Tulisan dibagi dalam 2 postingan yang disajikan pada blog ini pada halaman berbeda yang dibuat oleh Ibu Irini Dewi Wanti,SS,MSP sangat berguna dalam sejarah Bugis Makassar dan Aceh.
Semoga bermamfaat ....
HUBUNGAN ACEH DENGAN BUGIS DALAM CATATAN SEJARAH BAGIAN I
Oleh : Irini Dewi Wanti,SS,MSP.
I. Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.
Kondisi ini memungkinkan adanya pembauran antara berbagai suku bangsa dalam satu daerah. Contohnya di Aceh hingga saat ini ada masyarakat di daerah Pidie melihat dari profilnya mirip dengan orang Tamil di India, sedangkan di Lamno ada masyarakat dengan warna mata biru mereka awalnya adalah komunitas sendiri keturunan Portugis. Begitu juga dengan Cina dan Arab juga bagian dari prototype orang Aceh.
II. Asal Usul Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis
Selanjutnya siapakah masyarakat Bugis yang ada di Aceh dan bagaimana keberadaannya di daerah itu ? Historiografi tradisional yang pernah berkembang di Aceh menyebutkan silsilah Sultan Aceh keturunan Bugis diawali dengan kisah seorang yang bernama Daeng Mansyur dari Wajo (kini salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan). Ia seorang anak raja yang terdampar di perairan Pidie (Kini Kabupaten Pidie di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Disisi lain kita akan bercerita tentang sebuah kampung (Aceh: Gampong) yang bernama Reubee ( kini di Kecamatan Delima di Kabupaten Pidie). Di kampung ini terkenal Dayah yang dipimpin oleh ulama bergelar Teungku Chik di Reubeë. Daeng Mansyur menikah dengan seorang puteri anak Teungku Chik di Reubee tersebut dan dikaruniai dua orang anak, seorang perempuan yaitu Putroë Suni dan anak laki-laki bernama Zainal Abidin.
Dalam catatan sejarah, masyarakat turunan Bugis yang ada di Aceh tidak terlepas dari sejarah Sultan Iskandar Muda. Awal dari sultan Aceh berdarah Bugis dimulai dengan pernikahan Iskandar Muda dengan Putroë Suni anak Daeng Mansyur (menantu Teungku Chik Di Reubee). Putroë Suni ketika dewasa dipersunting oleh Sultan Iskandar Muda sedangkan Zainal Abidin hijrah ke Aceh Besar selanjutnya terkenal dengan nama Teungku di Lhong dan ia mempunyai putra bernama Abdurrahim Maharajalela.[2]
Penulis Belanda juga menyebutkan tentang asal usul masyarakat Bugis yang ada di Aceh dengan menyebutkan adanya tiga orang ulama di Pidie berasal dari Sulawesi Selatan yaitu Teungku Seundri (sebenarnya adalah Sidendreng dalam logat Aceh disebut Seundri), Teungku Sigeuli yang namanya akhirnya diabadikan menjadi nama Kota Sigli, dan Daeng Mansur dari Wajo.[3] Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1590 pada masa pemerintahan Sultan Saidilmukamil (1588-1604). Sebelum Sultan Saidilmukamil kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Ali Riayat Syah atau Raja Buyung (± 1586-1588). Iskandar Muda memerintah kerajaan Aceh Darussalam dengan sangat bijak sehingga kerajaan Aceh mencapai masa gemilang. Perkawinannya dengan Putroe Suni dikaruniai seorang anak perempuan bernama Safiatuddin Syah. Safiatuddin menikah dengan Iskandar Thani berasal dari Pahang. Maka inilah awal dari adanya pemerintahan Sultanah dan Sultan keturunan Aceh-Bugis di Kerajaan Aceh Darussalam.
Bersambung di Postingan berikutnya
HUBUNGAN ACEH DENGAN BUGIS DALAM CATATAN SEJARAH BAGIAN II
* Sejarah beberapa Raja-Raja Aceh Keturunan Bugis Makassar
CATATAN KAKI
[1] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampaiImporium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 4.
[2] Tuanku Abdul Jalil, Peranan Aceh-Bugis Menghadapi Inggris dan Belanda, makalah Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XII, (Medan : Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 12-15 Juli 1994).
[3] Ibid., Sumber ini mungkin dapat dibaca lebih lanjut pada T.J.Veltman, Nota over de Geschiedenis van Het Landschap Pidie, TBG, : 58,1919, hlm. 79-87,101.
[4] Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan (ed.), Wanita Utama Nusantara Dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta : Jayakarta Agung Offset, 1994), hlm. 42.
[5] Masalah federasi pemerintahan di Kerajaan Aceh ini dapat dibaca dalam Van Langen, K.F.H “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat” BKI 37,1888. dan buku Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad Jilid I,
[6] Ibid., Lihat juga Mohammad Said Atjeh Sepandjang Abad,
Sumber dari : IRINI DEWI WANTI http://alyasri.blogspot.com/
0 komentar:
Post a Comment