Nov 27, 2010

* Ulasan Aksara dalam sebuah "Gulungan Lontara"

ROLLED UP BUGIS STORIES:
A PARAKEET’S SONG OF AN OLD MARRIAGE CALENDAR
ROGER TOL


Banyak naskah Bugis yang pada umumnya selamat dari perang dan tantangan iklim di dunia, sekitar beberapa ribu, yang mayoritas di Sulawesi Selatan berupa koleksi pribadi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dan dalam koleksi publik di luar negeri, khususnya di Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Isi naskah ini sangat beragam dengan banyak berurusan dengan hal-hal historiografis dan banyak mengandung fragmen lain dan seperti epical Bugis legendaris yakini I La Galigo . Hampir semua naskah tesis, disebut lontaraq dalam bahasa Bugis-yang terbuat dari kertas, kebanyakan di Eropa, beberapa berasal dari Asia.

Beberapa jumlah yang sangat kecil naskah Bugis, tidak terbuat dari kertas, tetapi beruapa gulunagn asli yang terbuat dari daun lontar dengan bentuk satuan terdiri 2 roll . Dibentuk dalam bingkai kayu. Teks ditulis dalam satu baris panjang Menggunakan script Bugis dan dapat-hanya dibaca seksama dengan gulungan, kurang lebih mirip dengan sebuah kaset audio atau video. Karena dengan ciri khas yang sangat unik dan spektakuler, pernah ditampilkan dibeberapa pameran-pameran internasional, misalnya di Australia pada "harta dari perpustakaan besar dunia" di tahun 2001-2002. Sejauh ini, tidak ada perhatian khusus kepada isi atau telaah maupun jenis atau naskah tersebut. Berikut ini saya akan menganalisa gulungan lontar di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI Peti 40/7803) dengan Fokus khusus pada satu segmen dalam teks.


Penampilan, asal, umur

Roll terdiri dari 55 strip lontar, dijahit bersama dengan benang, dengan total panjang 41,6 meter dan tinggi 1,5 cm. roll ditempatkan dalam bingkai kayu dan dapat berputar sekitar dua pin untuk memudahkan membaca. Naskah ini diserahkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1898 oleh DFW van Rees (1863-1922), yang pada saat itu sekretaris pemerintah di Buitenzorg (sekarang Bogor). Itu disampaikan 'sebelumnya' oleh penguasa Makassar kepada melalui afedelling wilayah Maros (Notulen 1898:65) .4 Tidak ada nama lebih lanjut dan tanggal yang diberikan, sehingga dalam kenyataannya tidak banyak yang diketahui tentang asal atau umurnya.

Jelas naskah ini membantu pernaskahan Bugis dalam kemampuan membuat naskah yang terbuat dari daun lontar. Sehinngga diagasumsikan bahwa sebelum kedatangan kertas di daerah tersebut, Bugis teks ditulis pada daun lontar, yang paling mungkin dalam mode ini yang digulung. Jadi gulungan lontar Bugis adalah perwakilan dari awal jenis naskah Bugis asli. Mereka juga menggunakan varian khusus dari naskah Bugis. Semua ini tidak berarti bahwa naskah tertentu tentu harus sangat tua juga. Sebagaimana akan kita lihat itu bisa saja diproduksi pada setiap tanggal antara awal abad ke-17 dan akhir abad ke-19. Dalam hal ini menarik untuk dicatat bahwa sekitar 60 tahun yang lalu masih ada naskah Bugis tertulis pada daun lontar (Rahman 2006:37). Kita bisa berspekulasi tentang mengapa orang Bugis memilih bahan berbeda untuk menulis teks mereka. Apakah ada hubungan antara bentuk dan isi? Apakah ada semacam penjelasan mistis? Saya tidak berpikir begitu dan lebih memilih untuk memperlakukan gulungan lontar sebagai perangkat yang digunakan untuk penyimpanan yang optimal dari sebuah naskah yang merupakan seni sastra tinggi. Untuk mencegah lembaran daun lontar menjadi aman daun lontar tersbut dijahit bersama-sama dalam urutan yang benar dan kemudian digulung dengan sangat apik dan unik dan ini hanya dimilki oleh sastra tulis Bugis.


Naskah

Teks dalam lontar ini ini ditulis dalam naskah suku kata Bugis , yang berkaitan dengan semua skrip adat lain dari kepulauan dengan script Brahmi kuno dari India sebagai sumber umum nya. Seperti dijelaskan oleh Noorduyn (1993) sejumlah varian telah berkembang dari waktu ke waktu, salah satu dari mereka yang digunakan dalam gulungan lontar (lihat juga Rahman 2006:22-42). Variasi naskah dalam kenyataannya tidak terlalu berbeda satu sama lain. Naskah menggunakan gulungan lontar hanya menggunakan tiga huruf yang berbeda. Yakni 'j', 's', dan 'a'.


Penggunaan 's' dalam naskah ini adalah luar biasa karena sang penulis menggunakan variasi semcam kitab-kitab yang berbeda untuk surat ini, seperti gambar dibawah ini :


Dalam 148 bait kita menemukan dua bentuk 's' pada baris yang sama. Ini membuktikan bahwa ahli lontara yang sama tidak membedakan antara varian


'L' juga memiliki banyak bentuk dan dijumpai di beberapa teks (dengan sebuah titik di atas dasar), meskipun bentuk standar ini kadang-kadang digunakan juga:

Simak, Baca secara fonetik

Fitur lain yang sangat tidak biasa di lontar ini adalah penggunaan huruf vokal berlebihan. Hal ini normal karena pada suku kata naskah di Asia Tenggara huruf hidup ditandai dengan tanda-tanda khusus. 'Ka.a "Tapi di sini bukan' ka 'kita sering menemukan, bukan' so.o 'jadi' 'dan sebagainya. Sebuah contoh yang bagus dari berbagai bentuk menyimpang dalam satu baris dilihat sesuai baris 167 di mana kita menemukan dua vokal berlebihan ('mu.u' dan 'tu.u'), 's' dijadikan alternatif, atau 'j', dan menyimpang''dengan tanda 'é':



Tulisan, produksi dan penyebaran

Ada beberapa bukti dari luar bahwa teks yang terkandung dalam gulungan lontar adalah salinan dan yang mungkin lebih dari satu penulis terlibat dalam produksinya. Selain itu ada indikasi bahwa selain dari kecerobohan tertentu dalam proses penyalinan juga beberapa jenis usaha dalam penulisan ulang yang sering terjadi. Dari penampilan jahitan paling kita bisa menduga bahwa teks ini ditulis pertama sesudahnya beberapa garis lontar terlepas lalu dijahit bersama-sama. Dari contoh di bawah ini kita melihat bagaimana pada akhir garis teks terhenti di tengah naskah yang akan dilanjutkan di berikutnya. Hal ini menunjukkan bagaimana proses penulisan terjadi: juru tulis menulis teks pada lembar yang agak kosong, lalu berhenti menulis ketika ada sekitar 5 cm kiri, dan terus-menerus pada baris berikut dengan margin kiri sama 5 cm, setelah itu lembaran dijahit bersama-sama dengan benang hitam, meninggalkan bintik tanda 5 di permukaan.


Dalam kebanyakan kasus margins di lembaran itu dibiarkan kosong, hanya kadang-kadang kita menemukan jahitan yang telah ditulis di atas:

Garis 148

Teks yang terkandung dalam gulungan yang disajikan ini dikenal sebagai Sureq Baweng, atau disebut Kisah PARAKEET’S ', sebuah puisi yang terdiri dari segmen delapan suku kata. Sebagaimana akan kita lihat bagian system penggunaan kalender untuk mencari seorang istri/pasangan .Pada beberapa kesempatan ada perubahan mendadak dalam teks atau segmen yang tidak sesuai dengan persyaratan bunyi. Perubahan yang paling menonjol adalah transisi antara dua bagian tekstual utama. Penekanan ini terjadi hampir tidak terlihat di tengah lembaran lontar, ketika kalimat penanggalan terhenti dan sulit menemukan arus dalam kisah ini:


Garis 298-299 p[a]rukuseng rigamenna \ baweng ro
‘[…] pasangan cocok \ parakeet […]’



Dilihat dari gambar diatas menunjukkan bahwa teks tersebut telah disalin ulang sehingga memungkikan ada baian-bagian tertentu pada teks telah hilang tanpa sengaja oleh si penulis. Untuk beberapa alasan atau lainnya, penulis tidak menyadari hal ini dan terus menyalin surat-hruf demi-huruf, walaupun tanpa paham naskah. Meskipun ini masih belum dijelajahi bidang penelitian, perubahan signifikan dalam bentuk huruf selama proses penulisan menunjukkan bahwa lebih dari satu penulis sudah melakukannya. Contohnya adalah penggunaan berbagai bentuk huruf lontar yakni 's' dan 'l'. Pada bagian pertama gulungan ini, antara garis 1-40 huruf lontar yang digunakan, sedangkan di antara garis berbentuk standar yakni 41-85 ditulis seperti :



Setelah baris 86 penulis tidak melanjutkan. Sehingga terlihat ada penulis lain yang melakukan penulisan selanjutnya ini terlihat di garis 288 pada huruf 's' surat ditulis sebagai vertical tegak . Namun, ini tidak bertepatan dengan perubahan dalam bentuk surat-surat lainnya, sehingga penafsiran perbedaan-perbedaan ini tetap tidak jelas.


Tidak hanya ada perubahan dalam bentuk surat, tetapi juga dalam ejaan. Salah satunya adalah cara alternatif ejaan huruf konsonan yang sama. Ini ejaan singkatan seperti ini sangat umum dan dapat menunjuk ke sebuah kebiasaan individu si penulis, sehingga butuh penelitian lebih lanjut.


Walaupun sejumlah contoh jelas bahwa lontar telah disalin sembarangan, ada juga beberapa kasus di mana kita melihat beberapa kegiatan penulisan dalam wilayah adat di. Misalnya sejalan baris 203 adanya hruf yang hilang yang seharusnya 'jadi' mungkin 'Esso' kata ini mungkin telah ditambahkan karena hilang sehingga hanya memperkirakan maksud.


Dan baris lengkap yang awalnya ditinggalkan telah ditambahkan kemudian:


Terlihat naskah ini sering dibaca namun tidak secara keseluruhan sehingga akan adanya penambahan itu tidak mempengaruhi maksud kandungan dari naskah , namun semua kekurangan yang ada dapat memberitahu kita banyak tentang bagaimana teks-teks ini dibuat dan diperkenalkan . Kita bisa menarik kesimpulan tidak penting bahwa naskah telah terlihat sudah dibaca dan digunakan, yang penting naskah tersebut berfungsi di masyarakat Bugis.


Sumber

Diterjemahkan dari Tulisan ROGER TOL, ROLLED UP BUGIS STORIES:
A PARAKEET’S SONG OF AN OLD MARRIAGE CALENDAR Halaman 1 – 9
Yang disajikan pada The 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia di Melbourne 1-3 Juli 2008.

Translate /Terjemahan Lepas oleh Nor Sidin

0 komentar:

Post a Comment