101. Para undangan sudah turun ke gelanggang untuk mengadakan sabungan kecuali Sawérigading karena masih merasa letih.
102. Para pengiring dan pendamping Sawérigading turun semua ke gelanggang. Ramai sekali sabungan. Sudah tiba pula kelompok To Padamani (La Galigo) dengan ratusan juak andalan pengikut pengiringnnya.
103. Rombongan raja-raja lainpun sudah tiba dengan pengiring yang berpakaian kilau kemilau. Sudah datang juga I La Galigo To Kellinngé. Raja ini walaupun sudah tidur satu selimut dengan isterinya, tiba-tiba teringat dan terbayang di kepalanya tentang kemenangan ayam mulianya, bangun saja menari melenggangkan badan, meliukkan lengan mulusnya di atas kasur.
104. La Galigo mau melihat bagaimana To Kellinngé itu menari kalau ayam mulianya menang. Diapun mengajaknya mengadu ayam di gelanggang.
105. Pada mulanya I La Galigo To Kellinngé tidak mau mengadu ayam dengan remaja seperi La Galigo itu. Tetapi atas permintaan La Galigo supaya dua nama yang sama dapat nampak di atas panggung disaksikanoleh orang banyak, diapun mengiakannya.
106. To Tenriwalek (I La Galigo To Kllinngé) mengabulkan permintaan La Galigo. Diapun sudah siap naik di panggung sabungan, diangkutkan ayam mulianya, sedang La Galigo memilih ayam bodohnya sudah siap menyusul naik di panggung sabungan.
107. Masing-masing mengasah tajinya, membulang memasang gajungnya kemudian bersama-sama naik di panggung disaksikan juga oleh penghuni istana. Aduan ayampun dimulai. Tujuh kali saja saling menggelepur, ayam Datunna Cina mati terkapar. Menari melengganglah Datunna Kelling mengibaskan berkeliling destarnya, hampir menginjak saja ujung sarung To Padamani.
108. Turut tertawa geli-hati anak datu tujuh-puluh menyaksikan tariannya. La Galigo mengajak lagi bertaruh dengan aduan ayamnya. Sudah berseliweran orang banyak memasang taruhan.
109. Tiga kali saja saling menggelepur, mati terkaparlah ayam mulia Datunna Kelling. Giliran La Galigo lagi mengayun melambaikan destarnya, disaksikan jengukan gadis pingitan di jendela istana.
110. Bagaikan mau runtuh pohom wodi karena teriakan. Gadis pingitanpun mempercakapkan tentang kegagahan, ketampanan dan kegantengan To Sessunriwu (La Galigo) yang bagaikan bulan purnama, hanya disayangkan dia bersifat angkuh dan sombong memandang enteng saja raja sesamanya.
111. Ramai sekali sabungan, belum selesai yang satu, naik lagi yang berikutnya. Beronggok menggunung bangkai ayam, mengiris kaki patahan taji yang bertebaran. Hari mulai malam baru berhenti sabungan itu.
112. Sudah kebanjiran surat cinta sembunyi To Padamani dari gadis-gadis pingitan. Hampir habis hasil taruhannya diberikan kepada gadis-gadis pilihan yang dirayunya.
113. To Sompa Bonga mengajak La Iweng menuju ke Senrijawa. Berangkatlah rombongan orang Létenriwu menuju ke Senrijawa dan Pajung Bannaé di Limpo Majang.
114. Membanjir keberangkatannya dengan pakaian yang indah, diiringi dengan perupacaraan bissu, diangkatkan ketur peludahan buangan sepah sirihnya.
115. Sudah ramai sabungan di Senrijawa, turunlah Opunna Warek dengan pakaian kebesaran kehiyangannya, pergi duduk berdampingan dengan anaknya, didampingi oleh aparat kerajaan juaknya.
116. Bagaikan saja danau yang meluap payung emas naungannya. Sudah tiba pula Pajung Mpéroé dari Léténgriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang terus duduk di hadapan Opunna Warek.
117. Berdampingan duduk semua para bulan purnama sangiyang. Dapat disksikan duduk bersama ; Opunna Warek, Opunna Cina, Pajung Mpéroé dari Léténriwu dan Pajung Bannaé dari Limpo Majang.
118. Saling mengadu ayam para orang besar. Tak kedengaran lagi ucpan mulut orang banyak. Gendang berdengung-dengung dan upacara bissu di istana, teriakan pemain judi memekakkan telinga di gelanggang. Sudah disempurnakan upacara untuk ’’juruk’’ yang ditempati acara upacara. Duduk di tengah Dapunta Séreng (penghulu bissu) dikelilingi Puwang Matowa (pimpinan bissu) berupacara kehiyangan.
119. Dapunta Séreng menyuruh melengkapi perupacaraan itu. Tujuh buah piring, telur ayam, beras, sirih, kemudian Dapunta Séreng berdoa mohon dengan bahasa bissu.
120. Nyanyian bissu dilantungkan berganti-ganti oleh para bissu. Kemudian Dapunta Séreng bergerak mendekati To Tenribali.
121. Dia menyampaikan bahwa anakmu itu tidak menerima kalau hanya orang biasa saja yang menghiasi ’’juruk’’. Hiasan yang diminta adalah aneka macam dari Boting Langi yang dipasangkan sendiri oleh Opunna Warek. Dipanggillh Pallawa Gauk untuk mempertimbangkannya.
122. Pallawa Gauk dipanggil di gelanggang untuk naik mengatasi masalah juruk itu karena yang diinginkan oleh Bissu Lolo itu, peralatan hiasan juruk harus didatangkan dari Boting Langi.
123. Sudah naik juga Sawérigading terus duduk di dekat perupacaraan dikelilingi dengan ribuan obor. Tiga malam lamanya duduk para tamu undangan barulah Bissu Lolo itu naik di juruk. Pallawa Gauk meminta pedupaan dan dupa harum pada isteri La Mappanyompa.
124. Pallawa Gauk mengasapi keris warisan orang tuanya lalu menyuruh naik ke Ruwang Letté menemui I Lajiriwu (suami I Tenriabeng) menyampaikan masalah yang dihadapi cucunya di Senrijawa.
125. We Bali tidak mau kalau yang menyertai juruk yang ditempatinya hanyalah orang biasa. Yang diminta adalah pendamping juruknya dari Boting Langi.
126. I Lajiriwu yang ada di Boting Langi menyuruh dahulu upacarai tempat upacara perbissuan itu korban sebanyak dua kali tujuh ekor kerbau dan binatang lain yang ada di langit. Kampung akan ditimpa celaka bagi yang tidak mengupacarainya sebelum Wé Mannédara itu turun ke bumi.
127.
a.Yang diidamkan untuk hiasan juruk nitu ada di Takkalalla di luar langit, yaitu ayam remaja bermata cermin.
b.Ayam yang bermata cermin itu tidak mau dijadikan alat pelengkap upacara ’’juruk emas’’ di bumi. Gajang Pacciro mengatakan mau atau tidak mau engkau harus tunduk pada perintah dewa.
128. Kalau engkau tidak mau, lehermu akan kupotung, lalu engkau kubawa turun ke bumi. Kebetulan Wé Tenriabéng menjenguk dari jendela menyaksikan pembangkangan ayam itu. Marah sekali Wé Abéng. Segera beterbangan ayam bermata cermin itu turun ke bumi.
129. Sudah tiba Gajang Riciro dari langit menyampaikan pesan supaya ’’baringeng’’ peralatan upacara naik juruk itu dicerak dengan binatang-binatang dari langit itu. Bergegaslah bissu-bissu memulai upacaranya.
130. Upacara bissu berlanjut sepanjang malam. Keesokan harinya sudah berseliweran para tamu undangan. Sudah datang pula beberapa rombongan orang kayangan dari langit termasuk rombongan Daéng Manottek (Wé Tenriabéng).
131. Membanjir datangnya tamu undangan. Salah satunya bernama Senngeng Risompa Daéng Mangkauk, perempuan cantik yang tidak mau bersuami kalau bukan yang disukai. Banyak sekali yang melamarnya belum ada yang diterima.
132. Duduk berdesakan semua para tamu undangan. To Sibenngareng (saudara perempuan La Mappanyompa/ibu We Tenribali) meminta maaf kepada Sawérigading, mohon kiranya beliau memulai pelaksanaan upacara itu, atas permintaan anaknya yang tuppu juruk itu.
133. Gembira sekali La Mappanyompa. Bissu-bissupun sudah mulai menari. Sudah ramai kedengaran bunyi peralatan bissu. Melangit kedengaran suara gendang emas, alat kuur semangat kehiyangan Bissu Lolo (We Tenribali) itu
134. Ratusan Puwang Matowa berupacara dewa. Pada waktu tengah hari, guntur kilat berbunyi, pelangi juga turun dari langit yang dilalui ayunan emas manurung, diantar oleh mannedara.
135. Dijemputlah dengan alat kuur semangat. Sawérigading membaca-bacainya disertai sepah sirih, sedang Puwang Matowa mengayunkan peralatannya dengan ucapan doa permohonannya.136. Sawérigading naik di atas juruk emas, kelompok bissu mengayun menarikan peralatannya, I La Sarasa anak Pallawa Gauk dari Tompo Tikka menebarkan bertih emas mengayunkan belira keemasan sambil mengucap mantera.
137. Bersamaan semua para aparat kerajaan berganti-ganti naik pada juruk emas sedang Sawerigading naik di puncaknya dikelilingi obor api menyala, bagaikan dewa yang baru turun dari kayangan. Senngeng Risompa si cantik yang tidak mau kawin, khusyuk berdoa memohon kepada dewa di langit supaya Sawérigading mau memperisterikannya.
138. Dia mengambil selembar sirih, lalu menuliskan cinta berahinya, kemudian mengirim kepada Sawérigading, agar dia rela memperisterikannya. Tunduk tertegun dan tertawa Sawerigading membaca daun sirih itu. Hari ini seharian penuh Sawérigading menerima surat yang sama dari perempuan lain.
139. Sawérigading menjawabnya dengan ucapan yang tak dapat didengar orang lain, ’’Engkau cinta kepadaku, saya lebih cinta mendalam di hatiku kepadamu. Hanya sayang sekali, dewa sudah menutup perjodohanku. Andai kata engkau dan aku bertemu sejak dahulu, pada waktu itu aku masih selalu dilanda asmara.’’
140. Memang di dalam hatiku menggelora walaupun hanya melihat bayanganmu. Di samping itu rupanya hatimu tergoda sekali padaku secara mendalam melalui sudut pandangan pengelihatan urat-urat matamu. Rupany engkau menyimpan keinginan yang dapat menjadi penyakit tak terobati atas terkabulnya lagi keinginan rasa hatiku. Hanya aku sampaikan bahwa sudah lampau masa keinginanku pada perempuan.
141. Termenung Senngeng Risompa atas kecendekiaan bunyi surat Sawérigading. Matanya masih melotot melihat ketampanan Sawérigading yang ingin sekali menjadi jodohnya. Sawérigading sudah turun dari juruk emas. Makananpun sudah dipersiapkan. Para penyabung mulai makan kemudian turun kegelanggang.
142. Sedang To Padamani (La Galigo) tak berhenti didatangi surat cinta-sembunyi. Sudah banyak bilik perempuan silih berganti dimasuki secara sembunyi. Tiga malam terus menerus pelaksanaan upacara itu lalu ditutup dengan ucapan doa bissu.
143. Tiga kali saja bissu melantungkan doa, bangunlah keturunan manurung itu dari tempatnya disertai ucapan oleh inang pengasuh Wé Tenribali dengan janji ratusan pelayan pembantu. Sudah sibuk para pengasuhnya mengenakan kepadanya pakaian orang Senrijawa dari Boting Langi.144. Bagaikan saja anak dewa turun dari langit kecantikan cucu Wé Tenrirawé itu. Berpakaian indah semua penghuni istana, anak raja sebayanya, para pelayan pembantunya, inang pengasuh dan orang dalamnya. Bunyi-bunyian dan peralatan bissu mulai memekakkan telinga.
145. La Tenriliweng mengusulkan agar Bissu Lolo tidak usah lagi naik di juruk emas, karena tidak wajar orang cantik ditonton oleh orang banyak. Uaul ini ditolak oleh Wé Tenribali karena hal itu dipantangkan oleh kepala-kepala bissu tak dinaikkan di atas juruk setelah berpakaian, walaupun hanya sekejap saja.
146. Ratusan Puwang Matowa mengiringinya dengan nyanyian bissu, ribuan sebayanya penghuni istana mengiringi dan mendampinginya. Bagaikan saja bulan purnama kecantikannya berjalan diangkatkan ujung sarungnya.
147. Ada yang mengangkatkan tempat sirih, ketur peludahannya. Tiba-tiba tak dapat mengangkat kakinya. Menyanyi-dewalah Tunek Mangkauk, kemudian menyapu badan anaknya sambil menjanjikan hadiah sebuah kampung besar, agar turut naik di Saoturu keemasan tanpa dilihat oleh para tamu undangan.
148. Tiga kali La Mappanyompa mengucapkan janji hadiah, diangkatlah Tunek Mangkauk oleh Puwang Matowa untuk dinaikkan pada juruk emas, disertai aduan alosu soda tanpa dilihat oleh orang banyak.
149. Tiada berhentinya doa ucapan penghulu bissu Dapunta Séreng. Tepat tengah hari, tak ada angin berembus, tiba-tiba datang topan, awan tebal yang beriringan kilat disertai guntur, datang gelap gulita, turunlah Towa Patalo dari langit.
150. Berdirilah We Sellung Mégga mengangkat Bissu Rilangi lalu membawa masuk ke biliknya, diiringi oleh anak raja sebaya dan bunyi gendang gongnya, disertai taburan bertih dan harta yang banyak yang menenangkan kolong langit permukaan bumi.
151. Tujuh hari tujuh malam pukulan gendang, sekian pula lamanya naik-turun tamu undangan. Menari semalam suntuk para penyabung dan perempuan. Wé Tenribali kawin-dewa, silih berganti tamu undangan memberi hadiah, emas dan pelayan pembantu.
152. To Padamani meminta kepada Wé Tenribali, agar anaknya yang cantik itu dapat keluar menampakkan diri untuk disaksikan oleh orang banyak, akan diberikan juga hadiah. Sawérigading mengatakan mengapa lagi orang yang akan bersanding dengan La Tenriliweng itu dipanggil. Dijawab oleh We Tenribali bahwa walaupun tanpa hadiah akan dikeluarkan juga.
153. Hanya tadi tidak keluar karena masih ada orang Ruwang Letté yang merasukinya tetapi karena sudah selesai ’’tuppu juruk’’ orang langit itu sudah tak mengikat lagi. Unga Wé Majang disuruh menjemput di dalam bilik.
154. Para penghuni bilik sudah berpakaian indah kemudian si tunas mangkauk itu diberi pakaian dan perhiasan ala orang langit. Berangkat keluarlah diiringi oleh dayang-dayang, pelayan dan pengasuhnya.
155. Sudah sampai Wé Tenribali di luar dikelilingi mata memandang. Bagaikan bulan purnama kecantikannya. Dipersilahkan duduk oleh Opunna Warek. To Padamani menyuruh pelayan pembantu memberikan sirih pinang.
156. To Padamani mempersilahkan We Tenribali menyirih, sambil memberikan hadiah berupa pelayan pembantu untuk dijadikan penghuni dan pendamping di istana. Pamadeng Letté (Sawérigading) memperhatikannya, bagaikan bentuk badan dan warna kulit I Wé Cudai waktu mula sampainya di Latanete.
157. Opunna Cina memuji kecantikan Wé Bali. Entah siapa nanti menjadi jodohnya. Banyak orang cantik di Cina tetapi lain juga keadaan kecantikan Wé Bali. Karena Wé Bali menjatuhkan dirinya pada inang pengasuhnya, maka Sawérigading menyuruh kembalikan ke biliknya.
158. Kembalilah Wé Bali diiringi pelayan pembantu dan inang pengasuhnya ke dalam biliknya. Sesudah itu diangkatlah makanan. Berseliweran pelayan pembantu mengatur piring mangkuk untuk makanan orang banyak.
159. Belum berkurang nasi di piringnya, ditambah terus. Selesai makan bunyi gendang berbunyi terus bagaikan mau runtuh Senrijawa karena acara keramaian semalam suntuk. Sawérigading kembali ke istana, dibereskan tempat tidurnya, sekelambu berdua dengan To Palennareng.
160. To Palennareng mengatakan bahwa ada surat emas datang semalam diantar oleh angin. Rupanya ada tambatan hatimu di tempat ini. Kubaca surat itu, berderai air mataku karena mengenang waktu kita masih remaja di Luwu, berjaga-jaga di luar kelambumu.
161. ’’Diamlah, memang Senngeng Risompa ingin sekali kuperisterikan. Menggelegar cinta di dalam hatiku juga tetapi bagiku perjodohan itu sudah ditutup mati oleh To Palanroé (dewa). Bagiku cinta itu hanya bagaikan bunga layu yang jatuh sudah bersatu dengan tanah.
162. Kuur jiwa datu itu. Mungkin akan terbuka perjodohannya juga. Mungkin ada Sawérigading lain akan berjodohan dengannya. Sudah dua tiga kali datang suratnya kepadaku melalui angin. Kutanggalkan pontoh emasku dan cincin buatan kehiyanganku dari jari manisku, kuberikan angin untuk diantarkan kepadanya sebagai penutup malu dan rasa kecewanya.
163. Supaya mereka tidak merasa kecewa karena telah kutolak permintaannya,’’ Ujar Sawérigading sambil tersenyum. To Palennareng menanyakan tentang kecantikan itu. Dijawab oleh Sawérigading bahwa ada tiga ratus datu mangkauk hanya dialah yang paling cantik.
164. Kecantikannya tak melepaskan matanya beralih pandang dari padanya, tak memuluskan makanan langgar di kerongkongannya, sayangnya I Wé Cudai sudah merebut perjodohannya. To Palennareng mempertanyakan lagi apakah dia tidak bisa meminjamkan lengan tempat berbantalnya I Wé Cudai Datunna Cina, betis tampat belitan betisnya supaya dia bisa berjodohan dengan Senngeng Risompa itu.
165. Sawérigading pun tertawa sambil menasehati To Palennareng agar Jangan besar suaranya nanti didengar angin lalu menyampaikannya pada I Wé Cudai di istana Latanété.166. Akan marah nanti Punna Bolaé Ri Latanété. Rembang tengah hari La Galigo dan rombongannya naik di istana untuk menyirih.
167. La Galigo menjumpai surat emas pada tempat sirih orang tuanya. Dia menyampaikan kepada pendampingnya bahwa tiada akhir-akhirnya gelora cinta itu. Paduka Tuan kita pun yang sudah tua, bukan lagi remaja sebagai raja muda, masih menggelora asmaranya dan dapat melanda gelora asmara cinta perempuan yang melihatnya.
168. Angin yang diutus oleh Senngeng Risompa sudah sampai di Boting Langi, menyampaikan kepada Bissu Rilangi (We Tenriabéng) bahwa dia telah disuruh oleh Senngeng Risompa mengantar surat cinta kepada Sawérigading.
169. Karena Sawérigading tidak mau, maka putuslah harapan gelora cintanya. Dijawab oleh Bissu Rilangi bahwa mungkin besok-besok kalau saja selalu bettemu, Sawérigading akan terlena juga. Wé Tenriabéng menyuruh angin itu ke Cina membohongi Datunna Cina bahwa Sawérigading sudah kawin di Senrijawa.
170. Anginpun melanglang buana menembus angkasa berangkat ke Cina menyampaikan berita kepada I We Cudai bahwa mungkin ada mimpinya semalam. Itu berarti berita penyampaian tentang perkawinan Sawérigading di Senrijawa.
171. I Wé Cuai tertawa saja sambil mengatakan bahwa yang demikian itu tidak usah diherankan. Memang Sawérigading adalah laki-laki yang selalu didambakan oleh wanita di mana saja dia berada. Bagaikan mau keluar-lepas biji mata wanita yagn melototnya. Setiap malam semangatnya datang di pembaringannya menyatakan rasa dirinya makan tidak kenyang, minum tak lepas dahaga tanpa bersamanya di negeri orang.
172. Sudah masuk bulan kedua dalam pelayarannya ke Senrijawa, tak pernah alpa semangatnya bersesarung dengan dia, bahkan ceritera pelayarannya dapat didengar pendamping di luar bilik. Diceritrakan juga semua surat cinta Senngeng Risompa yang ditolaknya.
173. Hanya muncul dalam hati datunna Cina apakah memang ada yang tidak diceriterakan padanya. Tertawa saja dalam hati angin utusan itu mendengar ucapan I Wé Cudai.
174. Kembalilah angin itu ke Boting Langi menyampaikan pertemuan dan pembicaraannya dengan I Wé Cudai kepada Wé Tenriabéng. Sudah penuh sesak orang di Léténriwu dan Senrijawa. Bagaikan mau runtuh langit karena gemuruh suara manusia.
175. Sudah lengkap sempurna hiasan pelaminan. Persis tengah hari, turun gelap gulita diikuti petir kilat, istana bergoyang keras dan pelaminan runtuh merata. Suasan tenang kembali setelah keadaan perupacaraan porak poranda. Diantarlah kain jemputan Puwang Matowa supaya datang ke istana membangun kembali pelaminan itu disertai upacara bissu.
176. Upacara bissupun diadakan sambil membangun kembali pelaminan itu tetapi seharian penuh dikerjakan, pelaminan itu belum berhasil diperbaiki. Dapunta Séreng penghulu bissu dipanggil mengatasi masalah itu, tetapi dia tidak mau datang.
177. Hanya menitip pesan bahwa ada anak dewa dari Ruwang Letté mengamuk merusak pelaminan itu karena dia sendiri yang mau memperisterikan Wé Bali tetapi didahului oleh La Iweng dari Léténriwu. Disarankan oleh Dapunta Séreng, pelaminan yang harus dibangun adalah pelaminan yang pernah dipakai oleh La Mappanyompa waktu kawin dengan We Tenrisumpalak, dipotongkan kerbau bertanduk mas sebagai tumbalnya.
178. Yang mengamuk itu adalah dewa pamilinya juga yang ingin kawin dengan orang Senrijawa tetapi La Iweng yang diterima lamarannya. Saran Dapunta Séreng dilaksanakan diiringi dengan upacara bissu.
179. Berganti-ganti aparat kerajaan menaburkan bertih emas mohon maaf kepada dewa orang Ruwang Letté yang marah itu, Sawérigading duduk mengapit pelaminan bersama dengan Senngeng Risompa yang jarinya gemerlap menyinari sekitar pelaminan itu. Terkenanglah Sawérigading sewaktu mau mengawini Wé Camming Mpuleng yang gagal karena dia berangkat ke Cina.
180. Tak lepas sudut mata Sawérigading mencuri pandang kepada Senngeng Risompa. Dalam hatinya mengatakan tidak ada bedanya dengan I Wé Cudai. Timbul di dalam hatinya untuk kawin sembunyi secara rhasia.
181. Diambilnya selembar sirih lalu meniupnya, maka jadilah daun sirih itu berbicara bak manusia. Disuruh pergi kepada Senngeng Risompa tanpa dapat dilihat dan didengar oleh orang luar, mengatakan bahwa Sawérigading mengutusnya dengan ucapan dia mau jatuh pingsan melihatnya. Dia ingin dikasihani agar dapat diterima bayangannya masuk ke dalam bilik Senngeng Risompa, berbaur semangatnya kelak kalau berada dalam kelambu itu.
182. Kiranya Senngeng Risompa dapat menumpangkan di tempat tidurnya, meminjam tempat berbaring di bawah bulan puranama yang menaunginya, dijadikan tamu mulia dalam bilik, saling mengangkat di dalam sarung, satu semangat dan jiwa berdua. Dijawab oleh Senngeng Risompa bahwa bukan begitu yang dia harapkan. Dia berkeinginan dilamar dengan baik secara terhormat di kerajaannya. Mohon maaf sebesar-besarnya kalau hal itu tidak diiakan.
183. Daun sirih kembali kepada Sawérigading menyampaikan apa jawaban Senngeng Risompa itu kepadanya. Tertawa saja Sawérigading mendengarnya. Berdiri Sawérigading sambil meninggalkan bayangannya, sedang badannya berjalan tanpa dilihat orang lain pergi duduk di hadapan Daéng Risompa.
184. Sawérigading memijit jari Senngeng Risompa waktu disuguhi sirih, sampai kelihatan pucat marah wajahnya. Sawérigading sudah mengetahui ketidak mauan Senngeng Risompa, karena semua wanita yang dipijit jarinya biasanya tertawa, kecuali dia.
185. Sawérigading minta dikasihani utamanya semngat kehiyangannya. Dia menginginkan naungan kelambu. Matanya sudah tergiur atas keelokan paras Senngeng Risompa. Dijawab saja olehnya kiranya jangan terkejut hati orang besar, tak diperbuat yang demikian, tak tertanam di dalam hati berkasih-kasihan secara sembunyi.
186. Yang diinginkan olehnya adalah saling berjodohan disaksikan oleh semua orang banyak. Dia juga menyampaikan bahwa dia tidak menyembunyikan keinginannya untuk berjodohan karena kegagahan Sawérigfading yang diidamkn, ketampanannya melenakan matanya, dia ingin membanggakan dirinya kalau dapat berjodohan dengan opu penyabung yang bagaikan sinar matahari cerah kulitnya. Oleh karena Sawérigading tadinya tidak mau membagi cintanya dengan I Wé Cudai maka diapun menyabarkan hatinya.
187. Sawé Risompa menyuruh Sawérigading menenangkan hatinya. Tertawa saja Sawérigading sambil mengambil sirihnya, dia melihat juga Senngeng Risompa bagaikan nampak jelas sirih langgar di kerongkongannya kalau sedang makan dirih. Duduk saja Sawérigaing terus membujuk Senngeng Risompa tetapi dia tidak mau dibujuk.
188. Sudah bertebaran anak datu tujuh-puluh menuju ke gelanngang. Sawérigading berpesan kepada To Palennareng, kalau besok dia tidak kembali ke istana, jagalah La Galigo, karena dia mau pergi membujuk Senngeng Risompa di tempatnya.
189. Sawérigading berangkat tanpa pengiring kecuali pembawa ketur peludahannya, berjalan sebagai orang biasa saja. Semua orang yang berpapasan dengan dia mencium bau harum penyapu badannya, sampai ada yang mengatakan entah siapa opu penyabung ingin mengeram di dalam kelambu.
190. Bau penyapu badan Sawérigading semerbak tercium di itana setelah memasuki pekarangan, menyebabkan penghuni istana keheranan karena orang besar itu datang pada waktu dinihari tanpa pengawal pengiring. Bahkan ada yang mengatakan, mungkin adapenghuni bilik berjodohan sembunyi.191. Pada waktu Sawérigading masuk ke dalam istana, dia berpapasan pendamping Senngeng Risompa yang mengantar Sawérigading sampai di bilik tuannya. Dilarangnya pendamping itu memasang pelita.
192. Dia terus membuka kelambu lalu masuk menekan pinggang Senngeng Risompa. Terkejut dan bangun Senngeng Risompa dan menyaksikan Sawérigading. Nampak jelas bercahaya walaupun dalam keadaan gelap gulita. Sawérigading lalu membujuknya dengan ucapan yang lemah lembut tetapi Senngeng Risompa hanya mau kalau bersanding disaksikan oleh orang banyak.
193. Sawérigading menyampaikan bahwa setelah keinginannya itu dikabulkan, sekembali beliau ke Cina akan minta izin pada I Wé Cudai untuk melamarnya. Dijawab saja oleh Senngeng Risompa bahwa asal dia bersanding sekarang walaupun hanya tiga malam saja dia mau pergi lagi meninggalkannya, tidak akan merasa keberatan. Habis anaeka macam janji hadiah yang diucapkan Sawérigading, tetapi dia tidak mau tunduk.
194. Sawérigading menyampaikan bahwa I Wé Cudai tidak mau membagi hasil perjudiannya. Dia meminta lagi supaya Senngeng Risompa meredam saja ketak mauan hatinya, akan diberikan pontoh orang Boting Langi, gelang orang Ruang Letté sambil menyampaikan juga bahwa hatinya seakan-akan sudah kembali ke Alé Luwu kalau permintaannya itu dikabulkan.
195. Tiada bosan dan berhenti La Maddukelleng (Sawérigading) membujuk merayu terus menerus. Pendamping Senngeng Risompa juga memohon kepada tuannya itu, supaya tunduk mengia saja. Pada waktu fajar menyingsing barulah Senngeng Risompa berhasil dijala sarung, selembar sarun g berdua, saling menggesek meliukkan pinggang, memperbantalkan Senngeng Risompa pada lengan mulusnya. Dalam hati Senngeng Risompa mengatakan rupanya bagaikan mayang dan gulungan kapas disentuh kulit orang besar ini.
196. Terlenalah Sawérigading dikarenakan kenikmatan kesejukan digelut betis mulus, lengan gemulai, tumpangan gelang berukir. Memang perempuan akan mati merana kesepian yang ditinggalkan pergi oleh Sawérigding. Hanya sayangnya perbuatan sembunyi ini tak direstui oleh orang banyak.
197. Keesokan harinya anak datu tujuh-puluh kelompok La Galigo ramai dan ribut di istana belajar tari lenggang Maloku, ayun tangan orang Sama.
198. Pergi jalan-jalan keliling kampung saling berpasangan, lenggang orang Maloku jalan orang Sama, tiga kali melangkah satu ayunan tangan. Ribut berteriak penghuni kampung menyaksikannya.
199. Berganti-ganti orang kampung memohon supaya singgah di rimahnya. Alasannya adalah kembalinya sangat ditunggu digelanggang sabungan. Kelompoknya mengharapkan supaya ada hasil judian yang dapat dipergunakan untuk hadiah penghuni bilik.
200. Memperingatkan pada kita waktu kita mulai meninggalkan Luwu berpisah tujuan keberangkatan dengan saudaraku Wé Tenriabéng. Menyembah sambil berkata To Sulolipu mengatakan bahwa tidak baik kalau Sawérigading tidak berlayar ke Senrijawa menghadiri undangan dari Wadeng, lebih-lebih lagi kalau engkau ingat waktu engkau dijemput oleh Wé Tenrirawé tetapi engkau tak mau. (halaman 200 ini mungkin salah satu halaman lepas di bagian awal)
201. Kuperkirakan lebih kecewa orang Wadeng kalau kita tidak menghadiri upacaranya. Langi Paéwang (Sawérigading) membenarkannya, sambil menugaskan beberapa orang sepupu sekalinya menjaga kampung kalau berangkat ke Senrijawa.
202. Kalau ada keluarga kecewa karena tidak diikutkan, mudah-mudahan ada sesuatu upacara juga diadakan di kampung ini dapat menghibur hatinya. (halaman 200,201 dan 202 mungkin halaman tercecer dari awal-awal ceritera)
203. Lima hari lima malam makan hanya satu piring mereka berdua, saling menukar bangkai sirih, baru Sawérigading mau kembali ketempatnya lagi. Dipangku dulu Senngeng Risompa sambil menyapu-nyapu pinggangnya, memijit-mijit jari tangannya, lalu mengucapkan selamat tinggal semoga saja Senngeng Risompa tetap menyimpannya di dalam hati, mengenang di dalam kalbu mengharapkan lagi untuk bertemu kembali.
204. Senngeng Risompa mengucapkan selamat jalan sambil menyatakan bahwa tak sempurna kebahagiaannya, karena Sawérigading tidak mau secara resmi memperisterikannya disebabkan Datunna Cina tidak mau dimadu dan dibagi dua hasil judiannya. Senngeng Risompa juga menyampaikan bahwa kalau Sawérigading tidak mau bercerai dengan isterinya, dimana lagi dapat mendapatkan laki-laki gagah, tampan dan ganteng seperti dia di kolong langit permukaan bumi yang dapat menggantinya.
205. Sawérigading menyatakan bahwa sukar bercerai dengan isterinya. Hanya biasanya sepatah kata-indah saja dapat berobah menjadi rasa marah yang menyebabkan puluhan malam tidak mau menerima bujukan rayunya. Ucapan perceraian biasa muncul di mulutnya. Hanya karena memang padanyalah tempat mukim semangatnya. Mudah-mudahan dia mau tunduk dimadu.
206. Setelah bertukar sirih. mereka berdua bergandengan tangan diiringi pendamping sampai di tangga. Sawérigading menyuruh kembali ke biliknya, dijawab olehnya akan kembali ke bilik kalau dia sudah hilang dari pandangan.
207. Berkesan sekali nikmat yang ditinggalkan oleh Sawérigading padanya pada waktu sesarung. Merayap tak bersayap bagai ikan yu, meresap bagai taji sabungan yang mengakibatkan tak merasa enak lagi makanan langgar di kerongkongan.
208. Gembira sekali Senngeng Mallino menyaksikan upacara yang diadakannya, diramaikan tujuh macam tarian bissu. Banyak sekali raja muda yang terkesan, sampai mengingat tunangnnya yang perkawinannya belum/batal terlaksana, utamanya La Tenriliweng yang pernah melamar untuk kawin dengan Daéng Macora tetapi ditolak, lalu pergi kawin di Senrijawa.
209. Daéng Macora yang dikhianati oleh La Tenriliweng dan sekarang sudah siap bersanding di Senrijawa, menjenguk melalui mjendela memanggil angin-bertiup, lalu minta tolong supaya aneka harta pertunangannya denga La Tenriliweng dikembalikan kepadanya, disertai ucapan pesan
210. Kiranya diberikan harta benda penghianatannya dengan ucapan supaya dipakai saja olehnya sebagai harta pemendek umur hidup bergaya di dunia. Anginpun berangkat melanglang buana menuju ke Senrijawa.
211. Sedang ramai-ramainya tamu undangan mengadakan keramaian disertai bunyi-bunyian yang memekakkan telinga, angin utusan itupun sudah tiba mengembus-embus destar La Tenriliweng menyampaikan harta bendanya serta pesan dari Daéng Macora agar harta penghianatan pertunangan itu dipakai saja sebagai harta pemendek umur.
212. Dijawab saja oleh La Tenriliweng bahwa tidak pernah bersumpah untuk kawin dengan Daéng Macora. Hanya waktu dia melamar Daéng Macora di Méné Empong, orang tuanya mengatakan dia sudah dipertunangkan dengan Wéwang Makketti dari Jawa Barat. Maka itu Daéng Macora kuberi harta benda supaya kalau bisa dia lari saja untuk pergi kawin di negeri lain, tetapi karena tidak ada jawaban, aku melamar di Senrijawa.
213. Dia juga menyampaikan kepada angin bahwa dewa merahmatinya, lamarannya di Senrijawa diterima untuk memperisterikan gadis yang disurupi orang langit menjadi bissu muda. Mati muda juga menjadi kebanggaan baginya asal sudah bersanding dalam upacara besar. Angin berangkat kembali.
214. Angin-berembus menyampaikan berita kepada Daéng Macora. Upacra perkawinan agungpun sudah dimulai diadakan di Senrijawa. Tertanam berjejer lima ratus umbul-umbul bambu keemasan yang berbuahkan buli-buli keemasan dan kempu kecil, bertangkaikan kalung berdaunkan kain dari Boting Langi.
215. Penuh sesak orang di gelanggang. Beriring-iringan usungan raja menghadiri pesta perkawinan. Lebih seribu ekor kerbau dipanggang. Bagaikan mau runtuh langit terbelah bumi karena padatnya tamu undangan. La Galigo meminta supaya sabungan diistirahatkan, supaya pergi menonton dulu.
216. Tujuh ribu orang pengiring pengantin. Bagaikan buah buni langkas pelayan pengiring. Salah seorang pereempuan cantik di dalam usungan yang bernama Wé Tenriwéwangeng Daéng Patallé sepupu sekali Wé Tenribali, sangat mempesona kecantikannya. Untuk dapat melihatnya dengan sempurna mereka bermantera mengembuskan angin berpusar yang dapat menggulung tirai usungannya.
TAMAT
Sumber :
Drs.Muhammad Salim
Makassar, 30 Nopember 2008
Terjemahan ringkas
ISI SUREK GALIGO SAWERIGADING DAN LA GALIGO KE SENRIJAWA
0 komentar:
Post a Comment