Nov 6, 2010

* Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar

Pengantar

Selama ini, publikasi terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas dan agak susah diakses. Wajar jika, tulisan saya yang berjudul “Ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar” (Opini, Jum’at 2 Juli 2004) mendapat sambutan yang positif. Apresiasi terhadap tulisan tersebut memotivasi saya untuk lebih mengenalkan secara dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang. Untuk itu kita juga salut dengan SKH Kalimantan Post yang tetap concern menerbitkan tulisan-tulisan berkenaan dengan khazanah intelektual lokal.

Pada tulisan terdahulu dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.


Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis


Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat dilacak melalui dua sumber utama. Pertama sumber intern, yakni sumber yang berasal dari tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah hidupnya atau sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni tulisan-tulisan yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari seorang tokoh (1985: 91). Dalam konteks ini pendekatan pertama yang bersifat intern tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah ditemukan satupun karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul Wahab Bugis yang bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang bersifat ekstern yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya juga sangat terbatas dan sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada. Sehingga wajar, walaupun Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang tokoh penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun pengungkapan data, riwayat hidup, karier, dan perjuangannya sendiri hampir tidak ada (1994: 243).

Sebagaimana dikatakan, tulisan yang mengetengahkan riwayat hidup tokoh yang satu ini memang sangat sedikit, bahkan hampir-hampir tidak ada. Namun menilik dari namanya, Syekh Abdul Wahab Bugis –selanjutnya ditulis Abdul Wahab– orang sudah bisa menduga bahwa sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia berasal dari Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi (1996: 28), Abdul Wahab adalah seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.

Pangkajene, daerah tempat kelahiran Abdul Wahab sekarang ini adalah adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, ibukotanya adalah Tomapoa. Terletak di sebelah atau bagian barat dari propinsi Sulawesi Selatan. Di samping di kenal sebagai daerah pertanian yang subur dengan tanah pegunungan dan dataran rendahnya, daerah ini dikenal pula sebagai daerah perikanan. Salah satu peninggalan sejarah yang terkenal di daerah ini adalah Arojong Pangkajene (Depag RI, 1996: 786).


Tidak diketahui secara pasti kapan ia dilahirkan. Perkiraan penulis ia dilahirkan antara tahun 1725-1735, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M.Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah.

Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah (Abu Daudi, 1996: 78). Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura. Karena itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami Syarifah.Keputusan ini kemudian ditaati oleh keduabelah pihak, dan menurut cerita Usman akhirnya merantau ke daerah Palembang Sumatera Selatan, serta merintis terbentuknya sebuah desa di sana yang diberi nama Martapura. Karena itu boleh jadi di Indonesia, daerah yang bernama Martapura hanya ada dua, yakni Martapura di Kalimantan Selatan atau Martapura di Palembang (Sumatera Selatan).Hasil perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan. Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan mendapatkan lagi dua orang anak, yakni Muhammad Sa’id dan Sa’diyah. Muhammad Said kemudian kawin dan mendapatkan dua orang anak, bernama Adnan dan Jannah. Sedangkan Sa’diyah memiliki anak bernama Sailis, yang menurut cerita kemudian tinggal di Sekadu, Pontianak.




Tekad Abdul Wahab yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.

Pendidikan dan Ketokohan

Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi mereka adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Ia adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir. Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (Abu Daudi, 1996: 28, 31). Syekh Sulaiman al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdusshamad al-Palimbani. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya itu ke kota Madinah ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.Di kota Madinah inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar Martapura.Kemudian atas anjuran dari Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab ilmu pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, untuk selanjutnya mereka disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapat (Abu Daudi, 1996: 29).Bandingkan dengan pendapat Azyumardi Azra (1994: 253), yang menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani meminta izin dan restu kepada guru mereka Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri untuk menuntut ilmu ke Mesir, namun oleh Syekh Athaillah mereka disarankan untuk pulang ke tanah air mengamalkan ilmu yang telah didapat, sebab Syekh Athaillah percaya mereka (empat serangkai) telah memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup, sehingga akhirnya mereka tidak jadi menuntut ilmu ke Mesir, tetapi tetap ke sana untuk berkunjung. Sebagai tanda kunjungan akhirnya nama Syekh Abdurrahman al-Batawi ditambah dengan al-Misri.

Menurut riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani (seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah) dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Abdul Wahab juga berguru kepada:

1. Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)

2. Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk al-Durar

3. Muhammad bin Ahmad al-Jauhari al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits

4. Athaillah bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.

Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat serangkai yang lainnya.

Perjuangan Dakwah

Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.

Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.

Kedua, membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.

Ketiga, di samping itu Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad Arsyad yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran– terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar. Dengan kata lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin.

Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:

1. Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.

2. Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.

3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.

Keempat, untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.

Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.

Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi, dan membina kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di samping berhasil menjadikan anak cucu mereka –Fatimah dan Muhammad Yasin bin Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di kerajaan Banjar)– sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar.

Perkembangan dakwah Islam yang begitu menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.

Sultan Banjar berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli.
Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara.

UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan tergugat.Di samping alasan-alasan di atas yang mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat Sammaniyah (Pembahasan tentang peranan Syekh Abdul Wahab Bugis sebagai salah seorang pembawa dan penyebar tarekat Sammaniyah yang bercorak Khalwatiyah, di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari lebih jauh dapat dilihat dalam tulisan saya yang berjudul: “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003). Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping pendekatan dakwah syariah.Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya.

Dengan kata lain pendekatan dakwah sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh, kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya (Rosyidi, 2004: 46).Apalagi, pada masa itu tasawuf dan berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting dalam perkembangan dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan dengan masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan tarekat-tarekat, antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166 M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi (w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah, dan sebagainya (Martin, 1985: 188). Sehingga tasawuf merupakan sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya dengan masyarakat Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut. Lebih dari itu, Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut para ahli adalah Islam yang bercorak tasawuf (Yunasir, 1987: 94).Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yakni lebih kurang 10-15 tahunan.Tidak diketahui secara pasti memang kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun 1782-1790 M, dalam usian enampuluh tahunan. Tahun ini penulis dasarkan pada catatan tahun pertama kali kedatangannya (1772 M) dan tahun pemindahan makamnya. Di mana semula ia dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (isteri dari Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut), makamnya kemudian dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M). Karena itu bisa diperkirakan bahwa, dihitung dari tahun pertama kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah bahu-membahu dan memperjuangkan dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad di tanah Banjar sekitar 10-15 tahun.Ada pula yang menyatakan bahwa, Abdul Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah kedua anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan (Zamam, 1978: 13).Namun, Berdasarkan catatan pemindahan makamnya yang sampai sekarang masih disimpan oleh Abu Daudi, dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis sebenarnya tidak pulang ke daerah asalnya tetapi meninggal lebih muda dari Syekh Muhammad Arsyad. Karena itu data ini lebih kuat dari yang dikatakan oleh Zafri Zamzam bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis pulang ke daerah asal beliau (Pangkajene) dan meninggal di sana.

Demikianlah, Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa Abdul Wahab Bugis, kawan seperguruan, sahabat, dan sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga memiliki peran dan jasa yang besar dalam mendakwahkan Islam di Bumi Kalimantan. Mulai dari mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan pada keluarga atau bubuhan bangsawan di kerajaan Banjar sampai membangun tanah lungguh desa Dalam Pagar menjadi locus utama dakwah Islam, pendidikan, dan pengkaderan kader-kader yang kelak menjadi pejuang dakwah diberbagai daerah yang menjadi sebarannya di Kalimantan.

Mengingat ketokohan, akhlak, dan keilmuan yang dimilikinya yang memang diakui, serta melalui kebersamaan sebagaimana yang telah diikrarkan, bahu-membahu, dan ikhlas berjuang bersama Syekh Muhammad Arsyad, Abdul Wahab berhasil menempatkan posisi dirinya sebagai ulama pejuang dalam rangka menjadikan Islam sebagai pola kehidupan masyarakat Banjar, baik bidang kenegaraan maupun bidang sosial kemasyarakatan.



DAFTAR PUSTAKA

-Ali, Yunasir, Pengantar Ilmu Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
-Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
-Basuni, Ahmad, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.
-Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
-Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Sekretariat -Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar Martapura, 1996.
-Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.
-Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.


Posted by zuljamalie@yahoo.co.id http://bagampiran.blog.com/2007/09/11/

0 komentar:

Post a Comment