Nov 4, 2010

* Kekuatan Ekonomi dalam Perdagangan Pelaut Bugis Makassar

Oleh Noor Sidin

Gambaran tentang kerajaan besar, masing-masing terdiri dari satu atau beberapa wilayah baik yang memiliki otoritas atau semi otoritas dalam kebijakan. Ada beberapa kerajaan tersendiri dalam proses kebijakan dan pusat politik. Walaupun ada juga dua atau lebih kerajaan yang kebijakannya ditentukan pada satu puast kerajaan tertentu dalam wilayah semacam persemakmuran yang di mana sitemnya selalu berjalan pada sistem elit politik kerajaan saat itu dimana yang salin berkaitan satu sama lain. Yang bisa jadi merupakan hasil dari sebuah penjabaran semata.

Ekonomi yang juga dasar kekuasaan politik, merupakan kontrol atas perdagangan dan pertanian. Pada suatu kerajaan atau sebuah kelompok persemakmuran dari kumpulan beberapa kerajaan.

Mungkin selama ini semua tertuju pada pulau Jawa dan Sumatra akan hasil penelitian arkeologi walapun pada dasarnya pulau Sulawesi dan khususnya propinsi Sulawesi Selatan salah satu daerah yang memiliki sumber hasil temuan arkeologi terkaya terutama hasil temuan berupa keramik dan tembikar yang berasal dari Asia khususnya Cina. Namun sayang hasil temuan para arkeologi selama ini masih kurang di publikasikan secara meluas.

Beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan khususnya bila kita menyebut Bugis – Makassar merupakan salah satu masyarakat yang memiliki peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara pada kurun waktu abad ke 15 M hingga 18 M. Dari beberapa data akan hasil penggalian di beberapa daerah di Sulawesi Selatan adanya perdagangan keramik yang berasal dari China ini ditunjukkan dari temuan beberapa keramik yang berasal dari abad china pada masa abad ke 13 hingga 16 M, sementara yang berasal dari wilayah lain di asia yang lebih kecil, mungkin sekitar 10% .(07.1983:77).
Menurut pedagang antik di Ujung Pandang dan Palopo, sebagian dari potongan-potongan barang antik berupa keramik dan lain sebagainya ditemukan di Luwu dan Selayar. Walaupun ada juga Keramik berasal dari abad 13 M atau abad 15 M juga dapat ditemukan di daerah pedalaman lembah Walennaé , Dari hasil penggalian di lembah sungai Walanae yang di fokuskan dari berupa reruntuhan situs dan makam-makam kuno yang paling banyak ditemukan adalah keramik Cina yg berasal dari abad ke 16 terutama wilayah Sarepao (11.1992: Ch 5-13.).





Seperti di daerah lain di Indonesia dan beberapa di kepulauan Filipina, kegiatan perdagangan berupa perdagangan keramik terutama yang ditemukan di daerah Sulawesi Selatan pada umumnya bukan sebagai tanda awal hubungan perdagangan internasional, tetapi merupakan dari sebuah kepentingan ekspansi Cina dalam kegiatan perdagangan dan juga faktor keberhasilan Cina pada perdagangan di era Sriwijaya. Terutama perdagangan Asia Tenggara di kurun waktu abad ke 9 M.
Perdagangan adalah bagian penting dari ekonomi politik kerajaan pra-Islam Sulawesi Selatan. Ekonomi politik kerajaan Luwu, yang diyakini telah menjadi kerajaan besar pertama di Sulawesi, akan tampaknya telah hampir seluruhnya didasarkan pada perdagangan.

Selama ini Luwu yang merupakan salah satu penghasil sagu (20.1984: 85); Dan Sehingga sulit juga menentukan pusat kerajaan Luwu sampai saat ini karena bila dilihat dalam faktor perdagangan terutama hasil pertanian. Ibukota Luwu saat ini yang sering dipandang adalah Palopo ini tidak bisa diambil acuan karena faktor geografi yang kurang baik dalam pola pertanian. Seperti areal persawahan hanya bisa dilihat sebagian besar di selatan Palopo, dan bila melihat dari bibir dan sepanjang pantai sangat sempit dan polos. Dari symbol dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa pusat istana kerajaan Luwu pada abad 12 hingga 16 M tidak berada di Palopo tetapi Ibukota dan istana kerajaan Luwu itu berada di Pattimang Lama, dekat Malangke, sekitar pertengahan jalan sepanjang pantai antara Palopo dan Malili.
Sehingga dari sini para penguasa Luwu mengontrol rute perdagangan keluar dari tengah dan barat dataran tinggi dan terutama ekspor besi dari danau Matano. Ekspor Luwu yang utama saat itu adalah Damar dan beberapa hasil sumber daya alam (09.1993a, 1993b).

Dalam kronik Wajo (01. 1985) pada awal abad 16M beberapa Raja dari kerajaan Luwu melakukan upaya perluasan daerah hingga ke wilayah Sungai Cenrana untuk mencari daerah-daerah ideal dalam upaya untuk mengontrol perdagangan yang dapat dilakukan sepanjang sungai antara pantai dan pedalaman terutama di lembah-lembah sungai Walannaé dan Cénrana. Dan Kerajaan terkait saat itu adalah di bawah kontrol kerajan Kuno yang sejaman dengan Luwu yaitu Kedatuan Cinna yang erat hubungannya dengan Luwu dalam I La Galigo, yang memiliki wilayah di semua lembah sepanjang sungai Walanae (09.1988:207-11). Seperti Baringeng, Pammana, Tétéwatu dan lainnya. Dan Ibukota yang terletak di hulu lembah sungai Cénrana dan Walanae namun memandang kerajaan ini lenyap ini karena keruntuhan yang merupakan struktur kerajaan keluarga yang saling berkaitan dan Walaupun akhirnya timbul daerah yang dahulunya masuk Kedatuan China akhirnya mendirikan sebuah kerajaan baru dengan ciri khas dari nama kampung tersebut seperti Pammana dan Baringeng dan dengan tetap menggunakan istilah Kedatuan pada sistem pemerintahannya yang rajanya disebut Datu (01.1983:220).

Data-data dari sumber tertulis pun sulit pada periode pra-Islam karena pada umumnya membahas akan status dan kekuasaan, dan membuat tidak ada referensi langsung untuk membahas sytem perekonomian dan perdagangan secara lebih baik.
Hanya bukti-bukti arkelologi yang bisa membantu dan menawarkan bukti yang bernilai pada sitem perdagangan kerajaan Luwu, kedatuan Cina atau Kerajaan lain yang sezaman saat itu seperti Wewan Riwu atau Bantaeng pada pra Islam (09.1988:78).
Dalam hasil temuan arkeologi di beberapa wilayah wilayah di Sulawesi Selatan Ditetapkan tujuh nama daerah , yang dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok, sekitar 30 daerah , mengacu pada permukiman di wilayah kabupaten Luwu , dan kelompok kedua dari 40 tempat merujuk pada permukiman di selatan dan pantai barat semenanjung. Sebagian besar terletak antara Takalar dan Bantaeng. Yang menjadi acuan akan Luwu dan bantaeng selama ini karena kedua daerah Luwu dan pantai selatan yang disebut Bantaeng , juga terkait dalam naskah tua kerajaan Majapahit yaitu Nagarakertagama, (18.1962:17).

Dalam buku Pigeaud mengidentifikasi Bantayan sebagai Bantaeng dan Luwuk sebagai Luwu atau mungkin Luwuq, kemudian Uda merupakan sebuah pemukiman di pantai selatan-timur Sulawesi Tengah. Yang diidentifikasi sebagai kepulauan Talaud (18.1962:34). Walaupun gambaran Pigeaud dalam bukunya akan Identifikasi ini dipertanyakan: Luwu dan pulau-pulau Talaud tidak berada pada rute perdagangan abad 16 M ke Filipina atau pulau-pulau rempah-rempah ini sesuai dengan buku (17.1962:84, 86-7), dan tidak dikenal memiliki punya Ekonomi atau politik penting Pada 16 M. Karena abad ke 16 terutama bagian pantai selatan dan hampir seluruh pantai Sulawesi Selatan menjadi terpusat ke kerajaan Gowa, sehingga politik aliansi pun terjadi seperti wilayah Ajattapareng dan beberapa wilayah yang dahulunya wilayah Luwu pun lebih memilih bergabung ke Gowa sehingga era abad ke 16 M menjadi titik kemunduran Luwu dalam sytem perdagangan dan dengan kemunduran Kedatuan Cinna sebelumnya yang wilayahnya akhirnya dibagi dua kerajaan besar yang muncul yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo.

Dalam beberapa catatan yang ada selama ini akan Luwu menjadikan Luwu adalah penghasil namun sebagai pemain dalam penyebaran hasil-hasil tersebut adalah beberapa kerajaan lain sehingga kerajaan Gowa yang berada pada posisi sangat strategis mengambil peranan dan menjadikan pusat perdagangan apalagi hubungan dengan beberapa kerajaan di wilayah Jawa.Di abad ke 15, Kemudian rute perdagangan dari Jawa ke Maluku sudah dikenal sejak di paling tidak abad keempat belas dan mungkin dari awal abad 10 dan meletakkan posisi kerajaan Gowa cukup dekat.
Rute perdagangan langsung melalui pantai utara pulau Sunda kecil kemudian rute lain yang mengarah ke utara dari Sumbawa ke pantai selatan Sulawesi Selatan, kemudian ke timur melalui Selayar dan Buton ke Maluku.

Sehingga dari semua rute perdagangan yang ada membuat posisi kerajaan Luwu memberikan penjelasan yang kuat adalah penghasil semua hasil perdagangan yang ada. Namun karena merupakan kerajaan tertua menjadikan Luwu lebih dikenal di Kerajaan-kerajaan di Nusantara apalagi hubungan dengan kerajaan besar seperti Majapahit.
Apalagi diperkuat dengan penghasil besi dengan kualitas yang sangat baik sehingga membuat perdagangan dengan dunia eropa pun menjadi terbuka terutama dengan kehadiran Belanda (02.1670:43),

Terlebih dukungan dengan kualitas besi yang dimiliki dan berupa campuran dengan beberapa zat lain seperti nikel, telah diperdagangkan ke Jawa, ini pun sampai bahkan hari ini kualitas tertentu tatahan besi-nikel dalam bilah Jawa keris disebut pamor Luwu (16.1987:13).

Apakah perdagangan hasil kerajaan Luwu yang dibawa oleh pelaut Bugis-Makassar ? Petunjuk dari Sumber Asing tentang “zingly” di Makasar dan keterlibatan Bajau dalam perdagangan maritim di abad ke 15 M – 16 M sangat lebih memberikan gambaran yang baik.

Dan ada juga bila dilihat pada sumber Sejarah Melayu yang menceritakan sebuah serangan terhadap Malaka oleh Semerluki, 'Raja Mengkasar', pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (15.1952:99-100),

Pada buku Tomé Pires yaitu 'Suma Oriental yang menjelaskan Bajau
dari Sulawesi (14.1983:127). Pires memberikan data-data kuat akan peranan Bajau
Peranan Pelaut Bugis Makassar yang ditulis Macknight (1983:100) memberikan gambaran luas akan non-Bajau dalam pelaku perdagangan antara pantai barat semenanjung dan Malaka. Sehingga kehadiran para pendatang dari Eropa seperti Portugis,Inggris terutama Belanda ini didasari akan kontak dagang yang dilakukan di wilayah Jawa dan Malaka saat itu. Dan Tradisi lisan Jawa akan hubungan tersebut adalah penyebut Bantaeng dan Selayar (1. 1971:65 ).

Sumber-sumber Sulawesi Selatan untuk memperkuat peran pelaut Bugis-Makasar dalam proses perdagangan pada abad ke 16 M . Adalah akan catatan Kerajaan Talloq yang menegaskan akan Raja Talloq yang mengunjungi Malaka dan johor pada abad ke 16M dengan tujuan memungut utang (19.1975:9),
Walaupun perdagangan antara kepulauan tampaknya sebagian besar di tangan pedagang Melayu dan mungkin Jawa dan Bajau (14.1983:135).

Dan Perdagangan ini juga bisa dilihat dari sumber tertulis akan perdagangan ke arah timur sampai Nusa Tenggara dan Maluku dengan ditemukan dalam sebuah silsilah yang terkait dengan Déwaraja, yaitu penguasa awal abad 16M kerajaan Luwu. Silislah tersebut menegaskan catatan ayah yang 'Déwaraja adalah Sangaji Batara, yang pergi ke Timoroq untuk menikah. Dia memiliki seorang anak bernama Déwaraja. [...] Déwaraja kembali ke Luwuq dan menikah dengan putri Datu dari Luwu, namanya La Malalaéq.
Timoroq dalam Bugis adalah nama untuk pulau Timor, dan silsilah bisa diartikan sebagai merujuk ke cabang keluarga yang berkuasa kerajaan Luwu hidup di Timor pada awal abad 16M.

Jika benar, ini akan menjadi bukti paling awal yang kita miliki untuk keterlibatan Bugis-Makassar karena dalam era Dewaraja sebagai Raja Luwu memilki ikatan darah dengan kerajaan-kerajan lain di wilayah Sulawesi Selatan teruma Kerajaan Wajo dan Gowa.Ini memberikan dampak luas akan peranan bugis Makassar pada proses perdagangan. Terutama pedagang yang berasal dari kerajaan Wajo sebagai imbas dari perang Makassar Apalagi akan penemuan di wilayah kerajaan Soppeng terutama Tinco, menghasilkan lebih dari dua ribu pecahan dari impor keramik Cina dan Asia Tenggara yang berasal dari abad 12 M (13.1989:48). Penemuan luar biasa luar biasa di Tinco, memberikan penguatan bahwa Bugis-Makassar merupakan pelaku perdagangan saat itu.

Kemudian dengan kehadiran beberapa daerah di wilayah Kerajaan Wajo dimana ada beberapa daerah yang merupakan penghasil kain sutra yang sangat baik di abad ke 16M Ini pun akhirnya bantuan dengan pelabuhan utama selain Kerajaan Gowa adalah wilayah Persatuan Ajatappareng dengan pelabuhan utama adalah Suppa (12).
Macknight telah menjelaskan sangat baik bahwa sekitar abad 14M ada pergeseran penting di dasar kekuasaan politik di hampir seluruh kerajaan-kerajan di Sulawesi Selatan , (07).

Sehingga Peranan saat itu beberapa kerajaan Besar berupaya membangun pelabuhan sendiri seperti Kerajaan Bone lalu penaklukan Kerajaan Wajo dengan merebut wilayah Keeera dari Kerajaan Luwu saat itu. Kemudian wilayah Ajatapareng yang merupakan kumpulan kerajaan-kerajaan membangun wilayah Pare-Pare sebagai pelabuhan utama disaat itu pula .

Sumber Utama :
01. I. Caldwell Power, state and society among the pre-islamic Bugis In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 (1995), no: 3, Leiden, 409 - 413
Sumber Tambahan :
01. Zainal Abidin, Andi, 1983 Persepsi orang Bugis, Makasar tentang hukum, negara dan dunia luar, Penerbit Alumni Bandung
02. Speelman, C, 1670, 'Notitie dienende voor eenen korten tijd en tot nader last van de Hoge Regering op Batavia voor den ondercoopman Jan van Oppijnen',
03. Pelras, C, 1971, The Bugis, Oxford: Blackwells
04. Noorduyn, J., 1965, 'Origins of South Celebes historical writing
05. Matthes, B.F., 1875, Kort verslag aangaande alle mij in Europa bekende Makassaarsche en Boeginesche handschriften Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenootschap.
06. Macknight, CC, 1983, 'The rise of agriculture in South Sulawesi before 1600',
07. Macknight, C.C., and Mukhlis, forthcoming, The chronicle of Bone
08. Chabot, H.T., 1950, Verwantschap, stand en sexe in Zuid-Celebes, Groningen: Wolters
09.Caldwell, I.A., 1988, 'South Sulawesi A.D. 1300-1600; Ten Bugis texts'. Australian National University, Canberra.
10. Andaya, L.Y., 1975, The kingdom of Johor 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford University Press
11. Bulbeck, F.D., 1992, 'A tale of two kingdoms; The historical archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia, Australian National University, Canberra
12. Stavorinus, J.S., 1798, Voyages to the East-Indies; Volume 2, London: G.G and J. Robinson.
13. Bahru Kallupa, et al, 1989, Survey pusat kerajaan Soppeng, Canberra: Final report to the Meyer Foundation
14. Reid, A., 1983, 'The rise of Makassar
15. Brown, C.C. (ed.), 1952, 'The Sejarah Melayu or "Malay Annals";
16. Bronson, B., 1987, 'Terrestrial and meteoritic nickel in the Indonesian keris
17. Meilink-Roelofsz, M.A.P., 1962, Asian trade and European influence in the lndonesian archipelago
18. Pigeaud, Th.G.Th., 1962, Java in the fourteenth century; A study in cultural history
19. Abdul Rahim, and Ridwan Borahima (eds), 1975, Sejarah Kerajaan Tallo
20. Takaya, Y., 1984, 'Two sago villages in South Sulawesi

2 komentar:

As-Syajarah said...

Pusat Kerajaan Luwu periode Lagaligo terletak di Luwu Timur. Makassar (Selayar n Bantaeng) sebagai tempat controlling.

Passompe said...

Terima kasih Pak As-Syajarah . atas ..Komentarnya ...
Menurut yang bapak ketahui perkiraan Periode La Galigo disekitaran abad ke beberapa ya...??

Diats..kami hanya mengacu dari beberapa sumber dari tulisan dan buku-buku sehingga sangat berterima kasih kalau Bapak berkenan ..memberikan penjelasan yg sangat berharga perihal Pusat kerajaan Luwu terletak di Luwu timur pada periode La galigo..
Tabe...

Post a Comment