Jan 12, 2010

* TERLALU BUGIS-SENTRIS, KURANG ‘PERANCIS’

Oleh: George Junus Aditjondro

KETIKA James Brooke singgah di Sulawesi Selatan di tahun 1840, orang-orang Bugis tampak menaruh perhatian terhadap isu-isu politik luar negeri, seperti terungkap dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada petualang dari Inggris itu. Mereka antara lain menanyakan nasib Napoleon Bonaparte. Begitu tulis Christian Pelras, peneliti Perancis yang selalu merayakan ulang tahunnya di hari ulang tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus, di halaman 345 buku yang sedang kita bahas sekarang. Sayang sekali Pelras tidak menjelaskan, mengapa orang Bugis menanyakan nasib bekas kaisar Perancis itu. Menurut informan kunci saya di Tana Ugi’, orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate3).
Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.
Sebagai orang yang dibesarkan di Makassar, dan cukup kenyang menjelajah di pelosok-pelosok Tanah Ugi’, saya juga sudah menyerap filsafat hidup orang Bugis, ketika pada tanggal 1 Februari 1995, saya memutuskan untuk massomppe ke Tanah Maregge. Sompe ku bukan untuk mencari teripang dan sirip ikan hiu, seperti nenek moyang orang Bugis, Makassar dan Bajo yang sudah berdagang dengan orang Aborijin di pantai utara Australia, jauh sebelum James Cook menginjakkan kakinya di daratan benua itu, tetapi untuk mempertahankan ketiga kebebasan saya. Masalahnya, sense of humor sang diktator waktu itu, Soeharto, ternyata masih jauh lebih rendah ketimbang sense of humor orang Bugis.
Sang diktator sangat tersinggung ketika dalam ceramah lisan saya di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta di bulan Agustus 1994, saya katakan bahwa rezim Orde Baru pada hakekatnya adalah rezim 4 H: Harto, Habibie, Harmoko, dan Bob Hasan. Disingkat, rezim Ha-Ha-Ha-Ha. Terpaksalah saya tinggalkan Tanah Jawa, meninggalkan sang firaun yang sudah puluhan tahun menindas kaum dhuafa di tanah air kita.
Saya menjadi passompe di Tanah Maregge’, hanya berbekal ujung pertama dari tallucappa’ (tiga ujung) yang merupakan bekal perantau Bugis dan Makassar6. Ujung yang kedua saya bawa juga, tapi tidak saya sarungkan sembarangan, sebab saya juga tidak suka kalau ‘sawah’ saya dibajak orang lain. Sedangkan ujung ketiga sudah lama tidak saya bawa, semenjak petugas sekuriti di bandar udara Zurich di Swiss, menyita badik yang waktu itu saya bawa dalam ransel saya, pemberian kawan saya, Sinansari Ecip, orang Madura yang lebih Bugis dari pada orang Bugis. Seperti juga Dias, Ecip juga mengajar di Universitas Hasanuddin (Unhas), tempat saya dipelonco tahun 1964.
***
ITU tadi pembukaan ceramahku dari kacamata seseorang yang dibesarkan dengan coto Mangkasara’ dan sop konro dan sekarang berjuang menurunkan asam urat dan trigliserit yang sudah terakumulasi dalam tubuhku selama puluhan tahun. Sekarang, bagaimana saya melihat sorotan seorang antropolog dari Paris, terhadap segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia Bugis? Membaca buku itu sampai tamat, saya jadi teringat kata-kata dosen antropologi terapanku di Cornell, Milton L. Barnett (alm.). Menurut Milt, begitu kami biasa memanggilnya, dalam mempelajari lika-liku kebudayaan suatu kelompok, komunitas, atau suku bangsa, kita harus berhati-hati terhadap ‘the danger of going native’, atau “bahaya menjadi lebih ‘asli’ ketimbang orang asli”.
Wanti-wanti itu ternyata ada benarnya. Ben Anderson, Indonesianis dari Cornell University, yang melakukan penelitian lapangan di Jawa, yang juga salah seorang guru saya, tampaknya menjadi “lebih Jawa dari pada orang Jawa”. Dia mengkritik kramanisasi dalam budaya politik Indonesia, tapi dalam pergaulan dengan para mantan mahasiswanya, dia bersikap sebagai begawan yang harus dihormati. Ada “aura” di sekeliling dirinya, yang membuat saya tetap belum bisa akrab betul dengan beliau. Mungkin karena saya hanyalah seorang “Jawa diaspora”, yang dibesarkan di Makassar, pada masa pergolakan DI-TII, Permesta, dan aksi-aksi para warlords, sehingga saya kurang menguasai unggah-ungguh, basa-basi dalam budaya Jawa. Sebagai kontrasnya adalah William (“Bill”) Liddle, Indonesianis dari Ohio, yang karena studi lapangannya di Sumatera Utara, mungkin, menjadi sama ‘Batak’-nya dengan orang Batak. Walaupun saya tidak dibimbing oleh Bill, pembimbing sahabat saya, Salim Said, saya lebih cepat akrab dengan Bill ketimbang dengan Ben.
Nah, “membaca” interaksi antara pengarang dan teksnya ini, saya mendapat kesan bahwa Christian Pelras telah menjadi “lebih Bugis ketimbang orang Bugis sendiri”. Ini ada segi positifnya, tapi juga ada bahayanya. Positifnya adalah, dalam buku in tidak terasa lagi tembok antara pandangan “dari dalam” (emic) dan “dari luar” (etic). Pelras, yang fasih berbahasa Bugis, tidak membutuhkan penerjemah.
Rapport dengan kelompok yang ditelitinya, juga bukan masalah. Makanya informasi yang sangat terinci tentang sejarah pasang surut kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, berbagai aspek kebudayaan kebendaan (material culture) orang Sulawesi Selatan, dinamika Islamisasi orang Bugis dan Makassar, bahkan rahasia tempat tidur, dapat ditemukan di buku Pelras.
Salah satu hal yang penting digarisbawahi adalah keterangan Pelras bahwa konsep siri’ dalam filsafat hidup orang Bugis, sesungguhnya tidak berdiri sendiri, melainkan ada ‘pasangannya’, yakni pesse’, atau lengkapnya, pesse’ babua, yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”. Jadi di samping harga diri orang Bugis yang begitu tinggi, mereka juga memiliki empati terhadap penderitaan tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Alangkah indahnya bunyi pepatah: pauno siri’, ma’palete pesse’ ri pa’masareng esse’. Atau, “kehormatan bisa menyebabkan kematianmu, dan rasa iba bisa membawamu ke alam baka”. Maksudnya, antara siri’ dan pesse’ harus tetap ada keseimbangan agar bisa saling menetralisir titik ekstrim masing-masing (hal. 252-3).
Lebih indah lagi, kalau itu tidak cuma berlaku di antara sesama orang Bugis, tapi menjadi etika para pejabat berdarah Bugis, supaya mereka memiliki pesse’ terhadap semua orang yang nasibnya berada di bawah kekuasaannya. Sehingga seorang kepala Dinas Kesejahteraan Sosial di Sulawesi Tengah, yang juga seorang bangsawan Bugis, tidak cuma mempertahankan siri’-nya menghadapi aktivis ornop yang membongkar mafia korupsi yang dipimpinnya, tapi punya empati terhadap puluhan ribu pengungsi asal Poso yang tidak memperoleh hak mereka selama bertahun-tahun.
ITU tadi segi positif dari seorang peneliti asing yang telah menjadi “pribumi”. Segi negatif dari peneliti yang terlalu “go native” adalah bahwa kepekaannya terhadap nuansa-nuansa ketidakadilan dalam komunitas yang ditelitinya, bisa sangat berkurang. Dalam wujudnya yang paling ekstrim, peneliti yang sudah sangat “go native” sangat defensif menghadapi kritik terhadap komunitas atau tokoh-tokohnya. Ini dapat mendorongnya untuk menjadi “pembela” komunitasnya terhadap “serangan orang luar” yang dianggapnya mengancam kestabilan, kenyamanan, dan keutuhan komunitasnya tersebut.
Pelras misalnya, di halaman 166 -mengemukakan bahwa “menurut orang Bone, pahlawan nasional bukanlah Sultan Hasanuddin, tetapi Arung Palakka”. Ia tidak mempertanyakan indikator kepahlawanan yang lazim di Indonesia, yakni perlawanan terhadap kekuatan asing, bukan perebutan kekuasaan di antara kerajaan-kerajaan pribumi. Padahal, Arung Palakka bersekutu dengan Belanda melawan Sultan Hasanuddin di tahun 1666, sehingga Hasanuddin akhirnya bertekuk lutut dengan menandatangani Perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667, dan dua tahun kemudian turun takhta.
Tampaknya, Pelras sekali-sekali suka meninggalkan fungsinya sebagai ilmuwan dan beralih profesi menjadi penatar P-4. Walaupun identitas Bugis mereka tetap sangat kuat, kata Pelras, yang jauh lebih penting dari pada perubahan struktur masyarakat Bugis adalah “tumbuhnya rasa kebangsaan (mereka) sebagai warga negara Indonesia” (hal. 339). Pernyataan berbau indoktrinasi itu seolah-olah menafikan bahwa banyak orang Bugis menganut berbagai faham yang tidak direstui penguasa RI. Pertama, ada orang Bugis yang mendukung federalisme, dan dengan demikian menolak faham unitarianisme yang dianut NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kedua, ada orang Bugis yang hingga kini masih tetap memperjuangkan perubahan dasar negara Indonesia menjadi negara yang berdasarkan syari’at Islam. Ketiga, tidak sedikit anak muda Bugis yang merasa sudah saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah ke arah sosialisme, bukan meneruskan perjalanan bangsa ke jurang kapitalisme.
Sebagai seorang antropolog, Pelras tidak perlu memberikan penilaian baik atau buruknya aliran-aliran itu. Namun sebagai ilmuwan, janganlah ia memungkiri kenyataan itu. Sebab tugas seorang ilmuwan sosial, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang ‘nabi’nya, Max Weber, adalah berusaha memahami (verstehen) gejala-gejala itu.
Namun itu hanyalah beberapa ‘kelemahan kecil’ dalam buku Pelras. Kelemahan yang lebih prinsipiil, menurut hemat saya, adalah pengaburan identitas To Luwu sebagai suku (kelompok etno-linguistik), dan bukan sebagai kelompok sub-etnis Bugis. Dalam bukunya Pelras berkali-kali merujukan ke Luwu’ sebagai suatu “kerajaan” atau “kedatuan Bugis” (hal. 43, 56, 58, 63, 101, 106, 106, 109, 111-3, 136, 201, 203-8, 296), sebagai “pusat kebudayaan Bugis” (hal. 96), sebagai tempat “asal-usul stratifikasi sosial dalam masyarakat Bugis” (hal, 196-7), dan sebagai “sumber mitos asal-usul bangsawan dan kebudayaan Bugis” (hal. 198). Seizin dengan itu, La Galigo, “salah satu epos terbesar di dunia, dan lebih panjang dari epos Mahabbarata” (hal. 37), “salah satu karya epos terpanjang di dunia” (hal. 224), yang ditulis antara tahun 1360-1470 dan mengambil sebagai titik pangkalnya daerah Luwu’, diklaim sebagai “kesusastraan Bugis” (hal. 224, 234) yang ditulis dalam “bahasa Bugis paling kuno” (hal. 58, 236) dari “periode Bugis awal”, yang menggambarkan “kondisi sosio-kultural orang Bugis pada periode sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13” (hal. 394-5).
Pem-Bugis-an Luwu’ tidak konsisten dengan berbagai uraian Pelras sendiri dalam buku ini. Dan sudut bahasa, Pelras mengutip pendapat ilmuwan lain tentang bahasa “Proto Sulawesi Selatan” yang penuturnya dahulu bermukim di sepanjang lembah Sungai Saddang hingga ke muaranya di Selat Makassar. Penutur bahasa kuno itu merupakan nenek moyang dari penutur bahasa-bahasa Bugis, Makassar, Mandar, Toraja dan Ma’senrempulu sekarang. Leluhur orang Makassar lebih dulu memisahkan diri dengan mengarah ke Selatan, leluhur orang Mandar ke daerah utara sepanjang pesisir Barat, leluhur orang Bugis ke dataran rendah bagian tengah, leluhur orang Toraja ke pegunungan di bagian Utara, dan akhirnya leluhur orang Pitu Ulunna Salu’ ke hulu sungai sepanjang Lembah Mamasa hingga ke daerah yang kini mereka diami (hal. 44). Leluhur orang Luwu’ tidak disebutkan.
Dalam kesimpulan buku ini (Bab 11), ia berbicara tentang kemunculan “proto-Bugis” sepanjang milenium pertama tarikh Masehi, yang “mungkin bisa disebut Proto-Bugis-Luwu’-Makassar
-Mandar-Ma’senrempulu-Toraja atau Proto-BLMMMT” (hal. 393). Sedangkan dalam menuturkan dinamika Islamisasi di Sulawesi Selatan, Pelras mengakui Luwu’ dipercayai oleh penduduk Sulawesi Selatan sebagai “pusat mitos” dan tempat “asal semua arung”, sehingga “harus di-Islam-kan dulu” (hal. 160). Kalau begitu, dapatkah kita katakan Luwu’ merupakan kerajaan Bugis?7
Keyakinan Pelras bahwa Luwu’ dapat dianggap suatu entitas politik Bugis, dilemahkan oleh keterangannya sendiri dalam Catatan Kaki No. 9 di halaman 124:
"Sebenarnya, pada mulanya, kerajaan Luwu’ bukan kerajaan Bugis, melainkan kerajaan multi-etnis, yang lama kelamaan, sebagai akibat proses perkawinan antar bangsawan tinggi se-Sulawesi Selatan, akhirnya dipimpin oleh sebuah elite yang mengaku Bugis. Dalam sure’ Galigo, tampak jelas bahwa penduduk Tanah Bugis tidak mengerti pembicaraan orang Luwu’, dan dalam Sejarah Wajo’, sekurang-kurangnya sampai abad ke-15, orang Luwu’ dan orang Bugis masih dibedakan.”
Sesungguhnya, evolusi dari kebudayaan Proto-BLMMMT dulu ke kebudayaan Bugis sekarang, tidaklah selinier seperti yang digambarkan Pelras, dengan mengaburkan evolusi kultural orang Luwu’. Orang Luwu’ sendiri lebih cenderung menggambarkan nenek moyang mereka, yang hidup di zaman Sawerigading, sebagai cikal-bakal suku-suku di Sulawesi Selatan, dan bukan sebagai sub-etnis Bugis. Mereka lebih suka menggambarkan diri mereka, To Luwu, sebagai sesama "keturunan Sawerigading", atau Wija To Luwu’, bersama-sama orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja, yang sama-sama berpegang pada filsafat hidup La Galigo (lihat Asdar Muis RMS 2004: 90, 108, 115).
Dan pengamatan di Tana Luwu’ dan wawancara dengan sejumlah informan kunci, cukup jelaslah bagi saya bahwa orang Luwu’ atau To Luwu’, penduduk asli ketiga kabupaten ex-kerajaan Luwu’ (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur) merupakan kelompok etno-linguistik (suku) sendiri, dan bukan sub-etnis Bugis. Bahasanya, bahasa Tae’, lebih dekat ke bahasa Toraja dari pada ke bahasa Bugis.Budaya pertanian dan makanan pokok mereka berbeda dari budaya pertanian dan makanan pokok orang Bugis. Makanan pokok mereka adalah sagu, yang diolah menjadi kapurung, bubur sagu encer yang dicampur dengan sagu dan ikan, mirip bubur Manado.9 Pergeseran ke beras kini semakin dipercepat seiring dengan penggusuran dusun sagu penduduk asli oleh sawah-sawah para perantau Bugis, serta oleh politik beras Bulog dan jatah PNS dan prajurit. Sementara itu, penduduk asli bekas kerajaan Luwu’ itu kini semakin terjepit oleh perantau Bugis, Toraja, dan Pamona Selatan di dataran tinggi Mungkutana di Luwu Utara. Sehingga potensi konflik karena perebutan sumber daya ekonomi di Tanah Luwu semakin tinggi. Selanjutnva, marjinalisasi daerah Luwu’ dan Toraja dalam kosmologi politik Sulawesi Selatan, ikut melatarbelakangi wacana pembentukan provinsi Luwu’ Raya, dengan rnenggandeng Toraja dan Ma’senrempulu.
Klaim Bugis atas Luwu’, yang dicoba dilegitimasi oleh Pelras dengan mengklaim La Galigo sebagai karya sastra Bugis, sama absurdnya seandainya orang Jawa mengklaim Mahabharata dan Ramayana sebagai karya sastra Jawa. Atau sama absurdnya, seperti kalau orang Jerman mengklaim Homeros sebagai karya sastra Jerman kuno, dan tidak mengakuinya sebagai karya Yunani kuno. Makanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa La Galigo menjadi landasan filosofis karya-karya sastra Bugis dan suku-suku lain di Sulawesi Selatan dan Barat.
Pandangan yang lebih tepat dalam melihat kedudukan Luwu’ dikemukakan oleh Andi Zainal Abidin, guru besar Fakultas Hukum Unhas, dalam kumpulan naskahnya yang terbit hampir seperempat abad lalu (1983). Beberapa komentarnya tentang Luwu’, saya cuplik sebagai berikut:

= Since Luwu’ is recognized by the Bugis people as the cradle of civilization and kingship, we believe that Luwu’ was a pristine kingdom, while the other five kingdoms were all of the secondary type, which implies that the latter developed under the influence of Luwu’s conception. Their [Lontara’] stories were individualized into the separate tradition of each kingdom in accord with the circumstances surrounding the discovery of a To Manurung, who become the founder of each royal family (Abidin 1983: 249).

= No one in South Sulawesi denies the importance of Luwu’. According to a popular belief and genealogies of the kings and nobility in South Sulawesi, Luwu’ was founded before the formation of Bugis, Makassar and Mandar kingdoms. Several Lontara’ readers estimated that Luwu’ was founded in the thirteenth century, while two Assistant Commissioners of Bone ... estimated, without giving any evidence, that Luwu’ was founded about the twelfth century. According to Couvreur, the Governor of Celeves (1929), Luwu’ was the most powerful kingdom in Sulawesi from the tenth to the fourteenth century. This opinion is supported by the highest respect that the nobility in Luwu’ traditionally enjoyed. Even petty principalities like Selayar, Siang, Lamatti’ and Bulo-Bulo claimed that their first kings had come from Luwu’ (Abidin 1983: 212).

= (Ada) dugaan kuat, bahwa Raja-Raja di Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-14 berasal dari satu wangsa (dinasti). Bahkan ada Lontara’ di Wajo’ yang mengatakan bahwa Datu Soppeng I, Raja Bone Matasilompoe dan Karaeng Bayo Somba I di Gowa itu bersaudara, yaitu putra-putra Datu Luwu (Abidin 1983: 153).

Tidak cuma di masa silam Luwu’ berfungsi mewarnai sejarah Sulawesi Selatan. Juga dalam sejarah kontemporer selama setengah abad yang silam. Andi Djemma Patiware’, Pajung Luwu’ sejak tahun 1935, adalah raja pertama di daratan Sulawesi yang menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta. Tahun 1950, menantu Raja Bone, Andi Mappanyuki itu meletakkan takhta kerajaan. Luwu’ resmi menjadi kabupaten, dengan Andi Djemma sebagai kepala daerahnya. Selanjutnya, dari Tanah Luwu’ itu pun muncul figur Qahar Muzakkar, lelaki kelahiran Kampung Lanipa tahun 1921. Lelaki yang di masa mudanya suka main judi, sehingga dijuluki La Domeng, memimpin pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan sejak tahun 1950 sampai saat dinyatakan tewas tertembak di Lasolo, sebelah selatan Danau Towuti, dini hari 3 Februari 1965 (Asdar Muis RMS 2004: 5, 7, 11, 13-7, 23-4). Makanya, menarik untuk diteliti seberapa besar bayangan kebesaran kerajaan Luwu’ di masa lalu ikut mempengaruhi psikologi Andi Djemma dan Qahar Muzakkar - walaupun dalam arah yang berlawanan - di Sulawesi Selatan.
Selain To Luwu’, kelompok etno-linguistik (suku) lain yang juga dimarjinalkan dalam Manusia Bugis adalah orang Duri, penduduk asli daerah Ma’senrempulu yang meliputi sebagian (kecil) Kabupaten Pinrang dan sebagian (besar) Kabupaten Enrekang. Memang, antropolog Perancis ini telah memasukkan Ma’senrempulu dalam sejarah evolusi bahasa Proto-Sulawesi yang sudah disinggung tadi. Pelras juga memasukkan Ma’senrempulu dalam “entitas supra-etnis Bugis-Makassar”, yang katanya digunakan oleh sesama orang Islam asal Sulawesi Selatan untuk memperkenalkan diri mereka kepada orang luar (hal. 209).10 Tapi “Duri” sebagai nama suku (berbeda dengan Ma’senrempulu sebagai nama daerah), hanya disebut sepintas di halaman 16 dan 327, berkaitan dengan identitas ke-Islam-an mereka dan dengan jalur perdagangan kopi.
Tampaknya, identifikasi orang Duri sebagai “orang Bugis”, khususnya “orang Bugis-Enrekang”, masih berlaku di Sulawesi Selatan ketika Christian Pelras menulis edisi Inggris buku ini. Antropolog lulusan Sorbonne itu mengakui, ia kurang mengikuti perkembangan selama dua dasawarsa terakhir (catatan kaki No. 2 di hal. 338).
Belakangan ini, identifikasi diri orang Duri sebagai orang Duri, dan bukan sebagai sub-etnis Bugis, semakin mencuat ke permukaan. Maklumlah, bahasa Duri lebih dekat dengan bahasa Toraja dan bahasa Luwu’ (bahasa Tae’), ketimbang dengan bahasa Bugis, dan masuk rumpun bahasa Toraja.11 Kini orang Duri berusaha bangkit dari isolasi kultural oleh elit penguasa Sulawesi Selatan, yang terutama berasal dari suku-suku Bugis dan Makassar, dengan menunjukkan identitas mereka melalui kerja keras membangun kekuatan ekonomi mereka, sehingga menghasilkan pengusaha top seperti Andi Sose, pendiri Universitas 45 di Makassar, Latinro Latunru, yang berhasil merebut kursi Bupati, dan pamannya, Ande Latif, pemilik Tiga Utama.12
Selama penelitian lapangan saya di Papua Barat (1982 s/d 1987), pengusaha-pengusaha berdarah Duri paling berani masuk ke pedalaman untuk menangani proyek-proyek Inpres di sana. Sampai ada pemeo, “di mana ada asap ke luar dari hutan, di situ ada orang Bugis sedang menggergaji”. Waktu itu, identifikasi diri sebagai orang Duri belum menonjol. Kepengurusan pengurus daerah KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) Irian Jaya juga didominasi oleh orang Duri. Keberanian memasuki daerah pegunungan Papua antara lain karena mereka sudah terbiasa dengan medan pegunungan di kampung halaman sendiri. Salah satu komoditi dari kampung halaman mereka adalah kopi. Di luar Sulawesi Selatan, kopi asal Kalosi di kaki Gunung Bambapuang, sering dipromosikan sebagai kopi Toraja. Dalam kemasan yang kedap udara, kopi Kalosi bisa didapatkan di cabang-cabang Café Excelsior di kota-kota besar di Jawa.
Akibat ‘Bugis-sentrisme’ yang “over dosis’ itu, semua perantau asal Sulawesi Selatan cenderung untuk ‘di-Bugis-kan’ oleh Pelras, walaupun berasal dari kelompok etno-linguistik lain. Misalnya, ia berbicara tentang “orang Bugis Samarinda” (hal. 372-3). Padahal, dari berbagai wawancara yang pernah saya lakukan dengan petani korban polusi ladang gas alam Muara Badak di Kalimantan Timur, ketika masih bekerja sebagai jurnalis majalah Tempo, ternyata bahwa mereka bukanlah turunan Bugis, melainkan turunan Mandar.13 Pohon-pohon kelapa merekalah yang ‘terbakar’ oleh ‘kebakaran’ gas alam dari sumur-sumur Huffco di daerah itu.14
Keberadaan orang Mandar, baik di darat maupun di laut, kurang mendapat tempat dalam buku Pelras, padahal dalam sejarahnya, mereka sesama turunan Sawerigading seperti orang Bugis. Sepanjang pantai Barat Kabupaten Donggala sampai ke Teluk Palu, Sulawesi Tengah, tersebar pemukiman orang Mandar, selang-seling dengan pemukiman orang Bugis.15 Namun, sekali lagi, keberadaan orang Mandar di pesisir Barat Sulawesi Tengah itu tidak disinggung oleh Pelras (hal. 371). Padahal, di lautpun para pelaut Mandar punya peranan positif, yakni menjaga kelestarian hukum pelayaran dan perniagaan Amanna Gappa, seperti yang disimpulkan dari hasil penelitian disertasi almarhum Baharuddin Lopa (1982).
Dalam berbicara tentang sarung sutera, atau lippa sabbe’ dalam bahasa Bugis (hal. 269, 295), juga tidak disinggung peranan perempuan Mandar sebagai perintis seni busana itu. Pelras malah dengan berani mengatakan, “orang Bugis memperoleh ketrampilan menenun sutera dari orang Melayu” (hal. 296). Padahal dari studi literatur (Saunders 1997: 33-4, Color Plate No. 27, 28) serta wawancara dengan beberapa orang informan asal Mandar di Palu, Yogyakarta, Jakarta dan Makassar dapatlah saya simpulkan bahwa bahwa perempuan Mandarlah, dan bukan orang Melayu, yang merintis penenunan sarung sutera di Sulawesi Selatan & Barat, dengan teknik ikat & celup (tie & dye).16 Selanjutnya, para perantau Mandar merintis penenunan apa yang kemudian dikenal sebagai ‘sarung Donggala’ dan ‘sarung Samarinda’ di daerah perantauan masing-masing.
‘Tenggelam’nya orang Mandar dalam ‘lautan’ orang Bugis, juga dialami oleh orang Mamuju, penduduk dua kabupaten, Mamuju dan Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Barat sekarang. Dilihat dari sudut bahasa, orang Mamuju merupakan suku sendiri, dan bukan kelompok sub-etnis Mandar, sebab kosakata bahasanya kurang dari 70% kosakata bahasa Mandar (Alimuddin 2005: 4). Keberadaan mereka disinggung secara tidak langsung oleh Pelras, ketika berbicara tentang boom coklat yang dirintis di Mamuju (waktu itu masih satu kabupaten) di akhir 1960-an, ketika daerah itu berada di bawah pemerintahan Andi’ Selle’, warlord yang terkenal karena inisiatif usaha perekonomian mandiri, melalui hubungan perdagangan langsung dengan Sabah, Malaysia Timur (hal. 370). Yang tidak disinggung adalah bahwa ekonomi coklat rakyat di kabupaten kembar itu kini nyaris tergusur oleh boom baru, yakni boom kelapa sawit, setelah daerah itu diserbu oleh empat anak perusahaan PT Astra Agro Lestari, yakni PT Letawa, PT Pasangkayu, PT Sunyaraya Lestari, dan PT Mamuang. Maskapai-maskapai perkebunan itu merupakan usaha kongsi (joint venture) antara keluarga Soeryadjaya, pemilik kelompok Astra yang lama, dengan kelompok Sulawesi Wanabakti Lestari milik pengusaha asal Toraja, Salahudin Sampetoding; kelompok Salim milik keluarga Liem Sioe Liong dan Soeharto; kelompok Lumbung Sumber Rejeki milik keluarga Radius Prawiro; dan Yayasan Adi Upaya milik TNI/AU (AAL 2004; CIC 1998: 310, 322-3, 381-2; ECFIN 2001: 6-7).
Bugis-sentrisme ini juga tampak dalam penjelasan Pelras tentang beberapa komunitas pembuat perahu di kampung-kampung Ara’, Lemo dan Tana Beru di Kabupaten Bulukumba bagian selatan, di seberang Pulau Selayar. Menurut Pelras, komunitas itu termasuk suku Makassar yang menggunakan variasi dialek Makassar yang disebut bahasa Konjo. Menurut Pelras lagi, bahasa Konjo lebih dekat ke Bugis ketimbang bahasa Makassar standar (hal. 312). Sepengetahuan saya, identifikasi diri berbagai komunitas di Bulukumba dan Pulau Selayar, masih sedang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahasa Konjo hampir sama dengan bahasa Makassar. Ada yang mengatakan bahwa orang Kajang dan orang Selayar, saat bertemu dengan orang Bugis, akan mengaku dirinya sebagai “Bugis-Kajang” atau “Bugis-Selayar”. Ada pula yang mengatakan bahwa, daerah Bulukumba-Selayar dulu berada di bawah kekuasaan kerajaan Bontobangun, yang dihuni oleh banyak kelompok etnis, sehingga bahasa Konjo menyerap kata-kata dari bahasa Luwu’, bahasa Mandar, bahkan dari bahasa Timor, tapi masih dominan bahasa Makassar sehingga dapat dianggap termasuk rumpun bahasa Makassar. Orang Selayar sendiri biasa disebut To Hale, yang berarti “orang seberang”. Mereka juga berbahasa Konjo, dengan dialek yang sedikit berbeda dengan dialek penduduk daratan Bulukumba.17
Glorifikasi terhadap keunggulan budaya Bugis tampaknya membuat Pelras kurang peka terhadap pergumulan kelompok-kelompok etnis atau sub-etnis non-Bugis melawan perkawinan antara modal dan kekuasaan politik. Misalnya, perjuangan orang Kajang di Bulukumba melawan ekspansi perkebunan karet PT London Sumatera (Lonsum), yang didukung oleh Brimob, yang sudah mengakibatkan korban jiwa, luka-luka, serta hilangnya kebebasan sejumlah aktivis ornop pendamping rakyat (van Gelder dkk 2005: 49; Tempo, 10 Agustus 2003: 36). Boleh jadi, perjuangan orang Kajang yang sudah berlangsung sejak tahun 1980, tidak begitu penting bagi Pelras, sebab mereka toh hanya berjumlah 800 keluarga (Nara 2006 a, 2006b). Sedangkan yang menjadi korban PT LonSum, ‘hanyalah’ orang Kajang Luar, tanpa secara langsung menyentuh kehidupan orang Kajang Dalam.
Pergumulan yang tidak kurang pahitnya sedang dihadapi oleh masyarakat Pitu Ulunna Salu, penghuni kawasan pegunungan di antara pesisir Polewali dan Lembah Mamasa di provinsi baru, Sulawesi Barat. Menurut Grimes, kesamaan rata-rata dialek Pitu Ulunna Salu’ dengan bahasa Mandar hanya 60%, dengan bahasa Mamuju cuma 67%, sedangkan dengan bahasa Toraja 70% (Alimuddin 2005: 4). Lewat hubungan perdagangan dengan orang Mandar, sebagian penduduk tujuh hulu sungai itu memeluk agama Islam, sedangkan sebagian lagi memeluk agama Kristen sambil bergabung dengan Gereja Toraja Mamasa. Akulturasi dari arah pantai dan gunung (George 1996), ikut mempengaruhi polarisasi sikap masyarakat Pitu Ulunna Salu’ menghadapi pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) menjadi Kabupaten Polewali Mandar (Polman) dan Kabupaten Mamasa.
Polarisasi itu telah berkembang menjadi pertentangan fisik, yang sudah menelan korban jiwa. Akibatnya,18 beberapa kompi Brimob telah dihadirkan di sana. Namun aktivis-aktivis pro-demokrasi di Sulawesi Selatan & Barat mencurigai ada agenda terselubung di balik usaha-usaha mengawetkan konflik antara kelompok yang pro- dan yang anti-pemekaran ex-Kabupaten Polmas.
Agenda tersembunyi itu adalah rencana investasi perusahaan-perusahaan pertambangan emas di daerah Pitu Ulunna Salu’. Ada dua maskapai pertambangan asing yang berminat, yakni Rio Tinto yang bermodal Inggris dan Australia, serta Newmont yang bermodal AS. Menurut informan kunci saya di Mamasa, Bupati Mamasa telah memberikan izin prinsip bagi Newmont. Makanya belakangan ini, ditengarai ada ‘orang Newmont’ yang sedang aktif melobi seorang anggota DPRD Kabupaten Mamasa yang berasal dari Aralle.
Sementara itu, kekuatan-kekuatan modal domestik pun sedang mengincar daerah Pitu Ulunna Salu’. Zipur Kodam Wirabuana mendapat borongan membangun jalan poros yang menghubungkan Mambi, Aralle, dan Tabulahan. Sedangkan di sebelah utara daerah itu, terdapat konsesi tambang batubara kelompok Bosowa, milik Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla, yang juga memiliki konsesi tambak udang seluas 10 ribu hektar di Kabupaten Mamuju (PDBI 1997: A-1423).
Keseganan Pelras menyentuh peristiwa yang dapat dianggap berbau politik, apalagi membeberkan adanya konflik, tampak juga dalam cara ia menahan diri untuk tidak mengangkat budaya politik kerajaan-kerajaan Bugis dan Luwu’, yang di abad-abad lalu sudah sangat maju di bidang hak-hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Antropolog Perancis ini hanya berputar-putar sekitar etika perorangan (hal. 260-2), dan bukan soal-soal etika dalam hubungan antara raja, dewan adat, dan rakyat. Padahal kita sudah dapat membacanya dalam buku Andi Zainal Abidin (1983), yang terbit hampir seperempat abad sebelum Manusia Bugis. Cuplikan-cuplikan berikut dari Abidin (1983: 165-6) cukup mengejutkan orang awam di zaman sekarang, ketika susah sekali menyeret seorang Menteri Hukum & HAM yang berdarah Bugis ke meja hijau:

= Di Sidenreng, La Pagala Nene Mallomo pada abad ke-16, menjatuhkan pidana mata terhadap puteranya sendiri, yang mencuri sepotong kayu milik orang lain;

= Ketika La Pabbele’, putra rung Matoa Wajo’ ke I, La Pakoko’ To Pabbele’ (1564-1567) memperkosa wanita di kampung Totinco, is dijatuhi hukuman mati pula oleh ayahnya sendiri;

= La Pateddungi To Samallangi’, Batara Wajo’ III (±1466-1469) terbukti memperkosa beberapa orang wanita, maka ia dipecat dari jabatannya oleh La Tiringen To Taba’ Arung Saotanre’ dan dibunuh oleh La Tenriumpu’ To Langi’;

= Raja Gowa I Tajibarani Daeng Marompa’ Karaeng Bontolangkasa’ (±_1 565-1590) diamuk oleh pengikutnya sendiri dan dibunuh. Sebabnya ia diamuk mungkin karena Raja sangat gemar berperang;

= Raja Gowa XII, karena perbuatannya yang sewenang-wenang terhadap rakyat dan pembesar-pembesar di Gowa, dipecat dari jabatannya dan pergi tinggal di Luwu’.

Budaya politik yang lebih etis dijaga ketat oleh dewan adat dan rakyat, sehingga raja tidak dapat memerintah secara sewenang-wenang. Etika politik itu selalu diingatkan oleh para negarawan Sulawesi Selatan. Misalnya, dalam Lontara’ Pappasang Gowa terdapat pesan berikut dari I Mangadacingi Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa (1639-1653) (Abidin 1983: 166-7):

Ada lima sebab sehingga sebuah negeri rusak.
Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.
Kedua, kalau tak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.
Ketiga, kalau para hakim dan pejabat kerajaan makan sogok.
Keempat, kalau terlampau banyak kejadian besar dalam suatu negara.
Kelima, kalau Raja tidak menyayangi rakyatnya.

Boleh jadi, sebagai peneliti asing, Pelras sengaja menghindarkan topik-topik yang berbau politik dan konflik dalam buku Manusia Bugis ini, demi kelancaran visa penelitiannya19. Walaupun dengan demikian, ia menutupi hal-hal terpenting dalam sejarah suku-suku bangsa di Sulawesi Selatan.
BERBICARA tentang Jusuf Kalla, dalam konteks kelompok Bosowa tadi, berarti berbicara tentang bagian buku yang paling menyolok ke-Bugis-sentris-annya. Antusiasme Christian Pelras sungguh luar biasa dalam mengajukan figur Jusuf Kalla, sebagai putera Bugis yang sekaligus to-acca, to-panrita, dan to-sugi, orang pintar, orang saleh, dan orang kaya (hal. 384-91). Catatan kakinya di halaman 385, semakin menelanjangi sanjungan Pelras buat anak keempat dari sepuluh bersaudara putera-puteri Hadji Kalla itu: “Pada tahun 1996, waktu saya mulai menulis tentang “dinasti Hadji Kalla” untuk versi Inggris buku ini, saya masih jauh dari menduga hari depannya yang gemilang seperti yang kita saksikan dewasa ini”. Tampaknya, pujian selangit itu mengikis habis sikap kritis yang harus tetap dimiliki oleh setiap ilmuwan. Salah satu hal yang banyak disorot orang adalah melejitnya order-order bagi tiga kelompok perusahaan - Hadji Kalla, Bukaka, dan Bosowa - milik keluarga besar Jusuf Kalla, semenjak Jusuf Kalla dilantik sebagai Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004, dan selanjutnya terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, pada tanggal 19 Desember 2004. Sejak saat itu Bukaka kebanjiran order membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sulawesi dan Sumatera Utara. Di Sulawesi Selatan, Bukaka sudah mendapat order pembangunan PLTA di Ussu, bekas pusat kerajaan Luwu’ di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp 1,44 trilyun di Pinrang; serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabupaten Luwu’ Utara (Aditjondro 2005a: 15; Tribun Timur, 21 Ag. 2005; Tempo, 30 Okt. 2005: 74). Saat ini, Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, berkapasitas total antara 600 sampai 700 MW (Aditjondro 2005a: 5; Tempo, 30 Okt. 2005: 74). Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW, dibantu pembangunan jalan sepanjang 10 KM oleh Pemerintah Kabupaten (Tempo, 30 Okt. 2005: 74). Sedangkan di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla20, adik kandung Wakil Presiden mendapat order pembangunan PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW serta PLTA Sibaho di Kabupaten Humbang Hasundutan (Aditjondro 2005a: 15).

Bukan banyaknya order yang tiba-tiba mengalir ke trio Hadji Kalla-Bukaka-Bosowa yang paling menarik perhatian para aktivis pro-demokrasi. Tapi bahwa proyek-proyek yang ditangani keluarga sang Wakil Presiden boleh dibangun, tanpa mengindahkan rambu-rambu hukum lingkungan. PLTA Poso II mulai dibangun di Desa Sulewana, Kabupaten Poso, sebelum AMDAL seluruh proyek PLTA Poso selesai dikerjakan. Pelaksana AMDALnya sendiri adalah anak perusahaan Bukaka, atas order PT Hadji Kalla, pemilik proyek itu, sehingga diragukan keobyektifannya. Sesudah AMDALnya siap, pembangunan PLTA Poso II tetap jalan terus, sebelum AMDAL itu dibahas dan disetujui Komisi AMDAL Provinsi Sulawesi Tengah. Keanehan lain lagi adalah, pembangunan jaringan transmisi tegangan tinggi dari PLTA ke Soroako (Sulawesi Selatan) dan Pomala’a (Sulawesi Tenggara) sepanjang 431 KM, mulai dibangun, sebelum ada AMDAL sama sekali. Baru setelah kesadaran rakyat akan dampak proyek raksasa meningkat, setelah basil pengamatan penulis (Aditjondro 2005a) disebarkan oleh Yayasan Tanah Merdeka, PT Hadji Kalla mengundang tanggapan masyarakat yang tinggal sepanjang jaringan transmisi tegangan tinggi itu lewat media cetak (Radar Sulteng, 7 Nov. 2005). Selanjutnya, wakil-wakil masyarakat diundang ke Jakarta untuk memberikan pendapat kepada BAPPEDAL, atas biaya Bukaka dan Hadji Kalla.

Dengan kata lain, kelompok perusahaan keluarga besar Wakil Presiden tidak memberikan teladan ketaatan hukum kepada rakyat Indonesia. Sementara itu, aroma conflict of interest makin tercium. Proyek PLTA Poso, misalnya, diletakkan batu pertamanya, ketika Poso sedang dipimpin oleh Pjs. Bupati, Andi Azikin Suyuti, yang separtai dan se-daerah asal dengan Wakil Presiden. Padahal tokoh ini sendiri sedang bermasalah. Sebagai Kepala Dinkesos Sulawesi Tengah, is sekarang sedang diperiksa oleh Mabes Polri, sehubungan dengan dugaan korupsi dana bantuan pengungsi Poso yang lebih dari Rp 200 milyar. Dugaan korupsi itu terjadi sewaktu Jusuf Kalla menjadi Menko Kesra, yang dipuji-puji oleh Pelras sebagai orang yang telah berjasa “mengantarkan perdamaian di Poso dan Ambon” (hal. 390).

Kealpaan Jusuf Kalla mengawasi bawahannya selama kerusuhan Poso22 yang berkepanjangan menunjukkan betapa kuatnya sang Wakil Presiden mengandalkan dukungan dari birokrat dan pengusaha yang separtai dan sesuku, demi karier politik dan bisnis keluarganya. Hal ini juga saya amati dalam kampanye Jusuf Kalla untuk pasangan SBY-JK di kota Palu, di mana ia tampak sangat mengandalkan dukungan para anggota HMI serta kalangan saudagar Bugis dan Makassar yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Sesudah berhasil menjadi Wakil Presiden, ia terus berusaha memelihara basis etnisnya dengan berbuka puasa bersama KKSS di Istana Wakil Presiden, yang juga dihadiri oleh menteri dan fungsionaris kabinet yang berdarah Bugis, khususnya Hamid Awaluddin dan (Andi) Alfian Mallarangeng (Fajar, 8 Nov. 2004), dan terus mendukung aliansi strategis saudagar Bugis Makassar.

Semua faktor itu tampaknya diabaikan oleh Pelras, yang begitu terbius pada figur sang Wakil Presiden, tanpa secara kritis mempersoalkan jabatan rangkap Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Golkar, patron bagi KKSS, dan patron bagi tiga kelompok perusahaan (Hadji Kalla, Bukaka dan Bosowa) yang sekarang kebanjiran order proyek infrastruktur, dari Sulawesi Selatan sampai ke Aceh (Aditjondro 2005b). Pelras juga mernbutakan diri terhadap dampak konfigurasi duet Jusuf Kalla dan SBY bagi proses demokratisasi di Indonesia. Perkawinan antara etno-sentrisme Bugis dan militerisme terselubung dalam konstelasi ekonomi politik Indonesia sangat rentan mereproduksi sistem oligarki nasional berkaki tiga yang dirintis oleh Soeharto, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa (lihat Aditjondro 2006).
***
UNTUNGLAH bahwa di balik ke-Bugis-sentris-annya, kejujuran ilmiah Christian Pelras tetap terpelihara. Antropolog lulusan Sorbonne itu dengan jujur memaparkan peranan para saudagar Bugis dalam perdagangan budak sejak abad ke-15. Perdagangan budak di Sulawesi Selatan dipacu oleh banyaknya permintaan dari luar dan berlangsung selama berabad-abad. Tahun 1680, duta besar Perancis di Muangthai membeli seorang budak Toraja yang dibawa ke sana oleh pedagang Makassar. Perahu-perahu Bugis yang memuat budak masih tiba di Singapura hingga awal dekade 1820-an (hal. 143).
Di abad ke-17 dan 18, perdagangan budak itu semakin menjadi-jadi. Saudagar-saudagar Bugis menjual tawanan yang ditangkap di Nusa Tenggara, Buton, Mindanao, Sulu,dan Kalimantan, untuk dijadikan buruh perkebunan lada di Tanah Melayu, dan Sumatera. Pedagang Sulawesi Selatan juga menjadi pemasok utama budak kepada VOC, yang mengandalkan tenaga budak untuk bekerja di pelabuhan, galangan kapal, barak pekerja, dan rumah pejabat, bahkan untuk dijadikan tentara dengan pangkat terendah. Sepanjang abad ke-18, perdagangan budak yang didukung penguasa setempat berkembang menjadi aktivitas yang sangat menguntungkan: setiap tahun sekitar tiga ribu orang budak “dikirim” dari Makassar, sama banyak dengan jumlah budak yang dikirim Belanda dari Afrika Barat ke Amerika dalam kurun waktu yang sama, dengan keuntungan sekitar 100 gulden per kepala. Belum puas dengan keuntungan itu, para pedagang budak Sulawesi Selatan mulai menjual orang mereka sendiri: hampir 26 persen budak di Batavia tahun 1816 adalah orang Bugis. Setelah 1880, kebanyakan budak yang diperdagangkan adalah orang Toraja, yang sebagian dibeli oleh pedagang Luwu’ dan Sidenreng dari penyalur orang Toraja. Perdagangan manusia ini baru berakhir setelah Belanda menguasai Tanah Ugi’ dan Tana Toraja tahun 1906 (hal. 359-60). Selain dalam perbudakan, raja-raja keturunan Bugis juga terlibat dalam perompakan di Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah dan Tenggara, dan di selat-selat Singapura (hal. 361). Singapura sendiri,, merupakan pulau yang dijual oleh seorang sultan Johor keturunan Bugis kepada Inggris (hal. 357).
Dari sini dapat disimpulkan, apapun kode etik atau dasar agamanya, kegiatan bisnis- apalagi bisnis internasional- hanya tunduk pada satu nilai, yakni laba sebesar-besarnya, dan hanya akan berubah apabila norma-norma internasional berubah dan perubahan norma-norma itu dapat ‘dipaksakan’ untuk dipatuhi lewat ancaman kekuatan aparat bersenjata. Kalau tidak, hukum laba sebesar-besarnya tetap berlaku. Juga bagi saudagar Bugis dan Makassar. Pengamatan saya di Tanah Papua (1982 s/d 1987) menunjukkan bahwa toko-toko milik orang Bugis dan Makassar, ikut mengawetkan ketergantungan sebagian penduduk asli pada minuman beralkohol, mulai dari bir s/d whiskey. Juga, banyak tanah penduduk ash di pesisir Merauke dan di Teluk Yotefa beralih ke calo-calo tanah asal Sulawesi Selatan, hanya dengan imbalan beberapa peti bir.
***
AKHIRNYA, saya ingin mengritik satu pengelompokan bahasa yang digunakan oleh Pelras untuk menggambarkan gelombang migrasi orang-orang Austronesia ke Sulawesi Selatan, kira-kira 3.000 sampai 2.500 Sebelum Masehi. Kelompok bahasa itu disebutnya sebagai kelompok bahasa “Kaili-Pamona” (hal. 42, 394), yang diciptakan oleh para misionaris SIL (Summer Institute of Linguistics) yang bekerja di Sulawesi Tengah tahun 1980-an. Kelompok itu yang dianggap merupakan kelompok bahasa terbesar di Sulawesi Tengah, yang oleh seorang peneliti berdarah Kaili dan Bugis, Masyhuddin Masyhuda, dibagi ke dalam empat kelompok etnis, yakni (a) orang Kaili; (b) orang Kulawi, termasuk penutur bahasa Moma dan Uma; (c) orang Lore, yang terbagi dalam tiga kelompok sub-etnis, yakni Napu, Besoa, dan Bada; serta (d) orang Pamona (Aragon 2000: 54).
Berbeda dengan Lorraine Aragon, saya tidak merasa kita perlu mengadopsi satu pengelompokan, hanya karena SIL yang mengusulkan, dan “no outsiders know Central Sulawesi languages than the senior SIL missionaries who retained permits in the region for decades” (op. cit.). Sebab bahasa-bahasa dari keempat kelompok etnis, menurut pembagian Masyhuda, juga masih dapat diperdebatkan, apakah betul dapat dihimpun dalam satu kelompok bahasa. Dari penelitian saya sejak Juli 2002 di Sulawesi Tengah, tiga di antara keempat kelompok itu - Kaili, Lore, dan Pamona - cukup berbeda. Dalam bahasa Melayu-Palu/Poso, “dorang to bisa baku mangarti” (mereka tidak dapat saling memahami). Orang Kaili dapat dibagi dalam orang Kaili di pegunungan dan dataran tinggi dengan orang Kaili di dataran rendah seputar Teluk Palu. Yang di pegunungan dan dataran tinggi, dapat dibagi atas orang Da’a, Unde, Inde, Ija, dan Moma. Yang terakhir itu, Moma, digolongkan oleh Masyhuda, sebagai salah satu bahasa Kulawi, tapi menurut ahli budaya Kaili, Suaib Djafar Sikopa, termasuk sub-etnis Kaili. Sedangkan di dataran rendah di kota Palu dan sekitarnya, orang Kaili hanya terbagi atas dua sub-suku besar, Ledo dan Rai. Sedangkan lingua franca di antara tujuh sub-suku Kaili itu, baik yang tinggal di pegunungan, dataran tinggi, maupun dataran rendah seputar Teluk Palu, adalah bahasa Kaili Ledo.
Bahasa ketujuh subsuku Kaili itu, yang terhimpun dalam Pitunggota Ngata Kaili, sangat berbeda dengan ketiga bahasa Lore, Napu, Besoa, dan Bada, maupun bahasa-bahasa Pamona. Kelompok mayoritas di antara penduduk asli Kabupaten Poso itu, juga terbagi atas tujuh subsuku, yakni To Wingke mPoso atau To Wingke nDano atau To Rano (orang-orang seputar Danau Poso), To Onda’e, To Lage, To Pebato, orang Pamona Muslim yang berdiam di Kecamatan Ampana, Kabupaten Tojo Una-una, serta dua subsuku di selatan Danau Poso. Kedua suku di selatan danau itu adalah To Lamusa, yang berdiam di Kecamatan Pamona Selatan, dan orang Mungkutana yang wilayahnya termasuk Kabupaten Luwu’ Utara di Provinsi Sulawesi Selatan sekarang. Kedua subsuku Pamona yang terakhir itu sangat dipengaruhi oleh interaksi mereka dulu dengan kerajaan Luwu’. Mereka membayar upeti kepada Datu Luwu’ melalui wakilnya yang berkedudukan di Desa Korobono, Kecamatan Pamona Selatan, yang dulu merupakan pusat kedudukan kerajaan kecil Lamusa. Dua dialek di selatan danau itu agak berbeda. Dialek Lamusa itu masih lebih ‘murni’, dibandingkan dengan dialek Mungkutana, yang banyak dipengaruhi kosakata dan intonasi bahasa To Luwu’, yakni bahasa Tae.24
Ketiga bahasa Lore, yang masih dapat saling difahami di antara orang Bada, Besoa dan Napu, sangat berbeda dengan bahasa-bahasa Pamona dan bahasa-bahasa Kaili, yang barangkali mencerminkan sejarah migrasi To Lore yang lebih tua. Dari sudut budaya kebendaan, khususnya busana adat, ada sedikit persamaan antara orang Lore dengan orang Kulawi, tapi sangat berbeda dari pada orang Pamona dan orang Kaili.
Jadi, kalau di antara keempat sub-kelompok bahasa “Kaili-Pamona” saja ada begitu banyak perbedaan di bidang bahasa maupun budaya kebendaan, apakah kelompok yang dirumuskan oleh para misionaris SIL itu dapat dipertahankan? Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, dari sudut makanan pokok, ada persamaan dalam makanan pokok orang Luwu’ dengan orang Pamona dan orang Mori, yang sama-sama pencinta kapurung alias duwi. Sagu juga termasuk unsur mahar, atau mas kawin bagi orang Pamona, menandakan dalamnya palma itu masuk ke sistem nilai dan struktur sosial mereka. Kesimpulannya, sebaiknya Pelras sedikit hati-hati dalam penggunaan kelompok bahasa ciptaan SIL itu, sebab dapat menyesatkan. Atau, pengelompokan itu sudah tidak dapat dipakai lagi.
SAYA ingin menutup makalah ini dengan mengritik aliran antropologi yang diwakili buku ini. Aliran ini masih sangat Geertzian, yang menghindarkan sorotan terhadap interaksi antara komunitas asli dengan negara (state) dan modal (capital), dan sibuk meneropong aspek-aspek intra- komunitas itu saja. Dalam kasus Manusia Bugis, buku ini malah terjebak dalam bahaya esensialisme, dengan mereduksi keragaman budaya di Sulawesi Selatan dan Barat, menjadi kebudayaan Bugis. Selain karena kedekatan pengarang dengan para informan kuncinya, hal ini mungkin karena absennya Pelras dari gelanggang Sulawesi Selatan dan Barat selama dua dasawarsa, yang ditandai kebangkitan kelompok-kelompok etnis non-Bugis, yang kini semakin terpacu oleh UU No. 32/2004. Tampaknya, sejak terbitnya The Bugis, paradigma antropologi Pelras tidak banyak bergeming menghadapi perdebatan dalam dunia antropologi dan filsafat sosial di negerinya sendiri. Padahal Perancis adalah negara yang paling banyak melahirkan filsuf kontemporer,pasca Perang Dunia II, mulai dari para antropolog Marxis (lihat Godelier 1981 & Bloch 1983), s/d para pemikir posmodernis. Pemikiran kedua aliran itu sangat mempengaruhi pemikiran sosial di dunia, termasuk di dunia Islam. Dari perhitungan saya, 30 dari 50 filsuf kontemporer yang ringkasan pemikirannya dihimpun oleh John Lechte (2001) berasal dari Perancis. Sebagian di antara mereka, yang sangat dikenal dalam dunia Marxis dan post-moderns punya hubungan dengan Aljazair, yang merebut kemerdekaan dari Perancis lewat perjuangan bersenjata, mirip dengan Indonesia. Louis Althusser dan Jacques Derrida yang lahir di Aljazair; Fernand Braudel pernah mengajar di Aljazair kemudian kembali untuk penelitian tesis doktornya tentang wilayah Laut Tengah; Pierre Bourdieu mengajar saat berdinas militer di Aljazair; Philippe Sollers pura-pura menderita skizofrenia untuk menghindarkan wajib militer di sana; sedangkan Marguerite Duras dan Jean-Francois Lyotard aktif berkampanye menentang perang Aljazair (Lechtc 2001: 66, 169, 146, 79, 344, 359, 372).
Berbeda dengan scholarship AS, yang sangat reduksionis tentang Islam, yang begitu mudah mengidentikkan Islam = Arab = teroris + minyak bumi, pemikir Palestina, Edward W. Said, memuji scholarship Perancis yang jauh lebih dewasa dan simpatik terhadap Islam (1981: 120). Kita juga tahu bagaimana interaksi antara kaum progresif Perancis dengan para cendekiawan Dunia Ketiga ikut mengorbitkan Frantz Fanon, Ali Shari’ati, Mohammad Arkoun, dan Hasan Hanafi, serta sangat mewarnai pemikiran Said. Mereka, pada gilirannya melahirkan mazhab ‘Islam Kiri’ dan mazhab poskolonialisme. Buku-buku mereka sudah banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sementara itu, pemikir-pemikir radikal muda pun sudah bermunculan di Indonesia, diperkaya oleh Marxisme dan posmodernis Perancis, seperti Ahmad Baso (1999, 2005) dan Nur Kholik Ridwan (2002).
Dunia antropologi di Indonesia pun mulai melirik ke khazanah pemikiran posmodernis Perancis, untuk mencari paradigma baru. Suatu perspektif Kiri dan poskolonialis, yang tidak terpaku pada glorifikasi bangsa-bangsa pribumi, tetapi lebih mengarah ke pergumulan melawan neo-liberalisme. Imperialisme baru, yang tidak saja hadir dalam bentuk Bank Dunia, IMF, WTO serta TNCs, tapi juga dalam cara berfikir rasional-instrumentalis serta pola hidup yang materialistis. Makanya, ada antropolog yang mulai membaca penolakan Lyotard terhadap narasi besar, konsep pouvoir-savoir Foucault, serta dekonstruksi Derrida (lihat Saifuddin 2005).Dalam bedah buku ini, saya coba terapkan pemikiran ketiga posmodernis itu. Pemikiran Lyotard (Griffioen 1993) saya ikuti dengan membongkar narasi besar seolah-olah kebudayaan Bugis berevolusi secara liner dari La Galigo hingga kebudayaan Bugis masa kini. Saya turuti anjuran Foucault (Gordon 1980) untuk membebaskan pengetahuan-pengetahuan yang tertindas oleh pengetahuan dominan yang berfungsi mempertahankan hegemoni Bugis. Hegemoni itu saya coba dekonstruksi a la Derrida (Sumarwan 2006) dengan menolak dikotomi superior versus inferior dalam menyoroti kebudayaan-kebudayaan di Sulawesi Selatan & Barat, dengan menampilkan budaya-budaya non-Bugis yang dibungkam.
Semoga ada gunanya untuk penulisan edisi kedua Manusia Bugis, dengan judul yang lebih mencerminkan isinya. Salam.

Yogyakarta, 14 Maret 2006.

0 komentar:

Post a Comment