Feb 27, 2011

* Mengenal To Boto dalam Kehidupan Bissu

**
Oleh M Farid W Makkulau

Mendengar Kata ‘Bissu’, ingatan setiap orang—di Tanah Bugis Makassar—pasti pada sosok malebbi (anggun) pendeta bugis pra islam pada masa kerajaan masih berlangsung. Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Pangkep, Drs Ahmad, M.Si mengungkapkan bahwa Mereka (Bissu) adalah pelestari tradisi, adat budaya, serta kepercayaan lama yang dianut oleh masyarakat Bugis kuno jauh sebelum pengaruh agama islam masuk. Pada masa keemasan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan, tidak satupun upacara atau sidang yang lengkap tanpa keterlibatan mereka sebab komunitas waria ini (pria yang berpakaian serta bertingkah laku seperti waria) adalah pemelihara benda-benda kebesaran kerajaan dan keagamaan pada masa itu. Mereka juga pelaksana upacara ritual yang beberapa diantaranya hingga saat ini masih dilaksanakan.

Jika banyak orang sudah mengenal dengan baik Bissu dengan seni tari maggirinya yang khas, tidak demikian halnya dengan To Boto, sosok yang dianggap ‘tidak penting’ oleh banyak kalangan, namun cukup menentukan sempurnanya peran yang mesti diembang oleh seorang Bissu. To Boto, dalam pemahaman masyarakat yang bermukim di lingkungan komunitas Bissu adalah pembantu atau asisten Bissu. Tak banyak orang yang memahami fungsi sebenarnya dari To Boto ini, selain sebagai seorang yang membantu menyiapkan segala perlengkapan dan kebutuhan Bissu. Dalam tradisi masa silam, pengertian To Boto yang sebenarnya adalah ‘teman hidup’.

Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa silam, apalagi menyangkut kehidupan seksual dan rumah tangganya. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu terbuka, sementara masyarakat sekitarnya sendiri tidak terlalu campur tangan atau ambil peduli. Bissu sangat tertutup, terutama yang menyangkut kehidupan seksual mereka, begitu pula menyangkut penampilan dan perilakunya, karena terikat spiritualitasnya. Hal ini barangkali cukup aneh kendengarannya, apakah seorang bissu juga memiliki ‘track record’ dalam “hubungan seksual”, sebagaimana halnya waria – waria genit pada masa sekarang, yang banyak mengumbar sisi seksualitas dan sensualitasnya.

Komunitas Bissu sebenarnya memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks. Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu mempunyai teman hidup yang disebut “to boto”, tentu ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. “To boto” atau ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria. Mantan Bissu Eka, pernah mengaku punya To Boto, meski dibantahnya bahwa To Boto adalah kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan. To Boto-nya diakui hanya sebatas seba gai pembantu dan pendamping dalam menunaikan tugas dan peran kebissuannya. Anehnya, dua pekan lalu, saya kembali menyaksikan kehadiran To Boto mendampingi enam Bissu yang hadir dalam suatu seminar Demokrasi Multikulturalisme atas Undangan khusus pihak penyelenggara Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel di Pangkep.

Dalam kesehariannya, seorang To Boto diharuskan datang secara sukarela ke rumah Bissu, membantu melayani segala keperluan dan kebutuhan Bissu, tentunya akan sibuk lagi jika sang Bissu sedang mempersiapkan suatu acara, misalnya terkait Upacara Adat, dan lain sebagainya. Umumnya seorang To Boto juga mempunyai sifat yang lebay, ke-waria-an, dan meski berjanggut, penampilannya tetap semlohai. Sang To Boto ini diperbolehkan melayani Seorang Bissu dalam masa waktu minimal tiga tahun dan selama waktu itu, segala biaya dan keperluan hidupnya ditanggung oleh Sang Bissu. Menurut Mantan Bissu, Eka, Bissu harus melepaskan To Boto jika telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas tanggungan Bissu, karena Bissu dianggap telah menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia tidak bergaul sama perempuan.

Bissu sebenarnya tidak tampil setiap hari, makanya menjadi pertanyaan, peran apa sebenarnya yang dilakukan seorang To Boto sehingga diharuskan “membantu bissu sehari – hari”. Hal ini menjadi tanya tanya, kebutuhan apa yang mesti to-boto-nya harus layani setiap harinya dengan kemestian datang setiap hari selama tiga tahun. Mantan Bissu, Eka menolak untuk berkomentar. To Botonya, yang diketahui bernama Rustam, juga tidak mau menjelaskannya. Dalam khazanah Bugis pra Islam, sebenarnya jika memang seorang Bissu berniat mencari pacar atau teman hidup, sebenarnya hal itu semudah menjentikkan jemari karena diantara ilmu yang mereka kuasai, ada ilmu pemikat seperti cenning rara, semacam ilmu pelet untuk memikat siapa saja, baik lawan maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk berdagang atau merias pengantin agar terlihat malebbi, cantik dan anggun di mata undangan.

Untuk mengendalikan libido, dalam tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu, terdapat ajaran tu-riolo yang disebut “paneddineng parinnyameng”. Artinya “khayalan yang membawa nikmat”, atau kira – kira tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus berhubungan seks, namun melalui proses spiritual. Walau mitos ini sudah lama sekali, tapi masih ada aliran – aliran tertentu dalam masyarakat Bugis yang mempraktekkannya sekarang ini. Sayang sekali, Bissu masa kini sudah tidak ada yang mempelajarinya. (Makkulau, 2008).

Bahan Bacaan : Makkulau, 2008. Manusia Bissu, Pustaka Refleksi : Makassar.
Gambar : To Boto saat mendampingi Bissu dalam suatu Seminar Demokrasi Multikulturalisme di Pangkep (foto by : farid).
Sumber : Kompasiana

0 komentar:

Post a Comment