Nov 18, 2010

* Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX




Judul : Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX
Penulis : Anwar Thosibo
Penerbit : Yayasan Indonesiatera
Cetakan : Pertama, Februari 2002
Halaman : 190 hlm




Riwayat Budak dari Sulawesi Selatan

Oleh: Dedy Ahmad Hermansyah

Sepanjang sejarah peradaban manusia, persoalan perbudakan seperti tak pernah alpa mewarnai setiap perjalanannya. Perbudakan menjadi sesuatu yang diperdebatkan, menyimpan kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri: ia dianggap berjasa membangun peradaban, tapi sejarah dirinya sendiri kelam tanpa penerang.

Perbudakan, sebagai satu fenomena historis (sekaligus senantiasa aktual), mesti dipahami dalam perspektif yang lebih kontekstual. Sebab, pemahaman yang dangkal dalam melihat fenomena sosio-kultural tempat perbudakan itu hadir, akan membawa kita pada satu kesimpulan dangkal pula. Bahkan, kata ‘perbudakan’ itu sendiri mesti dibedah kembali, dari mana asal kata itu datang, jika kata itu hendak diuji kebsahannya pada satu wilayah yang berbeda.

Dalam perspektif itulah buku “Historiografi Perbudakan, Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX” ditulis. Mengambil fokus tiga wilayah etnis: Bugis, Makassar dan Toraja. Keprihatinan penulis akan langkanya buku yang mejelaskan tentang perbudakan dari sudut pandang ‘Indonesia-sentris’, atau ‘etnis-sentris’, mendorongnya untuk menjelajahi fenomena perbudakan ‘dari dalam’, serta menguji konsep perbudakan yang kerap digunakan oleh kacamata Eropa untuk melihat perbudakan di Sulawesi Selatan. Usaha ini tentu saja tak bermaksud membela keberadaan perbudakan, melainkan mengajak kita lebih bisa memahami persoalan lebih dalam. Usaha ini juga tentu akan sangat berguna bagi mereka yang bergerak dalam aktifitas anti-perbudakan, agar dalam penyusunan agenda gerakan lebih kontekstual dan lebih efektif.

Buku ini menarik, selain alasan disebutkan sebelumnya—menggunakan sudut pandang Indonesia-sentris dan etno-sentris—juga, sebagaimana disebutkan dalam ‘Pengantar Penerbit’, dapat menjadi catatan sejarah kolonial, sebagai sejarah lokal, berguna juga dalam kajian sosial dan antropologi. Dari tiga alasan itu, kita akan memahami hubungan serta kaitan dan pengaruh antara kolonialisme dengan fenomena sosial dan budaya terkait dengan isu perbudakan.

Hubungan Vertikal Tuan-Hamba: Akar Praktek Perbudakan

Dalam naskah lontara Sulawesi Selatan, disebutkan bahwa masyarakat akan makmur bila anggotanya menempatkan di atas yang di atas, di bawah yang di bawah, di timur yang di timur, dan di barat yang di barat (hal. 89). Isi naskah lontara tersebut menjadi satu legitimasi tersendiri bagi satu hubungan vertikal dalam stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan. Hubungan bersifat hirarkis tersebut, dalam prakteknya penuh goncangan-goncangan, konflik-konflik, kontradiksi-kontradiksi.

Berangkat dari pola hubungan vertikal ini, Anwar Thosibo, penulis buku ini, mengajak kita menjelajah masuk ke dalam akar perbudakan di Sulawesi Selatan. Karakter-karakter serta pola interaksi antar aktor menjadi satu kekhasan tersendiri dalam usaha memahami perbudakan di Sulawesi Selatan.

Hubungan vertikal ini termanifestasi dalam hirarki tuan-hamba. Dalam masyarakat pertanian dikenal dengan ajoareng-joa, dan dalam masyarakat perdagangan dikenal dengan ponggawa-sawi. Ajoareng dan ponggawa adalah tuan yang berasal dari kelas bangsawan atau kelas terkemuka. Sementara joa dan sawi adalah pengikut yang berasal dari kelas bawah yang miskin atau hamba sahaya. Di antara tuan dan hamba, terjalin satu ikatan dan interaksi yang saling membutuhkan. Si hamba membutuhkan sang tuan untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari serta perlindungan, sebab itu ia harus menunjukkan kesetiaan kepada tuannya. Sang tuan harus memberi apa yang menjadi kebutuhan si hamba: perawatan, keamanan, makanan dan lain-lain. Yang penting diketahui: hubungan ini bersifat suka rela, artinya dapat diputuskan sewaktu-waktu. Hubungan bersifat suka rela ini, oleh masyarakat Sulawesi Selatan disebut dengan minawang (hal.78).Pola interaksi hirarkis ini kemudian diistilahkan dengan sistem kepengikutan.

Sistem pengikut ini merupakan unsur kunci dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Gagal memahami karakter-karakter dalam sistem ini, akan membawa kita pada kegagalan dalam melihat perbedaan nyata antara konsep perbudakan Eropa yang dibawa masuk ke dalam praktek perbudakan di Sulawesi Selatan. Mungkin istilah lokal untuk perbudakan adalah kasuwiang. Kasuwiang merupakan kepercayaan asli yang menunjuk pada laku perbuatan yang dijalani seorang hamba dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhannya (hal. 166). Kasuwiang ini memiliki kemiripan kategori dengan perbudakan, tapi tak bisa dikatakan sama. Dalam perbudakan, hubungan tuan-hamba didasarkan nyata pada eksploitasi si hamba oleh sang tuan. Sementara dalam kasuwiang, hubungan tuan-hamba sedikit bersifat manusiawi, di mana sang tuan memliki kewajiban melindungi si hamba, dan si hamba memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada sang tuan.

Hubungan ini bahkan terkesan saling bekerja sama dan sangat akrab. Antara tuan dan hamba ada ikatan yang erat. Mereka saling membela dan melindungi jika salah satu pihak mendapat kesulitan atau bahaya. Jika harta seorang pengikut atau hamba dicuri, tuannya akan mengatakan, “hartaku dicuri.” (hal. 83).

Meski begitu, konflik kerap kali muncul antara tuan dan hamba. Hal ini terjadi biasanya jika si hamba merasa sang tuan tak mampu lagi memberi jaminan kebutuhan dan keamanan baginya dan keluarganya. Si hamba memiliki hak untuk pergi dan memutuskan hubungan sebagai pengikut si tuan.

Akan tetapi, kasus seperti itu jarang terjadi. Sistem pengikut dalam masyarakat Sulawesi Selatan begitu mengakar. Sekali ikatan minawang itu terjalin, sukar sekali untuk putus. Hamba yang terikat begitu erat dengan tuannya biasanya akan menunjukkan kesetiaan yang dalam untuk tuannya. Contoh paling nyata adalah cerita tentang Karaeng Bonto Kappang asal Maros. Suatu hari ia melarikan diri dari kejaran pasukan Belanda menggunakan perahu. Di tengah sungai ia tenggelam. Pengikut-pengikutnya yang mendiami sebuah kampung kecil di daerah Maros mendengar berita tentang tuan mereka. Mereka pun memutuskan untuk bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangan, tanda kesetiaan mereka kepada tuan mereka,Karaeng Bonto Kappang. Kampung itu pun dijuluki dengan kampung ‘turu bela’, artinya ‘ikut mati’. (hal. 84).

Budak: Barang Dagangan

Praktek perdagangan budak sebetulnya telah lama dijalankan jauh sebelum Belanda datang menaklukkan Sulawesi Selatan secara defintif pada 1667. Kerajaan-kerajaan besar yang menang perang akan mendapatkan tawanan. Para tawanan dari kerajaan yang dikalahkan, selain dijadikan budak kerajaan (oleh Belanda disebut Ornamen Slaven), juga dijual ke pulau-pulau seberang. Praktek perdagangan budak ini semakin marak dan merajalela seiring dengan meningkatnya aktifitas produksi barang hasil pertanian mau pun laut. Secara geografis, budak-budak yang dijual diambil dari pegununungan dibawa ke dataran rendah, dari kerajaan-kerajaan kecil ke kerajaan besar yang lebih kaya, dari masyarakat non-muslim ke masyarakat muslim.

Selain itu, maraknya perdagangan budak mulai muncul saat permintaan Belanda akan tenaga kerja meningkat. Belanda kekurangan tenaga kerja untuk dipekerjakan dalam geladak dan galangan kapal, di tempat-tempat kerajinan tangan, dan rumah-rumah pejabat, bahkan untuk mengisi lowongan ketentaraan pada tingkat rendahan (hal. 125). Garis distribusi penyaluran budak untuk Belanda melalui hirarki: lokal, regional, dan tempat penyaluran utama. Sampai dengan taraf tertentu, sistem hirarki ini memenuhi permintaan Belanda, yang tak pernah puas terhadap budak.

Praktek perdagangan perbudakan ini mendapat kritikan serius dari kelompok anti-perbudakan. Kelompok ini muncul dari kalangan liberal Belanda. Pada pokoknya, kaum liberal memperjuangkan kebebasan pribadi manusia dari segala bentuk penindasan dan pengungkungan oleh manusia atas manusia (hal. 145). Tokoh-tokoh yang vocal menyuarakan hal ini adalah Dirk van Hogendorp dan W.R. van Hoevell. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengkritik fenomena perbudakan ini dilakukan dalam banyak cara: tulisan dalam majalah dan buku, protes langsung ke pemerintah Belanda, menyusun konsep pembebasan budak kemudian diusulkan kepada pemerintahan Belanda. Namun, sesungguhnya, mendahului orang Belanda, Raffles telah menerapkan konsep anti-perbudakan saat Inggris menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Sayangnya, karena umur kekuasaan Inggris yang singkat, yakni tahun 1812 hingga diambil alih kembali Belanda pada 1818, penerapan konsep itu tidak berjalan maksimal.

Usaha serius itu menghasilkan satu undang-undang tentang penghapusan perbudakan di seluruhNederland Indie yang dikeluarkan pada 7 Mei 1859. Dengan undang-undang ini, secara resmi perbudakan dihapuskan di seluruh Hindia Belanda sejak 1 Januari 1860. Praktek undang-undang ini melalui fase pendataan para budak, kemudian memberi ganti rugi kepada si pemilik budak. Fase ini diambil dengan terlebih dahulu melalui banyak rintangan dan halangan. Rintangan untuk penghapusan perbudakan itu adalah kekhawatiran terjadinya pemberontakan, disebabkan pemilik-pemilik budak adalah orang-orang berpengaruh, kaum bangsawan, yang salah satu penopang keberadaan dan status kebangsawanannya tergantung pada kepemilikan budak.

Akan tetapi, meski telah dibuat dan diberlakukan undang-undang tersebut, pengecualian diberlakukan untuk Sulawesi Selatan. Penindasan terhadap perbudakan pribumi sering dijadikan dalih untuk melakukan intervensi. Baru pada 1863 Belanda memperlihatkan kesungguhan dalam usaha menekan perbudakan di Makassar.

Source :
Diposkan oleh IBOEKOE pada 07 Oct 2010
http://indonesiabuku.com/

1 komentar:

wahyuddin lutfi said...

menarik, satu lagi hal menarik dlm sejarah lokal.

Post a Comment