, gabungan tiga bentuk badan binatang telah melalui suatu proses distorsi dan deformasi sehingga menghasilkan gambar abstrak berkesan magis religius. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata, memperjelas bahwa binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek menggunakan warna hitam sebagai warna kegelapan dan kematian, sangat kontras dengan warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian.

Berdasarkan kesan magis religius yang ditampilkan melalui bentuk-bentuk yang abstrak serta penggunaan warna hitam yang dominan, maka aspek konsep obyek mengacu pada ide akan hewan persembahan yang berfungsi sebagai kendaraan arwah dan terlihat menyerupai Totem. Totem pada etnis tertentu diartikan sebagai patung atau gambar ukiran menyerupai binatang aneh dan sebagai lambang suku primitif, Totem dapat menurunkan garis keturunan kepada manusia dan dengan demikian Totem dianggap sebagai nenek moyang.


Cita-cita utama bagi penganut agama leluhur adalah bersatu dengan arwah nenek moyang pertama yaitu Puang Matua di negeri puya, dan untuk mencapai negeri itu diperlukan kendaraan arwah. Gambar Pattedong Pattikek mengambil peran sebagai kendaraan arwah untuk bertemu dan bersatu dengan arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Dalam rangka proses mobilisasi arwah, maka segenap keturunannya perlu mengorbankan sebanyak mungkin kerbau, babi dan ayam sebagai kendaraan dan bekal perjalanan agar dapat merubah status arwah dari Tobombo (gentayangan) menjadi Tomebalipuang (menyatu).


3. Larangan Poliandri

Gambar disamping Pakkapuk Baka artinya menyerupai simpul mati sebuah penutup wadah, mengetengahkan tema kemanusiaan. Sebagai simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu yang tabu dan sangat di rahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih, dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan noktah-noktah yang menyebar; warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung, bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim pada bagian tengah di empat tepi panel. Warna hitam digunakan sebagai warna latar. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yang simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.

Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih (pria) dan merah (wanita) bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dengan warna hitam sebagai warna latar. Dalam lingkaran warna putih terlihat bentuk yang menyerupai vagina, sedang di tengah lingkaran merah terdapat bentuk zakar. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun, fokus pandang terletak pada garis silang yang ada di bagian tengah bidang gambar.

Berdasarkan kesan pornografi yang ditampilkan, maka aspek persepsi konsep gambar mengacu kepada sesuatu larangan dalam kehidupan masyarakat Toraja. Larangan sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Adapun bentuk larangan divisualisasikan dalam bentuk teknik jalinan lingkaran putih. Lingkaran putih yang melingkupi vagina menjalin dua lingkaran merah yang melingkupi zakar, memberi informasi bahwa seorang wanita Toraja tidak dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki atau poliandri.


4. Larangan Berzinah

Bentuk larangan yang terdapat pada gambar pakdaun peria yang artinya sepahit daun peria. Larangan itu sebagaimana terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yang tersilang tepat di tengah bidang panel. Kuncup bunga dari daun peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan keluarga, namun kesucian itu akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke dalam lingkaran dunia hitam yang gelap. Tidak hanya terhadap gadis remaja, wanita pada umumnya yang divisualisasikan dengan bentuk vagina akan mengalami hal yang sama bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal yang demikian perlu ditekankan oleh karena simbol vagina pada dasarnya adalah keinginan laki-laki yang setiap saat ingin menikmatinya.

Meskipun membaca teks gambar cukup penting tetapi hal yang lebih utama adalah menulis dan disinilah keahlian sejarawan berimajinasi dan merekonstruksi. Dalam berimajinasi, H. White telah membuka jalan untuk menafsirkan teks masa silam dengan metode “pengalihan sejajar” 21. Sesuatu yang ideografi dialihkan menjadi historiografi, dari teks gambar menjadi teks tertulis. Sikap berpikir ilmiah seperti ini menghadirkan masa lalu bagaikan tanaman merambat (rhizome) yang bergerak membiak ke samping secara horizontal, berdampingan dengan pertumbuhan pohon keluarga yang vertikal mencari kebenaran akhir.

Penutup

Sumber sejarah masa lalu dalam bentuk budaya rupa gambar niscaya mempunyai relasi kesamaan dengan sumber sejarah tertulis oleh karena secara historis keduanya merupakan produk dari realitas obyektif yang selalu dibaca. Banyak realitas sejarah tertulis yang luput, hilang dan bahkan sengaja dihilangkan dalam penulisan sejarah tetapi masih dapat diruntut melalui peninggalan budaya rupa.

Penggunaan budaya rupa dalam penelitian dan penulisan sejarah akan mendekatkan hubungan antara disiplin ilmu sejarah dengan bidang ilmu yang memusatkan perhatian pada obyek budaya material seperti, arkeologi, arsitektur, seni rupa dan desain. Jika lembaga Peradilan memerlukan alat bukti material untuk merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi, maka sejarawan juga memerlukan hal yang sama selain dokumen tertulis.

Bisa terjadi muncul pandangan yang berbeda dalam menghadirkan masa lalu oleh karena perbedaan sumber yang digunakan (lisan, arsip, gambar). Akan tetapi perbedaan tersebut sesungguhnya tidak perlu saling meniadakan. Semuanya perlu hidup secara bersamaan di masa kini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing serta segala kepentingan yang ada dibaliknya. Cara menggungkap masa lampau melalui budaya rupa gambar yang disampaikan dalam makalah ini hanya bertujuan untuk pengkayaan yaitu dalam rangka meningkatkan produktivitas penulisan sejarah Indonesia.

Fote Note :

1 Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah IX, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hotel Sahid, Jakarta: 5-8 Juli 2011.
2
Staf pengajar pada Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra/Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar.

3
Inner logic atau logika inheren adalah cara berpikir internal dalam disiplin ilmu sejarah di Indonesia yang membuat babakan waktu. Jaman prasejarah dianggap sebagai masa ketika belum ditemukan tulisan sehingga yang “bukan tulisan” menjadi luput dari perhatian sejarawan kontemporer.

4
Lihat Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Ombak, 2005; Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.

5
Bagaimana cara seorang sejarawan menginterpretasi peninggalan budaya rupa khususnya gambar-gambar seni masa lalu, dapat diketahui melalui karya Rudolf Arnheim, Art and Visual Perception, London : University of California Press,1984.

6
Winfried Noth, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990, hlm.446.

7
Claire Holt, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1967, hlm.6

8
Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat (ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok: Lembaga Penelitian UI, 1999, hlm.230

9
Lihat Charles Jencks, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy Editions, 1978, hlm. 39-80.

10
Chris Jenks, Visual Cuture, Routledge London : 1995, hlm.16

11
Goran Sonesson, “Pictorial Semiotics,” “The Internet Semiotics Encyclopaedia, http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.

12
Lihat Edward T. Hall, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.

13
Lihat Arthur Asa Berger, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics, London : Logman, 1984, hlm. 33-37

14
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University Press, 1981, hlm. 145.

15
Lihat Paul Ricoeur , Interpretation Theory : Discourse and the Surplus of Meaning, Texas : Christian University Press, 1976, hlm 9

16
Dalam rekonstruksi sejarah, sejarawan menggunakan fakta (icon) dan imajinasi (plastis). Bandingkan dengan Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. 18-19

17
Motif gambar yang dimaksud adalah hasil karya, Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1960, hlm. 5-82; Sumber lain yang juga menampilkan 70 gambar motif ornamen adalah karya J.S. Sande, Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.

18
Lihat Anwar Thosibo, Mengungkap Makna Ornamen Pasuraq pada Arsitektur Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual, Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.

19
Lihat Yasraf Amir Piliang, Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa Depan. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.

20
Pada mulanya, kambing adalah hewan persembahan dalam ajaran agama leluhur akan tetapi karena alasan bahwa hewan ini selalu mengeluarkan suara mbek sama seperti salah satu gelar penguasa adat bagian timur Toraja yaitu ambek, ditambah dengan pengaruh

ajaran agama Kristen yang datang kemudian lalu mengidentikkan kambing sebagai hewan kurban dalam agama Islam, maka sebagai penggantinya adalah ayam sebagai hewan persembahan.
21
Lihat Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah, diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987, hlm.186-190.


DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987.
Anwar Thosibo, “Mengungkap Makna Ornamen Gambar Passuraq pada Arsitektur
Vernakular Tongkonan Melalui Persepsi Indra Visual. Bandung : Disertasi Fak. Pasca Sarjana ITB, 2005.
Arnheim, Rudolf, Art and Visual Perception, London : University of California
Press, 1984.
Bambang Purwanto, Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta:Ombak, 2005.

----------------, Gagalnya Historiografi Indonesiasetris. Yogyakarta : Ombak, 2006.

Berger, Arthur Asa, Signs in Contemporary Culture: An Introduction to Semiotics,
London : Logman, 1984.
Hall, Edward T, The Hidden Dimension, Anchor Books, 1969.

Holt, Claire, Art in Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press,1967.

Jencks, Chris, Visual Cuture, Routledge London : 1995.

Jencks, Charles, The language of Post-Modern Architectur. London: Academy
Editions, 1978.
Kornelius Kadang, Ukiran Rumah Toraja, Jakarta: Balai Pustaka,1960.

Noth, Winfried, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, 1990.

Primadi Tabrani, “Membaca Gambar Cadas Pra-sejarah”, dalam Rahayu Hidayat
(ed.) Cerlang Budaya: Gelar Karya Untuk Edi Sedyawati. Depok : Lembaga Penelitian UI, 1999.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge University
Press, 1981.
----------------, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, Texas :
Christian University Press, 1976.
Sande, J.S., Toraja in Carving, Ujung Pandang, Tanpa Penerbit, 1989.

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan lmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1992.
Sonesson, Goran “Pictorial Semiotics,” The Internet Semiotics Encyclopaedia,
http://www.arthist.lu.se/kultsem/encyclo/pictorial-semiotics.html.
Yasraf Amir Piliang, “Budaya Rupa: Membaca Masa Lalu Untuk Menulis Masa
Depan”. Bandung: Makalah Forum Studi Kebudayaan, 2002.

BIODATA

Nama Lengkap : Dr. Anwar Thosibo, M.Hum.
Tempat /tanggal lahir : Makassar, 26 Nopember 1957.
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unhas.
Alamat : Perumahan Dosen UnHas Tamalanrea Blok O/13. Makassar 90245, Telp. (0411) 585723, 081282701957
Pendidikan : 1. Sarjana Muda : Arkeologi, UNHAS – Makassar, 1981
2. Sarjana : Ilmu Sejarah, UGM – Yogyakarta,1984
3. Magister : Ilmu Humaniora, UGM – Yogyakara, 1993
4. Doktor : Ilmu Seni Rupa dan Desain ITB-Bandung2005



Sumber Tulisan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata , Konferensi Nasional Sejarah IX , Hotel Bidakara Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.
Baca Selanjutnya - * MENGUNGKAP MASA LAMPAU TORAJA MELALUI SENI UKIR ORNAMEN PASSURAK SEBAGAI SUMBER SEJARAH