Tata Cara Upacara Khitanan Adat
Oleh : M. Farid W Makkulau
Oleh : M. Farid W Makkulau
Salah satu bentuk sosialisasi yang masih dikenal oleh masyarakat hukum adat adalah upacara adat (custom ceremony). Fungsi upacara adat adalah untuk mengukuhkan norma – norma dan nilai – nilai budaya. Secara umum, upacara – upacara adat / ritual tradisi rumpun budaya masyarakat yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan menunjukkan mentalitas religius – magis, yang diungkapkan secara kolektif melalui upacara – upacara. Upacara adat ini mempererat rasa “masseddi siri” (kebersamaan) dan “abbulo sibatang” (persatuan) masyarakat yang mendukungnya.
Beberapa upacara adat atau tradisi masyarakat Sulawesi Selatan yang berhubungan dengan peristiwa perubahan atau peralihan siklus hidup, diantaranya adalah peristiwa peralihan dari rahim ibu ke dunia dalam upacara alahere (kelahiran), peristiwa pengalihan dari anak-anak menjadi dewasa dalam upacara ‘aqiqah, appatamma dan appasunna / khitanan adat (pengislaman), peristiwa pengalihan dari masa lajang ke masa memiliki tanggung jawab keluarga, appabunting/perkawinan, peristiwa peralihan dari dunia ke dunia baka dalam upacara amateang (kematian). Peristiwa peralihan dari keadaan terbebani karena janji keadaan terlepas dalam upacara pelepas nazar, appalappasa nazara.
***
Sunatan atau biasa juga disebut “Khitanan” mempunyai arti yang sangat mendasar dalam agama Islam yaitu cara pengislaman dengan membuang kulit yang membungkus kepala kemaluan, ketentuan ini berlaku bagi orang islam baik laki – laki maupun wanita terutama bagi laki – laki karena kemaluan dianggap mengandung najis yang berlaku sejak Nabi terdahulu (Ensiklopedi Indonesia, Jilid III).
Upacara Appasunna (Khitanan Adat) dikenal dua versi (H Djamaluddin Hatibu dkk, 1992) dikenal dua versi, yaitu :
Versi Pertama, dengan urutan sebagai berikut :
(1) Menre Baruga ;
(2) Mammata – mata ;
(3) Allekke Je’ne ;
(4) Appassili ;
(5) Nipasintinggi Bulaeng dan Nipasalingi ;
(6) Appamatta ; dan
(7) Khitanan (Nisunna).
Pada Upacara Khitanan Adat versi pertama, acara “mammata – mata” ditempatkan pada urutan kedua karena sesudah acara menre baruga dapat sekaligus dilangsungkan acara mammata – mata mengingat pada acara menre baruga, anak yang akan disunat bersama orang tua dan keluarganya telah duduk di lamming (pelaminan) dalam baruga, dan pada acara ini pula ditampilkan acara kesenian meski pelaksanaannya dilakukan pada siang hari.
Pada versi kedua, acara “mammata-mata” ditempatkan pada urutan keenam dan dilaksanakan pada malam hari dengan dirangkaikan malam ramah tamah. Lengkapnya versi kedua dengan urutan acara sebagai berikut :
(1) Menre Baruga ;
(2) Allekke Je’ne ;
(3) Appassili ;
(4) Nipasitinggi Bulaeng dan Nipasalingi ;
(5) Appamatta ;
(6) Mammata – mata/Ramah Tamah ; dan
(7) Khitanan.
Menurut H Djamaluddin Hatibu, pada dasarnya kedua versi ini sama baiknya, tergantung dari orang yang melaksanakannya saja (H Djamaluddin Hatibu dkk, 1992).
I. Menre Baruga
Menre Baruga merupakan upacara awal penggunaan baruga sebagai pusat kegiatan upacara. Sebuah baruga berbentuk segi empat / belah ketupat yang memiliki arti tersendiri yaitu Tunggal atau Esa diibaratkan dalam bahasa Arab huruf SA ( ) atau SeuWa. Baruga dilengkapi dengan sebuah lamming (pelaminan), tangga atau sapana yang dihubungkan dengan kain putih (Taluttu) diartikan sebagai simbol ketulusan sedangkan bagian atas terdapat kain penutup langit – langit baru (timbawo).
Pelaksana Upacara Menre Baruga :
1. 2 Orang pembawa tombak ;
2. 1 orang pembawa payung (teddung) ;
3. 4 orang pembawa lellu ;
4. 2 orang pengapit ;
5. 3 orang pembawa kelengkapan (ammiccung, cerek dan apu) ;
6. 3 orang pembawa kipas panjang (tepa – tepa) ;
7. 3 orang pembawa oje ;
8. 1 orang Indo Pasusu ;
9. 2 orang pembawa lae – lae ;
10. 1 orang sanro ;
11. 14 orang dara berpakaian baju bodo ;
12. Seperangkat gendang adat.
Jalannya Upacara :
Anak yang akan disunat berpakaian pagadu (tidak memakai baju, hanya sarung putih dan songkok putih berada diatas bembengan dengan diantar oleh kedua orang tuanya dan seorang pinati. Sebelum memasuki baruga terlebih dahulu anak yang akan disunat beserta kedua orang tuanya, keluarga, kerabat serta rombongan menre baruga mengelilingi terlebih dahulu baruga sebanyak tiga kali.
Setelah itu baru bisa memasuki baruga melalui sapana (tangga) yang diatasnya terdapat hamparan taluttu (kain putih) pertanda penghormatan, kemudian si anak dijemput dengan hamburan benno, bente (bertih) menuju lamming, dibawah lellu yang sisi tiangnya dipegang oleh empat anak berpakaian pagadu.
Tangan si anak harus selalu memegang pattekko (alat tenun) mulai dari rumah kediaman menuju ke baruga. Acara dapat dilanjutkan dengan “mangngaru” diiringi “tunrung pakanjara”. Selesai itu diakhiri dengan akkaddo, jamuan kue-kue tradisional.
Selama acara menre baruga berlangsung diiringi dengan gendang adat (gandrang) yang kemudian dilanjutkan dengan acara allekka je’ne atau mallekke wae.
II. Allekka Je’ne (Mallekke Wae)
Allekka Je’ne (Mallekke Wae) yaitu upacara pengambilan air pada sebuah sumur tertentu (sumur bertuah) untuk dimandikan kepada anak yang akan disunat.
Sumur tertentu disini adalah sebuah sumur bertuah yaitu suatu sumur yang dianggap oleh masyarakat sebagai sumur yang telah tua umurnya dan membawah berkah bagi orang – orang yang mengambil airnya.
Pelaksana Allekka Je’ne :
1. 1 orang membawa poke banrangang berpakaian baju hitam dan berdestar (Appassapu) serta keris ;
2. 2 orang sebagai pengulu jalan (pangngolo) berpakaian jas tutup dan songkok racca (pamiring) untuk pria, sarung sutera serta baju bodo untuk wanita ;
3. 1 orang pembawa bate – bate (bendera) warna kuning dan berpakaian baju kuning, berdestar serta memakai keris ;
4. 1 orang pembawa sulolang berpakaian baju hitam, berdestar dan memakai keris ;
5. 7 orang pembawa ojek dan simpak berpakaian baju bodo ;
6. 1 orang pembawa songkolok berpakaian pagadu ;
7. 4 orang pembawa lellu berpakaian pagadu ;
8. 1 orang amma pasusu berpakaian baju bodo hitam dan sarung putih ;
9. 4 orang pabembeng berpakaian celana baroci, baju serta berdestar.
10. 1 orang pappariwa je’ne berpakaian baju hitam ;
11. 2 orang pembawa lae – lae berpakaian baju bodo ;
12. 1 orang pembawa anak baccing berpakaian baju bodo.
13. 1 orang pembawa kancing berpakaian baju bodo.
Jalannya Upacara :
Iring – iringan rombongan Allekka Je’ne menuju baruga dimana Pappariwa Je’ne berada di atas bembengan untuk menjemput kendi / tempat air yang akan dibawa menuju sumur bertuah, diiringi dengan gendang adat.
Setelah tiba di depan tangga baruga seorang pinati / Allekka Je’ne menaiki tangga untuk menjemput kendi / tempat air dari anak yang akan disunat melalu amma pasusu selanjutnya diteruskan kepada Pappariwa dan kemudian pappariwa diangkat dengan bembengan menuju sumur bertuah bersama rombongan Allekka Je’ne yang lain diiringi ganrang pakanjara.
Sesampai rombongan Allekka Je’ne di sumur bertuah, pinati sebagai kepala rombongan menerima kendi dari Amma Pasusu melalui Pappariwa diiringi tunrung pakanjara, kemudian pinati Allekka Je’ne menyerahkan kendi kepada pinati sumur yaitu orang yang akan menimba air di sumur tersebut dimana sebelumnya mengucapkan mantera – mantera dan memanjatkan doa kepada Allah SWT sambil berniat ”saya mengambil air untuk digunakan dalam appassili, semoga membawa berkah”, kemudian mengisi kendi sampai penuh.
Setelah kendi diisi air, pinati sumur menyerahkan kendi kepada Pinati Allekka Je’ne selanjutnya diteruskan kepada Amma Pasusu, lalu dari Amma Pasusu diteruskan kepada Pappariwa diiringi ”Pakkuru Sumange”, selanjutnya dengan posisi semula bergerak kembali ke rumah tempat upacara.
Catatan :
Sewaktu rombongan Allekka Je’ne menuju sumur bertuah, waktu diisi dengan berbagai atraksi permainan tradisional seperti pencak silat, maddaga dan tarian.
III. Appassili / Mappassili
Appassili / Mappassili adalah upacara pensucian diri lahir dan batin dimaksudkan agar segala kotoran dan hal – hal yang dianggap tidak baik yang terdapat dalam diri dapat dihilangkan. Appassili / Mappassili dapat juga diartikan sebagai pernyataan harapan kepada Tuhan YME agar tetap bahagia dan terhindar dari malapetaka yang mungkin akan menimpanya.
Alat dan Bahan Upacara Appassili :
1. Wajan besar / kuali tanah ;
2. Tikar / jali ;
3. Kelapa tua (bertunas) ;
4. Pattekko (alat tenun) ;
5. Beberapa macam bunga ;
6. Beberapa macam daun – daunan al : daun sirih, daun lai’ – mali’, daun pattene, dan daun cinrolo.
Pelaksana Upacara Appassili :
1. Anak yang dikhitan beserta kedua orang tuanya. Anak berpakaian pagadu yaitu hanya memahkai sarung, songkok gudang serta karawi, sedangkan kedua orang tuanya berpakaian adat ;
2. Satu orang Indo Pasusu berpakaian baju bodo warna putih ;
3. Satu orang sanro (orang tua yang akan memberikan petunjuk jalannya upacara) ;
4. 4 orang anak berpakaian pagadu memegang lellu ;
5. 2 orang pembawa lae – lae berpakaian baju bodo ;
6. 2 orang pembawa poke banra yang berpakaian jas tutup dengan berdestar dan keris ;
7. 1 orang pembawa ana’ baccing berpakaian baju bodo ;
8. 1 orang pembawa kancing berpakaian baju bodo ;
9. 6 orang memakai pakaian pagadu.
Jalannya Upacara :
Setelah air passili tiba dari sumur bertuah, pelaksana Allekka Je’ne tiba di depan pintu rumah upacara, Pappaddiwa menyerahkan kendi kepada amma pasusu diteruskan ke pinati dan kemudian pinati menuangkan ke dalam kuali tanah atau wajan yang dialasi okang / okang yang bermakna siokkong artinya tetap menjalin kebersamaan, sambil mengucapkan harapan ”ana’ lompoki nai nanubalasakki te’ne numanrapi mappalallo. Insya Allah. Amin.
Air yang diambil dari sumur bertuah tersebut bermakna bahwa kelak anak itu akan memiliki kharisma dan keperkasaan menantang kehidupan.
Saat anak tersebut akan dipassili, si anak duduk bersila diatas tikar / jali dibawah lellu sambil memegang pattekko, didampingi oleh sanro , dan disaksikan oleh kedua orang tua beserta keluarga dan kerabat, di depan si anak telah disediakan wajan / kuali tanah yang berisi air dicampur dengan macam – macam bunga seperti bunga kelapa, bunga melati, daun pandan, daun sirih, daun passili, daun cinrolo, daun mali – mali , serta pattene.
Tersedia pula kelapa yang bertunas dialasi okong artinya sang anak diharapkan dapat tumbuh atau cepat tumbuh menjadi dewasa dengan harapan dapat menjadi manusia yang berguna bagi bangsa, negara serta agama, satu gantang beras ( 4 liter), gula merah satu bungkus bermakna bahwa dalam mengarungi kehidupannya kelak akan selalu tenteram dan bahagia, satu pasang, diharapkan si anak akan mendapatkan jodoh yang sesuai.
Selanjutnya si anak mulai dipassili dengan menyiramkan air ke seluruh tubuhnya sambil sanro mengucapkan doa – doa, selama dipassili diiringi dengan pukulan lea – lea dan anak baccing. Makna dari daun – daun yang dipergunakan untuk appasili adalah :
- leko siri : supaya anak kelak mempunyai asa malu / siri’ ;
- leko mali – mali : diharapkan sang anak selalu akrab dengan keluarga ;
- leko pattene : diharapkan si anak kelak menjadi orang terkemuka ;
- leko cinrolo : diharapkan agar si anak kelak menjadi orang terkemuka.
Setelah sang anak selesai dipassili, kemudian pakaian yang dipakai mulai ditanggalkan dengan cara membelakangi sewaktu akan disimpan diatas loyang bermakna semua yang telah terdapat dalam diri tidak ingin dilihat kembali, kemudian si anak digendong ke lamming untuk memakai baju yang tgelah disediakan atau dikenal dengan istilah Nipisalingi untuk anak laki – laki dan Mapasang Waju untuk anak perempuan.
Nipisalingi dilaksanakan oleh sanro, yaitu si anak dipakaikan baju yang terdiri dari baju jas tutup, sarung sutera dan songkok pamiring, Mappasang waju adalah istilah yang dikhususkan untuk anak perempuan dimana sewaktu si anak dipakaikan baju, dimulai dari sanro kemudian dilanjutkan oleh beberapa orang yang dianggap berhasil dan terakhir oleh kedua orang tua anak.
Dalam keadaan baju berlapis – lapis, biasanya sampai 9 lapis di badan, anak digendong ke depan pintu serta diangkat – angkat sampai tiga kali sambil mengucapkan :
”malampe sungekmu, mancaji anak saleh, mancajiko ana’ makkeguna ri bangsa sibawa negaramu, mancajiko marajing sompa ri Allah Taala, ana’ makkeguna ri keluarga, masempo dallemu matanre menre mallongi – longi”.
Setelah itu si anak melepaskan ayam,. Diibaratkan jodoh si anak, maksudnya kalau ayam tersebut larinya keluar berarti jodohnya si anak orang dari jauh, sedangkan kalau ayam kembali masuk ke rumah upacara, berarti jodoh si anak adalah keluarganya sendiri. Kemudian si anak dikembalikan ke lamming, setelah itu baju yang berlapis – lapis dilepaskan, dan yang tinggal hanya pakaian yang akan dikenakan yaitu baju bodo dan sarung sutera, lengkap dengan perhiasannya, sambil duduk kembali dibawah lellu dalam lamming.
IV. Upacara Nipasintinggi Bulaeng
Upacara dimana si anak diukur tingginya dengan benang emas, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut di kepala. Umumnya dilaksanakan karena ada nazar orang tuanya bila anaknya dalam keadaan sehat sejahtera serta telah mengkhatamkan Al-Qur’an maka sang anak akan diukur dengan benar emas. Upacara Nipasintinggi Bulaeng ini merupakan kelanjutan atau dilaksanakan setelah sang anak mengikuti acara Appassili.
Jalannya Upacara :
Si anak berdiri kemudian sanro memegang ujung benang emas (bulaeng), orang tua si anak (ayah atau ibunya meluruskan benang emas mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut di kepala, benang emas kemudian digunting, lalu sisanya digunting – gunting kira – kira 2 cm untuk dibagi – bagikan kepada orang – orang yang berada di sekitar upacara, yang biasanya berebutan untuk mendapatkannya dengan harapan mereka kelak akan seperti orang tua si anak, dan bagi sang anak diharapkan agar tidak egois dan tidak kikir.
V. Appamatta
Appamatta adalah upacara pemaparan gigi, yaitu meratakan gigi si anak dengan harapan agar si anak kelak menjadi manusia yang arif dan bijaksana.
Alat dan Bahan Upacara :
1. Cincin emas milik ibu yang akan dikhitan ;
2. Tiga batang daun pelepah pepaya ;
3. Air dalam mangkuk beralaskan piring putih.
Jalannya Upacara :
Anak yang akan disunat duduk diatas bantal yang telah dilapisi dengan 7 lembar sarung milik orang yang dianggap berhasil dalam kehidupannya dimaksudkan agar si anak dapat pula berhasil dalam kehidupannya kelak, begitu pula setiap tindakan dan langkahnya.
Sarung diatur selapis demi selapis diatas bantal oleh sanro, kemudian si anak ditidurkan diatas bantal tersebut.
Cincin bersama tiga batang pelepah pepaya direndam pada mangkuk putih yang berisi air dengan harapan si anak dalam mengarungi kehidupannya akan selalu cemerlang, secemerlang kilaunya emas yang abadi sepanjang masa.
Selanjutnya si anak digosok giginya oleh sanro dengan cincin emas tersebut sambil membacakan doa – doa yang disaksikan oleh kedua orang tua, keluarga serta kerabat.
VI. Mammata – mata / Ramah Tamah
Mammata – mata adalah suatu rangkaian acara dimana para keluarga dan handai taulan berkumpul untuk mengikuti suatu acara yang dinamakan ”mappacci”. Mappacci dalam bahasa Bugis bila diberi akhiran ”ng” akan berbunyi paccing atau bersih, jadi mappaccing artinya pembersihan.
Mammata – mata merupakan wujud masyarakat Bugis Makassar dalam konsep Abbulo Sibatang atau Masseddi Siri. Namun sebelum acara ini berlangsung terlebih dahulu diadakan acara ”Khatamul Qur’an” yaitu acara penamatan Al-Qur’an bagi si anak dipimpin oleh seorang guru mengaji, disaksikan oleh kedua orang tua, keluarga dan kerabat.
Syarat – syarat Khatamul Qur’an :
1. 12 macam kue – kue tradisional dalam bosara ;
2. Songkolok (beras ketan yang dikukus) bersama lauknya, yang lazim adalah ayam ;
3. Peci hitam, sarung, dan sajadah untuk anak laki – laki, mukenah, sarung, dan sajadah untuk anak perempuan ;
4. Tikar, bantal dan guling.
Selesai si anak Khatamul Qur’an, maka semua syarat – syarat tersebut diantar ke rumah guru mengaji yang telah menamatkan sang anak oleh beberapa orang yang berpakaian adat, hal ini menandakan rasa terima kasih dan penghormatan orang tua si anak kepada guru mengaji si anak.
Setelah acara ini selesai dilanjutkan dengan acara “Barzanji”, yaitu suatu acara dimana beberapa orang laki – laki bergantian membaca riwayat rasulullah Muhammad SAW dan diakhiri dengan doa bersama kepada Allah SWT agar anak yang akan dikhitan mendapat rahmat dan petunjuk mengarungi kehidupannya kelak di kemudian hari. Dalam acara barzanji disediakan beberapa macam kue – kue tradisional dan songkolok (Kaddo minnyak” dan beberapa sisir pisang raja. Selesai acara barzanji dilanjutkan dengan acara mammata – mata.
Diapit oleh kedua orang tua anak di dalam Baruga dibawah pelaminan, si anak duduk sambil menanti acara mammata – mata.
Perlengkapan dalam acara mammata – mata adalah :
1. Daun pacci / pacar yang ditumbuk halus ;
2. Tempat pacci ;
3. Serbet ;
4. Tempat cuci tangan ;
5. Bantal ;
6. Daun pisang untuk alas bantal.
Sebelum acara mammata – mata dimulai, semua alat – alat telah tersedia, untuk lebih melancarkan jalannya upacara. Dimulai dari orang yang dituakan di daerah setempat memberikan daun pacci ke telapak tangan si anak, dimaksudkan agar rezeki yang diperoleh merupakan rezeki yang halalan tayyiban, dan diridhoi Allah SWT, kemudian dilanjutkan oleh keluarga, kerabat dan lain – lain, acara pemberian daun pacci diakhiri oleh kedua orang tua si anak.
Dalam acara mammata – mata disemarakkan oleh berbagai macam kesenian, seperti lagu – lagu daerah, tari – tarian, dan lain sebagainya . Acara ditutup dengan santap malam atau jamuan serta pemberian ucapan selamat.
VII. Assunna / Massunna
Acara Assunna / Massunna adalah merupakan acara inti dari segala acara yang telah disebutkan. Dengan didampingi oleh kedua orang tua anak, dalam keadaan posisi tidur bersandar (nibaeang / nisanre) diatas bantal berlapis daun pisang, yang bermakna kehormatan dan kesinambungan hidup.
Sebelum disunat seorang sanro menuntun si anak mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian seorang laki – laki berpakaian jas tutup, sarung sutera dan songkok pamiring (racca) serta memegang keris tampil untuk “Mangngaru” dengan harapan agar si anak di sunat dengan menggunakan pisau “sembilu” pisau yang terbuat dari bambu diiringi gendang tunrung pakanjara.
VIII. Seputar Masalah Khitan Menurut Syariat Islam
Khitan adalah salah satu sunnah fitrah dan syiar kaum muslimin, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah r.a. dalam Shahih Bukhari – Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Kesucian itu ada lima, khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”. Disini Rasulullah saw memulai sabdanya dengan khitan dan beliau menyatakan bahwa khitan termasuk tradisi – tradisi kesucian (Sunan al-Fitrah).
Adapun khitan yang disyariatkan ialah dengan memotong kulap yang menutupi bagian kepala zakar saja. Adapun berkumpulnya banyak lelaki dan wanita pada hari tertentu untuk menghadiri resepsi khitan, dimana anak yang dikhitan dipertontonkan dalam keadaan terbuka auratnya di depan umum, ini haram. Karena membuka aurat itu dilarang agama. Islam justru memerintahkan menutup aurat dan melarang membukanya. Mengkhitan anak adalah sunnah. Perintah mengenai waktu khitan ini bersifat leluasa dengan tetap memperhatikan kemaslahatan bagi anak itu sendiri. (**)
1 komentar:
khitanan ini sudah menjadi kewajiban bagi umat laki - laki, begitu pula di sulawesi selatan ini
http://www.marketingkita.com/2017/08/Manajemen-Sumber-Daya-Manusia-Dalam-Ilmu-Marketing.html
Post a Comment