Nov 12, 2010

* Sawerigading dan La Galigo Ke Senrijawa ( Bagian 1 )

1. Sawérigading mendatangi isterinya yang bernama I Wé Cudai memberitahukan bahwa anak angkatnya yang bernama La Mappanyompa mengundangnya ke Senrijawa untuk menghadiri uapacara yang diadakan oleh saudaranya.

2. Utusan pembawa undangan itu juga mengundang anak datu tujuh-puluh, sambil mengatakan bahwa sejak bulan lalu dia mengantar juga undangan ke Tompo Tikka, Singki Wéro dan Lau Saddeng.

3. Anak datu tujuh-puluh sedang asyik menyabung ayam di gelanggang, sedang Wé Tenridiyo yang bergelar Batari Bissu anak Sawérigading yang dinasibkan menjadi bissu sejak kecil, menengadah ke langit berkomunikasi dengan orang kayangan suami langitnya yang bernama To Sompa Riwu.

4. To Sompa Riwu turun dari langit menjemput Wé Tenridiyo menaikkannya ke Boting Langi. Dalam perjalanannya ke Boting Langi, dia melihat dunia yang ditinggalkan itu besarnya hanya bagaikan sebua kempu.

5. Setiba Wé Tenridio di Boting Langi, dia mendengar dari bawah bunyi gendang besar, gendang upacara Wé Tenribali saudara La Mappanyompa, yang sedang mengadakan upacara di Senrijawa.

6. Wé Tenridio meminta kepada suaminya agar dapat diturunkan sebentar ke Senrijawa untuk menyaksikan upacara seppunya itu, tanpa dapat dilihat oleh orang lain.

7. Setibanya di Senrijawa, dia melihat menyaksikan ada tiga ratus orang anakarung yang memegang peralatan bissu dan menyaksikan juga kecantikan Wé Tenribali saudara La Mappanyompa.

8. To Sompa Riwu meminta kepada Wé Tenridiyo agar dapat menampakan dirinya supaya dapat dilihat dan dijemput kedatangannya oleh Wé Tenribali.

9. Wé Tenridiyo pun menampakkan diri dan dijemput oleh Wé Tenribali, tetapi karena tidak mau duduk kalau bukan tikar-guntur yang diduduki sedang di Senrijawa tidak ada tikar yang demikian, maka neneknya yang ada di Boting Langi segera menurunkan tikar-guntur untuk diduduki oleh We Tenridiyo.

10. Bagaikan bara menyala kelihatan di dalam bilik tikar-guntur yang diturunkan dari langit itu. (ceritera tidak bersambung seperti ada halaman hilang)

11. Setelah selesai menyabung ayam di gelanggang, To Sompa Riwu yang bergelar Datunna Soppéng, masuk ke dalam bilik, Wé Tenridiyo tidak nampak. Rupanya dia sedang turun mandi pada piring manurung, tidak mau berhenti.

12. Datunna Soppéng menanggalkan pakaiannya lalu melompat masuk ke dalam air untuk menjemput isterinya, tetapi tidak bisa di tangkap karena bereobah menjadi bayangan.

13. Datu Soppéng membujuknya, khawatir nanti sakit isterinya, tetapi We Tenridiyo tidak mau. Dia mau berhenti mandi kalau dijaring dengan sarang laba-laba yang tali penariknya dari seutas rambut. Sampai tengah malam mereka berdua terus terapung di atas air.

14. Datu Wéttoing di Boting Langi memaklumi hal ini. Segera memerintahkan agar laba-laba emas dikeluarkan dari sarangnya untuk membuat sarang dan mencabut selembar rambutnya sebagai tali penariknya untuk menjala Wé Tenridio

15. Dengan perasaan geli dia menerima dan memperhatikan jala sarang laba-laba emas itu, diapun menjala isterinya, menaikkannya kemudian mengganti pakaiannya lalu pergi tidur. Tidur berbulan madu sepanjang malam.

16. Puluhan ribu pendamping Sawérigading, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh beriringan di tengah laut, saling bersorakan menuju ke Senrijawa menghadiri upacara saudara La Mappanyompa. La Mappanyompa adalah anak angkat Sawérigading.

17. Dalam pelayarannya ke Senrijawa mereka singgah di suatu pulau dan memerintahkan supaya Ladunrung Séreng, komandan burung beserta kelompoknya pergi mencari mangga manis yang ada di pulau itu. Hanya sebuah mangga saja yang didapat.

18. Sawerigading pun mengatakan, ’’Tak sampai hatiku memakan buah mangga ini tanpa ibu Wé Tenridiyo (I Wé Cudai). Antarlah buah ini ke Latanété supaya dia makan saja dengan anaknya.’

’19. Sesampai di Latanété, Ladunrung Séreng memberikan buah itu kepada I Wé Cudai sambil menyampaikan pesan. I Wé Cudai menerimanya sambil menitipkan juga makanan kesukaan Sawérigading.

20. Di tengah laut bertemulah rombongan perahu To Palennareng yang juga akan menuju ke Senrijawa, sebagai pengganti diri Batara Lattuk orang tua Sawérigading, yang tidak berkesempatan hadir.

21. To Padamani (La Galigo) menatapkan mata memperhatikan keberangkatan perahu La Tenroaji itu sambil berkata, ’’Memang cantik sekali kelihatan Wé Tenriolle isteri La Tenroaji tadi. Mudah-mudahan dia bercerai, lalu aku memperisterikannya.’’

22. Tertawa orang semua, To Appemanuk juga mengatakan, ’’Mengapa engkau mencintai orang yang lebih tua dari ibumu. Mudah-mudahan engkau beruntung Galigo, engkau dapat mrngawininya kalau dia bercerai dengan suaminya.’’ La Mssaguni juga berkata, ’’Kalau demikian, Wé Walek itu dinasibkan tak jauh dari orang Luwu, karena Sawérigading juga pernah kawin sembunyi dengan dia sewaktu kecilnya.

23. Rupanya sudah dinasibkan anaknya lagi mengganti bapaknya, melilitkan lengan pada pinggang Wé Walek serta membantalkan pada lengan La Galigo.’’

24. Berteriak bergembira semua di sekeliling perahu Lawélenréng. Bagaikan mau tumpah air laut. To Palennareng mengatakan, ’’Rupanya kau Opunna Warek, sudah menyerahkan kekuasaan besarmu, jabatan kekuasaanmu, kedudukan tinggimu kepada To Botoé (La Galigo).’’ Dijawab oleh Sawérigading bahwa memang La Galigolah yang sudah dinaungi payung manurung memerintah kolong langit, permukaan bumi.

25. ‘’Sayang sekali engkau tidak mengizinkannya ke Luwu bertemu dengan kedua Sri Paduka orang tuamu yang sudah lama sekali mereindukanmu,’’ Ujar To Palennareng. Dijawab oleh Sawérigading, ’’Saya tak dapat berpisah dengan dia. Mudah- mudahan keturunannya nanti yang dapat menggantiku ke Luwu.’’

26. Rupanya ada utusan Opunna Wadeng menunggu di tengah laut menjemput dan mempersilahkan Sawérigading singgah dahulu di Wadeng untuk menikmati perjamuan Wé Tenrirawé isteri Opunna Wadeng, sepupu sekali Sawerigading. Nanti bersama sama dengan rombongannya menuju ke Senrijawa.

27. Penjemputan dipersiapkan secara besar-besaran. To Palennareng bertanya kepada Sawérigading tentang ucapannya dulu mau mengawini Wé Tenrirawé, sepupu sekalinya yang telah diperisterikan oleh Opunna Wadeng.

28. Sawérigading memberi jawaban bahwa keinginannya itu dibatalkan setelah dia memperisterikan I Wé Cudai. Memang sebelum itu, pikirannya tak pernah melupakan kecantikan Wé Tenrirawé.

29. Rombongan Sawérigading sudah mendekat di pantai Wadeng. Akan dijemput secara besar-besaran. Tak berhenti-hentinya senapan dibunyikan. Bunyi gendang kerajaan dipukul bertalu-talu pertanda bahwa keturunan manurung di Luwu akan tiba di pelabuhan

30. Bagaikan banjir datangnya penjemput di pantai. Opunna Wadeng datang dengan segera, bergegas tanpa menaiki usungn keemasan lagi.

31. Sawérigading terheran-heran sambil bertanya kepada La Sinilélé, ’’Mengapa keadaan laut di luar pantai Wadeng jauh sekali bedanya dengan keadaan waktu kita datang pada beberapa tahun yang lalu.’’ Dijawab oleh La Sinilélé bahwa memang kita masuk dari arah yang lain. Kita ini melalui simpang arus laut yang angker.

32. Kelihatan tinggi melangit arus yang berpapasan. Kabarnya di sinilah biasa berkubur perahu besar pelaut. Sawérigading berkata, ’’Mari kita tantang keangkeran samudra ini, supaya penghuninya jangan merasa sombong terus.’’

33. Perahu rombongan Sawérigading menerobos arus pusaran air raksasa yang diiringi kilat guntur dan petir yang menyebabkan perahu rombongan Sawérigading tertahan dihantam arus.

34. Sawérigading mengeluarkan ilmu dari tempat sirihnya yang dapat menghembuskan topan, petir halilintar ke laut. Rombongan perahunya dapat melalui gunungan air laut yang biasa ditakuti orang untuk melaluinya sekalipun mereka adalah anak dewa. Tertawa saja La Tenripeppang yang sedang berada di pantai menyaksikan hal itu.

35. Demikian tinggi gunung air laut itu, sampai Sawérigading dapat melihat Jawa Timur dan Jawa Barat, Sama Barat dan Maloku. To Palennareng mengatakan kapada Sawérigading bahwa kalau melihat istana Maloku dan Ternate itu terbayang lagi di hatiku istana La Maddaremmeng waktu kita ke sana.

36. Kenangan itu menyebabkan air mata Sawérigading berlinang linang, mengenang keberadaannya dulu di sana, waktu bertemu perempuan yang bernama Wé Tabacina.

37. Kecantikannya bagaikan anak dewa yang turun dari langit. Suatu malam sesudah makan malam, Wé Tabacina membereskan tempat peraduan Sawérigading.

38. Dibisikkan kepadanya waktu itu bahwa sebenarnya badan ratu yang diinginkan jadikan bantal, dijawab olehnya bahwa siapa lagi yang harus ditaati keinginannya selain orang besar. Diapun tertawa Sawérigading juga terlena, lalu berangkat bersama masuk ke kamarnya.

39. Keesokan paginya sebuah piring nasi mereka berdua Sawérigading mengucapkan bahwa andai dia kembali ke negerinya, dia akan merana dirindu khayal di tengah malam karena mengingat rindu bersamanya di tengah malam. Mungkin salah satu obat untuk mengtasinya adalah membuka jendela dan menjenguk melepaskan pandangan mata kearah Maloku.

40. Dijadikan buah mulut bahwa Wé Tabacina orang Maloku itu tak dinasibkan oleh To Palanroé duduk berjodohan dengan Sawérigading. Diapun menjawab bahwa akan dikenang dan disimpan di dalam perutnya, katakan saja ibunya di Maloku itu mau meletakkan jabatannya untuk Sawérigading tetapi dia tidak mau.

41. Sawérigading mengatakan bahwa makananpun tak dapat kutelan, tak mau lewat di kerongkonganku karena selalu mengenang si cantik molek lagi sangat manis yang pandai mengeluarkan ucapan dan cendekia berfikir itu. Sawérigading menatapkan mata terus arah di mana letaknya istana Maloku itu.

42. Gembira sekali I La Galigo setelah selamat melintasi gunungan air laut dan pusaran papasan pusaran air laut yang angker itu. Rembang tengah hari, rombongan perahu sudah sampai berlabuh di pantai Wadeng, dijemput dengan letusan senapan yang bunyinya bagaikan petir bersambungan.

43. Segera saja Sawérigading naik di pantai digeserkan orang untuk berlalu. Duduk bersama Sawérigading dengan La Tenripeppang, disuguhi sirih sambil mendengar ucapan kuur semangat orang Wadeng kepada Sawérigading atas keikhlasannya singgah dahulu di Wadeng sebelum meneruskan pelayarannya ke Senrijawa.

44. Sudah mendekat juga perahu Lawélenreng tumpangan raja muda La Galigo yang sudah diserahi jabatan menjadi yang dinaungi payung di Luwu. Segera juga dijemput untuk turun ke darat.

45. Kuur semangat diucapkan kepada La Galigo sebagai tamu kehormatan, sebagai tanda gembira. Opunna Wadeng memberi hadiah kepada La Galigo sebuah kampung yang bernama Wadeng Barat yang ditempati gunung emas dapat mengeluarkan emas murni, berpianak bagaikan kerbau. La Galigo dipersilahkan naik ke darat untuk bertemu dengan bibinya (Wé Tenrirawe sepupu sekali Sawérigading)

46. Rombongan La Galigo naik ke darat memenuhi pantai dengan pakaian indah dijemput dengan bunyi-bunyian aneka mcam. Tujuh puluh usungan emas mengiringinya

47. Dijemput dengan upacara bissu oleh Puang Matowa. Bagaikan petir guntur suara letusan senapan sebagai maklumat bahwa tunas dewa menginjak negeri. Gendang emaspun dibunyikan, sekali pukul tujuh kali bergema, gemanya sampai ke langit.

48. Kedengaran juga di seluruh permukaan bumi. Berseliweran orang banyak bagaikan mau runtuh tanah di negeri Wadeng, diberlalukan melalui pancangan umbul-umbul serta diperpatahkan bambu emas.

49. Orang banyak mengagumi kegagahan kegantengan Sawérigading, sambil mengatakan bahwa beruntung sekali orang yang, sedang La Galigo adalah orang muda yang tiada tolak bandingannya, mudah-mudahan beliau mau kawin di negeri kita ini



50. Sudah sampai Sawérigading dan La Galigo di depan istana. Tujuh puluh macam alat perupacaraan yang dipergunakan Wé Tenrirawé ibu La Mappanyompa. Dia mengangkat talam, menaburkan bertih emas waktu menginjak tangga.

51. Bergumam semua orang banyak menyaksikan ketururunan dewa dua beranak. Ibu La Mappanyompa mengucapkan, ’’Kuur jiwamu Opunna Warek, semoga tetap semangat kehiyanganmu, naiklah di istanamu, kupersilahkan semua wahai anak datu tujuh-puluh.’’ Bagaikan topan gemuruh suara tannga yang dilalui.

52. Bergandengan tangan Opunna Warek dan La Galigo memasuki ruang tengah. Penuh sesak istana, dikipas-kipasi oleh dayang-dayang. We Tenrirawé sendiri yang menyuguhkan sirih kepada Sawérigading dua beranak.

53. Sawérigading menjemput sirih pada sepupunya, sedang La Tenripeppang mengangkatkan tempat sirih kepada To Appémanuk dan anak raja pendamping lainnya.

54. Ada tiga ratus pelayan mulia meladeni para tamu. Berseliweran kawah emas tempat bahan makanan para tamu undangan dan orang banyak. Wé Tenrirawépun mempersilhkan makan.

55. ’’Nikmatilah kalian hasil tanahmu di Wadeng.’’ Orang Wadeng mempersilahkan makan sambil mengatakan, ’’Silahkan makan kalian, terimalah juga pemberian kami yang berupa ribuan juak berpontoh, pontoh emas, kado berisi tenunan Melayu.

56. Tak ada perbedeaan Wadeng, Luwu dan Alé Cina. Nikmatilah kalian isi hidanganmu, hanya demikianlah perjamuan orang yang dihanyutkan, orang buangan.

57. Orang yang terbuang di rantau tak ada sanak saudaranya.’’ Pamadeng Letté (Sawerigading) menangis sambil berkata mengatakan, ’’Kita senasib wahai adikku, terbuang bagaikan daun kayu yang diterbangkan angin.’’

58. ’’Kuur semangat dan jiwamu dua bersepupu sekali. Jangan demikian ucapanmu. Tidak ada tempat di permukaan bumi yang bukan milik manurung di Alé Luwu dan Tompo Tikka.’’ Ujar La Tenripeppang Opunna Wadeng.

59. To Palennareng yang sudah datang juga dari Luwu menyampaikan bahwa kedatangannya di Waden adalah mewakili Paduka Raja tuanmu di Aleé Luwu, karena La Mappanyompa datang juga ke Luwu memanggilnya untuk menghadiri upacara di Senrijawa.

60. Paduka Raja tuanmu di Luwu mengatakan bahwa walaupun hanya salah satu anak Sawérigading yang ditempatkan di Luwu, senanglah rasa rindu sedihku. Sawérigading sendiri belum pernah terbayang walaupun hanya berupa mimpi di pelupuk mataku.

61. Selesai makan, para tamupun membersihkan tangannya. Sawérigading bertanya kepada Wé Tenrirawé tentang Tompo Tikka. We Tenrirawé menjawab bahwa telah diutus orang pergi memanggilnya tetapi hanya dia jawab bahwa Pallawa Gauk saja yang disuruh ke Senrijawa menghadirinya (putus cerita di sini, barangkali ada halaman yang hilang)

62. La Massarasa (anak Pallawa Gauk) yang akan singgah nanti di Senrijawa. Dia tidak sempat karena kebetulan akan turun dari langit saudara La Massarasa yang berjodohan dengan orang Boting Langi, La Opu Letté anak sulung We Tenriabeng.

63. To Appanyompa (Sawérigading) bertanya kepada Wé Tenrirawé, apakah selama dia berada di Wadeng, orang tuanya belum pernah datang dari Tompo Tikka. Bagi dia sendiri, Paduka Raja di Luwu mau datang menemuinya di Cina tetpi karena dipantangkan oleh dewa disebabkan karena angkernya sumpah yang pernah diucapkan ’’tidak mau kembali lagi ke Luwu’’.

64. Orang tuaku pernah datang kesini dengan Pallawa Gauk memanggilku kembali ke Tompo Tikka, jawabanku kepadanya hanyalah supaya dia melahirkan saja lagi putri mahkota lalu engkau berikan namaku kepadanya. Kukatakan juga kepadanya bahwa masih terbayang di benakku engkau alirkan aku di laut, supaya kelak aku mati saja di tengah laut.

65. (tidak ada halaman ini)66. Meremas jari saja keduanya sambil mengucapkan kuur semangat kepadaku. Dia juga mengatakan kalau tidak mau tinggal di Tompo Tkka, tinggal saja di Sawang Megga.

67. Aku juga dijanjikan kalau saya mau menjadi penguasa di langit. Walau aku akan mati, aku tidak mau kembali lagi. Bayangankupun tak mau lagi melihat Sawang Megga. Andai aku bercerai dengan orang Wadeng, biarlah aku membuang diri saja ke tempat lain.

68. Tujuh bulan lamanya tinggal di Wadeng, bahkan meminta aku merangkap kekuasaan di Wadeng dan Tompo Tikka. Dia minta juga La Mappanjompa. Hanya dia bawa To Sibenngareng dengan janji nanti sesudah diadakan upacara ’’ripaenrek raga-ragana’’ baru dikembalikan ke Wadeng.

69. Bahkan waktu Pallawa Gauk kawin dengan orang Boting Langi, lalu isterinya diturunkan ke Tompo Tikka untuk melahirkan, La Massarasa anak laki-lakinya keluar dengan selamat, sedang kembar perempuannya tidak mau keluar dan menurut dukun akan mati bersama dengan ibunya kalau bukan bibinya yang telah dibuang itu datang mengupacarainya.

70. Rasa ketakutan menimpa diri yang dipertuan Wé Adiluwu. Segera datang lagi diangkut angin berembus, angin malam dan fajarnya sangat mengharapkan kedatanganku, jawabanku hanyalah walaupun engkau akan membunuhku, aku tak mau menginjakkan kakiku di Sawang Mégga.

71. Segera kembali ke Tompo Tikka diangkut oleh angin karena ada pesan supaya segera kembali, menantunya dalam keadaan sakarat. Keesokan harinya tangga emas We Tenriabeng diulurkan dari langit menjemputku untuk naik segera ke Boting Langi. Dengan air mata bercucurannya dia memohon kepadaku untuk turun ke Tompo Tikka mengucap anazar agar anaknya hidup selamat dengan bayinya.

72. Oleh karena aku menyatakan maaf sebesar-besarnya, aku tak mungkin lagi ke Tompo Tikka, Wé Abéng mengharapkan lagi walaupun hanya sekejap saja. Aku menjawabnya bahwa kalau demikian biarlah aku mengirim pengganti diri saja bernazar ribuan ekor kerbau cemara.

73. Aku akan menjanjikan nazar besar walaupun aku kehabisan harta nazar asal selamat saja Karaéng Mégga dengan bayinya. Wé Tenriabéng mendesak lagi walaupun hanya sekejap saja, asal saya sudah mengucapkan nazar, lalu kembali.

74. To Létteilek pun mengatakan bahwa kalau demikian biarlah kita jemput saja naik ke langit bersama dengan Wé Adiluwu supaya menyaksikan menantunya. Pancai Wéropun sudah datang diantar oleh petir Guntur. Disempurnakanlah perupacaraannya dan meluncurlah keluar bayi raja itu dengan selamat.

75. Hambamu La Mappanyompa ingin bertunangan dengan bayi raja itu, tetapi Bissu Rilangi mengatakan engkau tak senasib dengan dia karena dia lahir di Boting Langi, akan mewarisi istana Anné Riwéléwélé Essoé di Ruwang Letté.

76. Tujuh malam aku di Ruwang Letté bersama Pallawa Gauk. Kabarnya setelah bayi diupacarakan turun juga dari langit Opu Batara, akan kawin di Sawang Mégga. Sesudah perkawinannya dia mapparola ke Ruwang Letté dan akan turun lagi menjadi tamu di Tompo Tikka.

77. Para aparat dari daerah bawahan berkun jung ke Wadeng, akan datang semua melihat dan menjamu Sawérigading dan La Galigo. Opunna Warek turun ke gelanggang menyabung ayam bersama dengan anak datu tujuh-puluh.

78. Sudah datang juga rombongasn Wé Pawawoi saudara perempuan Opunna Wadeng, orang cantik dari Majang Bombang diiringi dengan alat perupacaraan lengkapnya. Pamadeng Letté (Sawérigading) sangat tertarik pada orang itu, karena bentuk mulut merapatnya, badan menggiurkannya, sama juga dengan kecantikan I Wé Cudai Daéng Risompa.

79. Pendamping Opunna Wadeng mengatakan bahwa pada waktu datangnya Wé Tenrirawé di Wadeng, orang mengatakan sudah ada dua bulan purnama muncul di Alé Wadeng. Sawérigading sendiri menyuguhkan sirih kepada Wé Pawawoi.80. Wé Pawawoi mengatakan bahwa dia membawa harta kepada To Botoe (La Galigo) untuk dijadikan taruhan sabungan nanti di Senrijawa.

81. Di dalam hati Sawérigading mengatakan sudah ribuan perempuan yang kulihat, belum ada yang sama dengan I Wé Cudai kecuali Wé Pawawoi. Sudah tiga malam keberadaan Sawérigading di Wadeng, sudah penuh sesak tamu dari luar daerah di Senrijawa. Banyak istana yang dipersiapkan untuk tamu undangan itu.

82. Tamu undangan didjemput dengan tari bissu melalui barisan pancangan umbul-umbul serta dipatahkan bambu emas di depan rombongan Sawérigading dan Opunna Wadeng. Membanjir datangnya tamu di pelabuhan perahu

83. Penghuni istana Senrijawa turun semua menjemput dengan pakaian kebesarannya. Ramai sekali perupacaraan penjemputan.

84. Sudah ramai peradatan perupacaraan penjemputan bissu-bissu yang mengiringi usungan keemasan dinaungi payung emas. Gendang kerajaan dibunyikan terus menerus.

85. Sudah turun semua dari usungannya, para penjemput kerajaan yang diiringi ribuan inang pengasuh. Wé Tenrisumpalak turun ke perahu menjemput orang tuanya.

86. Sujud menyembah La Mappanyompa pada ayah angkatnya (Sawérigading). Sawérigading sendiri menyuguhkan sirih dan memangku anak La Mappanyompa sambil menjanjikan hadiah sebuah negeri makmur.

87. Anak yang dipangku itu mengatakan tidak usah diberikan hadiah negeri makmur, tetapi berikan minyak wangi penyapu badan dari langit, akan kupakai apabila kelak aku kawin, supaya dapat dicium oleh semua orang yang hadir..


88.
(88.a.).Sawérigading akan memberikan minyak yang dapat mengharumi kolong langit dan permukaan bumi, bahkan merangsang keluar langit. Daéng Patappa mengatakan bahwa apakah ucapan Paduka Tuan itu bukan hanya janji pemain judi atau hanya ucapan Opu penybung.
(88.b.) Bukan hanya janji-janji kuucapkan kepadamu, nanti di istana kuperlihatkan kepadamu. Pandai sekali berbicara anak ini. Andai kata belum banyak tunangan La Galigo, aku kawinkan dengan Daéng Patappa.

89. Bagaikan saja orang tua mengeluarkan ucapan. Sudah datang juga rombongan dari Ternate, Marapettang. Disapa semua oleh Sawérigading dengan ucapan selamat datang, syukur atas kedatangnnya semua.

90. To Sibenngareng mendatangi semua perahu. Tertegun orang semua menyaksikan kecantikan Tenrisumpalak yang bagaikan anak dewa turun dari langit

91. Dibunyikanlah gendang manurung pengumpul orang banyak. Saling bersibukan penghuni perahu naik ke darat. Diumumkanlah agar disiapkan perupacaraan-raja,kelengkapan persalinan dan hiasan usungan Opunna Warek, La Galigo dan anak datu tujuh-puluh. Bagaikan saja bunyi kayu bergesekan suara usungan.

92. Iring-iringan peralatan bissu sudah mulai dipungsikan. Dipikullah gendang manurung yang berbunyi bagaikan Guntur membahana menggetarkan kolong langit permukaan bumi.

93. Sekali pukul saja tujuh kali bergetar suaranya mengelilingi bumi, menelusuri kayangan didengar di Boting Langi, menggelegar di Péréttiwi sebagai maklumat bahwa tunas manurung di Alé Luwu sedang menghadiri upacara besar.

94. Bergumam semua orang kampung mengatakan bahwa belum pernah menyaksikan hal yang sedemikin ini.

95. Para raja penguasa yang diundang sudah sampai di tempat upacara. Masing-masing menebarkan harta yang banyak. Gadis-gadis perempuan pingitanpun menjenguk dari jendela menyaksikan kedatangan para penguasa dari seberang lautan itu.

96. Para perempuan pingitan itu tidak dapat membayangkan bagaimana nikmatnya menjadi isteri seketiduran dengan orang yang segagah dan seganteng, bagaikan mulus buluh-telang lengannya, bagaikan nampak makanan yang langgar melalui kerongkongannya. Tujuh ribu kerbau dipanggang untu santapan tamu undangan itu.

97. To Appanyompa (Sawérigading) mengingat janjinya, lalu memberikan minyak harum kepada kemanakannya. Keharumannya menyebar di kolong langit permukaan bumi.

98. Cenrara Langi berterima kasih atas pemberian Opunna Warek itu sambil mempersilahkannya turun ke gelanggang sabungan.

99. Cenrara Langi juga menyuruh mengeluarkan minyak yang diberikan oleh Sawérigading, harum-haruman di para-para loteng untuk dibagi-bagikan.

100. Harum-haruman itu diterima oleh Cenrara Langi dari Sawérigading.

Bersambung di postingan berikutnya yaitu :
Sawerigading dan La Galigo Ke Senrijawa ( Bagian 2 )

Sumber :
Drs.Muhammad Salim, Makassar, 30 Nopember 2008
Terjemahan ringkas,

ISI SUREK GALIGO SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA

0 komentar:

Post a Comment