Apr 14, 2011

* To Wajo

Oleh : M. Farid W Makkulau

Saya pernah ke Wajo, beberapa kali. Mengenal banyak orang Wajo, bahkan pernah bekerja bersama dan dipimpin oleh Orang Wajo. Karena itu, saya cukup mengenal karakter sosial dan budaya To Wajo (Orang Wajo). Dibandingkan dengan etnis bugis lainnya, To Wajo memiliki karakteristik tersendiri yang menonjol, yaitu dalam hal pengelolaan usaha dan kepemilikan harta. Hal ini tercermin dalam ungkapan lama, “Ri werengngi pole ri Dewatae’, alebbireng koi ri Luwu, asogireng koi ri Wajo, Awaraniang koi ri Bone, Awatangeng koi ri Gowa”. (Dianugerahkan oleh Dewata, kemuliaan pada Luwu, kekayaan pada Wajo, keberanian pada Bone dan kekuatan pada Gowa).

Orang Wajo sangat ekonomis dan berjiwa perantau – pengusaha (saudagar). Komitmen mereka dalam dunia usaha didasari oleh prinsip, “massiji warang-parang temma siji balu-balu”. (bersaudara dalam hal kepemilikan harta tetapi tidak dalam hal barang jualan), pola adaptasi sosio – cultural dan strategi ekonomi didasarkan pada konsep “Tallu Cappa” (ujung lidah, ujung badik dan ujung kemaluan) yang berarti kecerdasan, keberanian dan perkawinan) serta azas “silellung sirui” (saling mengejar dan menarik) sebagai modal penting dalam membangun rivalitas konstruktif dalam berusaha.

Kebiasaan merantau (sompe) dan mengadu nasib di negeri orang yang melekat pada orang Wajo sehingga seringkali kita mendapati ungkapan yang mengatakan, “padangkang to Wajo’e” (pedagang orang Wajo) atau “Sugi’to Wajo’e adangkangeng’na napakkapong”. (kaya orang Wajo karena mengutamakan perdagangan atau berdagang). Penggambaran kebiasaan merantau orang Wajo ini, yang sekaligus mengungkap konsep “maradeka” (merdeka) bagi orang Wajo, tertuang dalam Lontaraq Sukku’na Wajo (LSW), sebagai berikut :

“Maradeka To WajoE, najajiang alena maradeka, tanaemi ata’, naia tomakketanae maradeka manengngi, ade assamaturusengnami napopuang”.

(Orang Wajo merdeka, dan terlahir dalam kondisi sudah merdeka, hanya tanahlah yang menjadi abdi, setiap mereka yang hidup diatas tanah Wajo memiliki hak kemerdekaan, dan hanya adat turun temurun yang telah disepakatilah yang dijadikan pertuan).

“Naia riasengnge maradeka, laje’ tenriatteangngi, lao maniang, lao manoran, lao alau, lao orai’. Mangnganga tange’na Wajo nassu’ ajenamato mpawai massu’. Mallaja-laja tange’na Wajo nauttama, ajenamato pattamai.”

(Yang dimaksud merdeka ialah ia bebas pergi kemana ia suka, tidak dilarang ke Selatan, Utara, Timur ataupun Barat. Pintu negeri Wajo terbuka lebar, sehingga mereka bisa meninggalkan Wajo, Mereka juga bebas memasuki Wajo kembali sekehendak kaki mereka. Orang Wajo tidak boleh dipaksa, jika mereka tidak mentaati atau melaksanakan perintah yang tak ada dasar hukumnya).

Banyak sebutan yang disematkan kepada To Wajo, ada yang menyebutnya ”bugis kapitalis”, ”orang cinanya bugis”, ”to sekke”, atau ”pabbalu”, malahan sering pula saya mendengar ungkapan, ”jaga-jagai nabaluk wekkaduako to WajoE” (berjaga dan waspadalah, jangan sampai kamu dijual dua kali oleh orang Wajo). Kesemua sebutan dan ungkapan itu tentunya berdasar pada kepandaian berdagang orang Wajo, meski tidak sepenuhnya benar, sebutan dan ungkapan ini seharusnya mendapatkan pelurusan fakta yang bersumber dari akar sejarah sosial orang Wajo. Hanya sayangnya, tidak semua orang, bahkan banyak diantara kita yang tidak lagi memahami identitas kulturalnya.

Jadi, Bagaimanakah ’Manusia Wajo’ itu sekarang ??? (***)



0 komentar:

Post a Comment