Tidak jarang ungkapan-ungkapan Galigo hanya dipakai sebagai Jargon Politikus menjelang Pilkada, hal ini juga turut melunturkan makna dari Galigo itu sendiri, yang dikenal santun dan estetik dalam pemilihan kata dan kalimat.
Secara kasat mata Galigo mirip dengan Pantun atau Gurindam. Galigo terdiri dari 3 baris kalimat. Masing-masing baris memiliki pola 8-7-6 yakni
8 Suku Kata pada baris Pertama
7 Suku Kata pada baris Kedua
6 Suku Kata pada baris Ketiga
Dalam beberapa kasus dapat pula ditemui pola 8-7-7 atau 8-6-6. Dalam khasanah Huruf/Aksara Bugis yang disebut aksara Lontara, (1 )huruf lontara melambangkan satu (1) suku kata. Perhatikan contoh berikut
Resopa Na Temmangingngi = 8 suku kata/huruf lontara
Malomo Na Letei = 7 suku kata/huruf lontara
Pammase Dewata = 6 suku kata/huruf lontara
Selain Kaidah diatas, Galigo Bugis masih memiliki kaidah sebagai berikut.
1. Galigo selalu memakai bahasa Bugis Kuno (Klasik).
Contoh : "KESSI PUTE" (Pasir Putih) yang memiliki bahasa Klasik "BONE"
2. Galigo cenderung memakai kata kiasan atau kata yang bermakna berlapis.
Contoh : Toddangna Rumpia (6 Suku kata), ini sebuah ungkapan yang menunjukka satu daerah didekat (dibawah) kampung Rumpia (kampung di daerah Majauleng -Wajo), Nah kampung yang dimaksud adalah Kampung Paria (Ibukota kecamatan Majauleng sekarang). Kata PARIA dalam bahasa Bugis adalah nama Sayuran yang rasanya Pahit. Disinlah letak "LUAR BIASA"-nya GALIGO. Ia mampu mengungkapkan kata PAHIT dalam lipatan kata bermakna penuh estetika
3. Galigo seringkali juga memakai lema/kosa kata ber-sinonim.
Contoh :
Dewata --> Puang Sewwa --> Puang Allahu Taala --> Dewata SeewwaE --> Ommporeng TemmaggangkaE, dll
Kuttu (Malas) --> Kelu --> Mallempong Tedong --> Manu Magereng, dll
Picture adopted from Bugis Manuscript Collection, Asian Division
Post Adopted From Suryaddin Laoddang Post Comments
On Sempugi Group Facebook Community
0 komentar:
Post a Comment